Bongak

Setan dalam Bahaya: Gugatan Perempuan sebagai Istri (Bagian 4)

Kehadiran tokoh Istri Failasuf dalam drama as-Syaiṭān fī Khatr, bisa dikatakan konsekuensi logis atas ide-ide pokok yang hendak dikomunikasikan pengarang pada pembacanya. Ide-ide ini dinilai menjangkarkan dirinya pada wacana yang berkenaan dengan polarisasi laki-laki dan perempuan, feminitas dan maskulinitas dalam kultur masyarakat patriarkat dan narasi Islamis. Dalam as-Syaiṭān fī Khatr, Istri Failasuf dipresentasikan sebagai sosok perempuan kuat, berani dan gigih, yang tengah menggugat polarisasi primordial laki-laki dan perempuan. Di sini, Istri Failasuf berbicara tentang sexisme dan dominasi laki-laki yang dikatakan menghasilkan ketimpangan dan ketidakadilan. Secara gamblang, hal ini tersuarakan ketika Istri Failasuf hadir di bagian rising action hingga berakhirnya cerita. Ia mempertanyakan posisi laki-laki yang jika beristri lantas menjadi pemimpin, terlepas dari pertanyaan layak atau tidaknya. Pernyataan di atas ditunjukkan melalui dialog berikut:

Terjemah Indonesia oleh Ali Audah atas as-Syaiṭān fī Khatr dalam antologi  Sir al-Muntahirah Jilid IV, (Darr Misr Littbā’ah, 1969), hal. 197-198.

Dari dialog ini terlihat bahwa Istri Failasuf menganggap suaminya tak layak memimpin rumah tangga, tak lain karena selama hidup berumah tangga, Istri Failasuf merasa tidak tercukupi kebutuhan hidupnya. Sementara untuk mencukupi kebutuhan keluarga, Istri Failasuf merasa semuanya bersumber dari kantong dirinya—meski sempat tidak benarkan oleh suaminya. Selain itu, Istri Failasuf amat tidak menyukai suaminya yang hanya berdiam diri di tengah tumpukan buku di ruang kerjanya. Kerja Failasuf yang hanya berpikir tentang hal-hal yang filosofis, dianggap oleh Istri Failasuf tidak memiliki asas manfaat yang nyata bagi roda kehidupan rumah tangga. Alasan-alasan inilah yang kemudian melahirkan kehendak untuk merebut supremasi kuasa rumah tangga dari suaminya, Failasuf.

Presentasi tokoh perempuan, Istri Failasuf yang demikian lantas menunjukkan adanya gejala pengingkaran terhadap familialisme dalam masyarakat berkultur patriarkat (Arab, khususnya Mesir). Dengan demikian, tokoh Istri Failasuf adalah representasi dari sosok perempuan yang mencoba mendekonstruksi oposisi-opisisi biner yang berkorespondesi dengan lelaki/perempuan, seperti: aktif/pasif, otak/emosi, penguasa/dikuasai, dan penafkah/dinafkahi [1]—yang mentradisi dalam masyarakat Mesir yang Islamis. 

Namun di sisi lain, jika presentasi Istri Failasuf di atas dicermati ulang, maka akan didapati suatu kenyataan yang paradoksal dan sekaligus mendekonstruksi simpulan dari presentasi Istri Failasuf. Hal ini merujuk pada beberapa fakta imajinatif yang cenderung subtil, saling terkait, namun menarik untuk dicermati. Pertama, kronologi (struktur cerita). Pada konklusi cerita, diketahui bahwa gagasan perdamaian urung dilahirkan karena belum adanya kesepakatan antara Setan dan Failasuf. Setan meminta Failasuf untuk memikirkan upaya pencegahan perang yang akan melanda umat manusia. Akan tetapi Failasuf enggan berpikir cuma-cuma untuk Setan, meskipun imbas buah pikir Failasuf nantinya juga akan berdampak baik bagi dunia yang ia tinggali berserta makhluk hidup sejenis dirinya, manusia. Itu artinya, Failasuf mengharapkan upah dari Setan atas kerja kerasnya dalam berpikir. Sikap Failasuf yang demikian menyarankan bahwa ia tidak lagi memandang cita-cita luhur seperti yang dibayangkan Setan.

Ada alasan pasti yang mendasari sikap Failasuf demikian. Failasuf telah berumah tangga, ia seorang suami dari seorang istri—yang diwujudkan ke dalam tokoh Istri Failasuf. Dalam tataran normatif, Failasuf memiliki bermacam kewajiban sebagai seorang suami. Salah satunya adalah menafkahi Istrinya, dalam hal membelanjakan harta (uang) untuk keperluan hidup sehari-hari.  

Idealisasi peran suami dalam rumah tangga di atas tenyata tidak merealisasi dalam praktik hidup Failasuf. Hal ini lebih disebabkan profesi Failasuf sebagai ahli pikir (orang yang berfilsafat) yang tidak begitu menjanjikan dalam hal finansial. Atas kenyataan inilah, Istri Failasuf menjadi geram. Beragam makian pun mengarah pada Failasuf dari Istrinya. Dan tak jarang makian tersebut menjurus pada perselisihan hebat, hingga saling klaim kebenaran dan kepatutan diri—atau menurut Setan, perang di dalam rumah tangga. Pada perkembangan cerita, Istri Failasuf yang merasa mendominasi dalam pemenuhan kebutuhan finansial rumah tangga pun kemudian menjadi sosok yang kuat dan berhasil memojokkan Failasuf, suaminya. Hingga pada akhirnya, kuasa rumah tangga hendak direbut oleh sang Istri.

Secara kronologis, jalinan cerita as-Syaithan fi Khatr dapat digambarkan demikian: Pertama, Setan datang pada Failasuf. Kedua, Failasuf diminta Setan untuk memikirkan gagasan mencegah Perang. Ketiga, Failasuf mengiakan permintaan Setan, dengan catatan Setan harus memberi upah pada Failasuf. Keempat, Setan menolak memberi upah pada Failasuf. Kelima, Terjadi tarik ulur pendapat antara Setan dan Failasuf. Keenam, Kesepakatan belumlah tercapai, Istri Failasuf muncul membawa persoalan baru. Ketujuh, Istri Failasuf menuntut menjadi penguasa rumah tangga, karena ia menilai suaminya tidak mampu menafkahi keluarga sekaligus tidak layak menjadi pemimpin. Kedelapan, Terjadi adu mulut antara Failasuf dan Istrinya, oleh karena Failasuf menyangkal penilaian istrinya. Kesembilan, Failasuf akhirnya terdesak, mengingat Istri Failasuf tidak lagi menyerang Failasuf dengan kata-kata, tapi juga dengan (tindakan) fisik. Kesepuluh, gagasan perang akhirnya urung terlahir. Malah ada perang lain yang lebih mengerikan ditemui Setan, perang rumah tangga antara Failasuf dan istrinya.

Dari tilikan kronologi cerita as-Syaithan fi Khatr di atas, secara tidak langsung Istri Failasuf-lah yang menjadi penyebab tindakan Failasuf terhadap Setan―yang meminta upah pada Setan atas buah pikirnya dalam mencegah perang. Persoalan finansial rumah tangga yang lantang disuarakan oleh Istri Failasuf telah serta merta mendorong Failasuf untuk tidak lagi memandang cita-cita luhur dalam upaya penyelamatan dunia dari bahaya perang yang membinasakan. Istri Failasuf juga menjadi penentu gagalnya upaya perdamaian yang diusung Setan. Atau dalam ungkapan yang berbeda, Failasuf mengkambinghitamkan sifat keduniawian Istrinya atas sikap pamrihnya pada Setan.

Kedua, penokohan. Dalam as-Syaithan fi Khatr, jika mengikuti kategorisasi tokoh yang didasarkan pada segi penampilan tokoh, maka Istri Failasuf terkategori sebagai tokoh tambahan, bukan tokoh sentral seperti Setan dan Failasuf. Akan tetapi, jika melihat segi fungsi dan peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam cerita, maka Istri Failasuf justru memengang peranan penting dalam meresolusi konflik cerita. Keduniawian Istri Failasuf  justru menjadi pendorong kuat atas sikap pamrih Failasuf terhadap Setan. Failasuf akhirnya tidak lagi menghiraukan cita-cita luhur seperti yang didambakan Setan. Yang dipedulikan Failasuf adalah uang jasa dari Setan sebagai pra-syarat lahirnya gagasan tentang perdamaian dunia. Singkat kata, keduniawian Istri Failasuf menjadi penentu gagalnya upaya perdamaian.

Di sisi lain, sifat ini juga menjadikan Istri Failasuf sebagai perempuan yang berperilaku kasar (antagonis). Dalam mempertanyakan kebutuhan finansial rumah tangga, Istri Failasuf tidak lagi (begitu) menaruh hormat pada Failasuf, suaminya. Keduniawian turut pula menjadikan Istri Failasuf berwatak keras. Ia hendak merebut supremasi kuasa rumah tangga dari otoritas laki-laki, dengan jalan pertengkaran—yang oleh Setan disebut sebagai perang.

Dari dua fakta imajinatif di atas serta uraian presentasi tokoh Istri Failasuf sebelumnya, dapat dilihat bahwa pandangan Taufiq al-Hakim, terkait dengan perempuan memiliki dua arah. Pertama, Taufiq al-Hakim seolah memperlihatkan keberpihakannya pada perempuan, bahwa perempuan jangan melulu diposisikan sebagai sub-ordinat dari lelaki dalam kultur masayarakat Mesir yang patriarkat. Hendaknya perempuan juga diberikan otoritas/wewenang dalam rumah tangga. Kedua, secara bersamaan, Taufiq al-Hakim juga menyatakan ketidaksetujuannya, jika dalam praktik menuntut hak dan kesetaraan, perempuan justrumenyalahi moralitas agama (dalam hal ini Islam). Karena jika terjadi demikian, perempuan seakan telah ‘menurunkan’ posisinya sendiri.

Pandangan ini bisa menjadi logis, bila melihat wacana moral yang berlangsung di lingkungan sekitar Taufiq al-Hakim, khususnya di Mesir dan sebelum tahun 1951[2]. Bahwa pada periode tersebut, Mesir tengah dihadapkan pada akumulasi dari gelombang besar westernisasi, pembaratan [3]. Dalam uraian ini, westernisasi dibedakan dengan modernisasi. Modernisasi tidak mutlak westernisasi, meskipun keduanya berasal/pengaruh dari Barat. Modernisasi ialah pembaharuan yang lebih bersifat rasional dan dapat besinergi dengan dimensi-dimensi moralitas Islam. Sedangkan, westernisasi akan dipastikan mengandung narasi westernisme; suatu keseluruhan paham yang bersumber dari Barat yang lantas membentuk total way of life. Itu artinya, westernisasi(isme) memiliki kecenderungan untuk kontradiktif dengan tradisi, nilai dan konsepsi Islam setempat, karena ia (sekali lagi) bukanlah modernisasi [4]

Akan tetapi dalam praktiknya di Mesir, penetrasi westernisasi sering kali mendalihkan diri pada modernisasi. Praktik yang demikian lantas menjadikan westernisasi dan modernisasi lantas bias makna, westernisasi sering dipandang modernisasi, dan ia kemudian dianjurkan.

Lebih lanjut, berseminya westernisasi (yang bukan modernisasi) di Mesir―yang juga dianggap sebentuk dominasi Barat (kolonialisme, imperialisme) atas Timur (Arab-Islam)—berdampak langsung pada corak kehidupan sebagian masyarakat Mesir pada saat itu―untuk tidak mengatakan keseluruhan. Selain, polemik [5] antara golongan penganjur dan penentang westernisasi, rasionalisasi pemikiran keagamaan, ada pula kasus yang terbilang menonjol, dalam hal ini adalah yang menyangkut tentang perempuan.

Seperti gerakan pembebasan perempuan (yang radikal) yang pada saat itu dianggap sebagai bahaya besar bagi moralitas, tradisi sosial, dan karakter masyarakat Islam [6]. Juga pada perempuan yang dinilai semakin sering mengartikulasikan keduniawian―pandangan yang lebih mementingkan kebendaan, semisal harta, uang dan sebagainya―sebagai imbas dari westerinasi.

Epilog

Manusia yang selalu berhadapan dengan sederetan peran dan kompleksitas peristiwa dalam kenyataan hidup, selalu menjadi godaan terbesar bagi para sastrawan untuk menjelajahinya. Teoritikus sastra Rene Wellek dan Austin Warren, mengatakan bahwa sastra ‘menyajikan’ kehidupan, dan ‘kehidupan’ sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga ‘meniru’ alam dan dunia subjektif manusia [7].  Dengan kata lain, karya sastra adalah tesis atas kenyataan hidup yang kemudian diresepsi sastrawan untuk diucapkan kembali dengan disertai berbagai pemikiran dan nilai (kebenaran), yang membawa pada sebuah kesadaran (baru). Karena konon, lembaga kebenaran yang dikenal manusia selain agama, filsafat dan ilmu pengetahuan (sains) adalah seni, dan sastra adalah bagian dari seni [8].

Drama as-Syaithan fi Khatr saya kira adalah tesis Taufiq al-Hakim yang khawatir bila arus westernisasi di Mesir khususnya akan akan meng-alienasi masyarakat Mesir dari ‘kebaikan-kebaikan’ autentitas budaya, nilai, dan konsepsi Islam. Kekhawatiran ini kemudian dibungkus dalam pesan bagaimana seyogianya perempuan mensuarakan hak dan kesetaraannya dalam koridor moralitas Islam, bukan dalam westernisme. Melalui karyanya as-Syaithan fi Khatr, Taufiq tengah merepresentasikan ide tentang ‘bahaya’ dari westernisasi. Sejalan dengan ini, pada lain kesempatan, (melalui David Sagiv) Taufiq mengungkapkan:

Bangunan (filsafat) Islam harus didasarkan pada pondasi kehidupan dalam dua dunia: duniawi dan ukhrawi. Dengan cara menyeimbangkan dua tipe kehidupan itu, maka (filsafat) Arab dan Islam akan berkembang. Semua ini sejalan dengan ruh yang menjadi ciri kebesaran Islam, yaitu modernisasi dan tidak berlebihan, tidak ekstrem dan bombastis [9]

Taufiq al-Hakim (1983).

Dapat dicatat dari ungkapan di atas, bahwa Taufiq al-Hakim tertarik pada ilmu pengetahuan dan penggunaan akal. Ia mengangkat motif ini hingga ke puncak prestasi manusia dan tidak mengganggap ilmu pengetahuan dan skeptisisme bertentangan dengan iman—dalam konteks ini, ilmu pengetahuan adalah prinsip-prinsip kesetaraan dalam feminisme. Taufiq al-Hakim termasuk golongan tengah (moderat) yang tetap memandang bahwa warisan Arab-Islam bisa dijadikan dasar berkehidupan, namun melalui interpretasi yang membuat warisan tersebut dapat beradaptasi dengan realitas dan perubahan. Dalam konteks ini, ilmu pengetahuan dan penggunaan akal dipahami secara definitif dalam modernisasi yang bisa bersinergi dengan Islam. Namun jika modernisasi dilaksanakan dengan berlebihan, itu sama halnya dengan membuka diri terhadap westernisasi.


Bagian pertama tulisan ini dapat dibaca di Menyitir Perempuan, Menengahkan Setan (Bagian 1)

Bagian kedua tulisan ini dapat dibaca di Setan dalam Bahaya: Perang dan Perdamaian (Bagian 2)

Bagian ketiga tulisan ini dapat di baca di Setan dalam Bahaya: Konsepsi Manusia dan Setan (Bagian 3)

Okta Firmansyah

Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *