Bongak

Etnografer dan Kedudukan Wawancara

Dikatakan oleh seorang antropolog, Jim Siegel, dalam artikelnya, In Place of an Interview, bahwa mengadakan wawancara bagi seorang etnografer adalah penting kiranya. Bahkan bisa dikatakan sebuah keharusan. Kerja wawancara adalah kerja yang melampaui kerja membaca buku. Bila pembaca buku memperoleh pengetahuan tanpa perlu hadir (ada) di tempat pengetahuan itu bersumber, tanpa perlu mendengar dan melihat langsung (murni didapat dari membaca), maka sebaliknya, dalam memperoleh pengetahuan, seorang etnografer akan hadir (ada) di pusat pengetahuan, salah satunya melalui wawancara. 

Dari wawancara etnografer akan memperoleh pengetahuan yang lebih luas ketimbang apa yang diberikan oleh buku. Etnografer akan membuat dirinya tidak meyakini akan apa yang diperoleh dari membaca buku, di satu sisi. Dan di saat bersamaan, di sisi lain, etnografer amat mungkin akan melampaui pengetahuan dari penulis buku tersebut sebab ia butuh membaca buku dan juga mewawancara.

Dengan demikian, kegiatan wawancara amatlah mendukung kerja seorang etnografer, yang tentunya beriringan dengan kegiatan membaca buku. Siegel mencontohkan apa yang ia kutip dari antropolog lainnya, Clifford Geertz dalam The Religion of Java, tentang Kakek Djojo yang memiliki kekuatan ajaib (ngelmu). Didapati dari wawancara Geertz, bahwa Kakek Djojo dapat menghilangkan diri secara magis. Ia juga mampu hadir di dua tempat sekaligus secara bersamaan. Menanggapi kisah ini, setiap orang bisa saja mengabaikan cerita Kakek Djojo tersebut dan menganggapnya sebagai tahayul, atau malah sebaliknya, mempercayainya. Tapi bagi seorang etnografer, sebagaimana yang ditunjukkan Geertz, kisah ini kiranya ditangkap dengan tidak menyertakan tendensi personal, sebab bisa jadi akan mereduksi kompleksitas kisah. Etnografer akan berdiri di posisi netral dalam menanggapi apa yang ia dengar dan saksikan. Tidak berupaya menyangkal kisah Kakek Djojo yang tak masuk akal, tapi tidak juga percaya begitu saja—sebab bekal akal-budi dapat digunakan menyelidiki kisah tersebut.

Clifford James Geertz (1926-2006) antropolog asal Amerika Serikat yang banyak meneliti Indonesia, khususnya agama dan kebudayaan Jawa. (Foto: www.duniasantri.co)

Sebagai etnografer, Geertz tidak menggeneralisasi dan melakukan simplifikasi atas fenomen budaya yang diteliti alias berupaya sejernih mungkin dalam menyingkap. Geertz tidak mengurangi dan melebih-lebihkan apa yang ia ketahui dari responden atas fenomen. Geertz menafsirkan kebudayaan tertentu dan menginformasikannya melalui sebuah buku yang dalam hal ini memberi aktualitas pada pembaca. Sekalipun tafsiran tersebut akan diperdebatkan dikemudian hari atawa direvisi karena pengetahuan sifatnya berkembang, sebagaimana The Religion of Java yang kini banyak dikritik orang. 

Okta Firmansyah

Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *