Sele - Sele

Kewarganegaraan Digital dan Hiperkoneksi Buat Semuanya Berada Nggak Habis Fikri di Luar Nurul

Kedatangan El-Kecepatan (Ishowspeed) ke Indonesia membuat heboh jagad media sosial se-Indonesia. influencer asal Amerika tersebut mendatangi berbagai tempat di Indonesia, yaitu Jakarta, Yogyakarta, dan Bali. sekaligus sowan ke berbagai tokoh Influencer dan youtuber Indonesia, seperti Reza Arap, Cellos, Medy Renaldy, Chandra Liow, dan lainnya. Tentu hal ini menjadi keuntungan ekonomi dan pariwisata bagi Indonesia.

Namun, kehebohan justru muncul ketika Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, yaitu Sandiaga Uno yang dikritik oleh Reza Arap. Yaaa, seperti ada miss komunikasi begitu lah. Beberapa tanggapan atas pergulatan komentar antara keduanya mulai dilontarkan, seperti ‘tumben pemerintah dan influencer nggak akur’. Seakan-akan pemerintah menutup mata akan kehadiran El-Kecepatan yang membawa keuntungan di dua sektor vital bagi Indonesia.

Nah, sebagai seorang warga negara Indonesia yang baik, aseeek. Mengkritik pemerintah tentu boleh dong. Justru seorang warga negara yang baik adalah memberikan kritik yang membangun bagi pemerintah. Slebew. Bahkan yang awalnya membela pemerintah, ikut-ikutan mengkritik pemerintah, ups. Sementara mereka yang sedari awal mengkritik pemerintah dianggap kadrun. Tapi ya, namanya mengkritik tentu semua orang pandai. Saking banyaknya kritik sepertinya pemerintah kewalahan. Ya, mau bagaimana lagi.

Disini saya sedikit memberikan hasil resensi buku berjudul Kewarganegaraan Digital: Warga Digital dalam Kepungan Hiperkoneksi, yang menurut penulisnya sendiri masih terlalu normatif. Wadaww…, tapi gak masalah setidaknya buku ini bisa menjadi rujukan oleh berbagai kalangan akademisi. Penulis Bukunya serius yang ngerevisi bercanda, wakwaw. Biar nggak kaku kali kita abangda. Alasannya sederhana saja, terkadang orang sudah jenuh dengan gaya formal. Nggak Maen Kali ah. Kehadiran buku ini tentu nggak ada yang menunggu dan siapa juga yang mau nunggu. Ibarat seorang penjelajah hutan yang membuka jalan bagi para penjelajah lainnya, mungkin seperti itulah saya mengibaratkan kehadiran buku ini. Tanpa basa basi kita spill trosss, sikat abangda.

Kehadiran orang kafir, eh maksud saya komputer, membuat semua-muanya menjadi mudah. Bahkan perkembangannya saja telah memasuki digitalisasi. Orang tidak susah lagi mencari berbagai informasi dengan menunggu kehadiran surat kabar apalagi ketika seseorang dari ujung belahan dunia yang harus menunggu informasi atau kabar penting dari seorang pembawa surat. Nggak perlu lagi mendaki gunung lewati lembah, seperti Ninja Hatori. Bablas, dalam 0,000001 detik saja orang sudah tahu informasi terbaru.

Penemuan dan pembuatan media sosial juga semakin memudahkan semua orang melihat dan berinteraksi dengan orang lain. Facebook, Instagram, Tik Tok, Twitter (sekarang jadi X bukan XXX), Line, Telegram, yang lainnya kelen cari ajalah sendiri, capek kali aku nyebutkannya satu-satu. Semua orang sudah bisa ngikuti tokoh-tokoh hebat asal dia centang biru, kecuali Presiden Jancukers. Bahkan pernah itu Fadli Zon memantau terus Twitter lewat TV besarnya. Segala macam cuitan dan komentar betul-betul kegabutan yang HQQ.

Seorang warga negara yang baik harus mampu menggunakan dan memanfaatkan media sosial dengan baik dan benar. Macam betol kali kita ah. kekmana caranya? Nah itu, pernyataan di buku ini masih terlalu normatif. Kita nggak bisa membatasi orang dalam bermedia sosial. Sekalipun itu Fufufafa, eits emang mulut nggak bisa di rem.

Segudang Masalah yang Hadir

Lantas, apakah semua itu tidak ada masalah? Justru banyak kali bro. Pusinglah. Banyak kehadiran-kehadiran yang begitu cetar membahana. Salah satunya Bjorka. Coba pikir, bisa-bisanya dia memberi tahu berbagai informasi detail terkait pemerintah dan para pejabat. Tapi, itu belum bisa dipercaya sih kebenarannya. Entahnya sudah di setting. Atau kebocoran data warga negara oleh hacker. Kacau. Jadi bagaimana? apakah warga negara yang harus diajari perihal teknologi dan digital atau sebaliknya, pemerintah yang diajari? Atau nggak usah diajari sama sekali?

Intinya sebagai seorang warga negara Republik Indonesia memberikan komentar pedas sekalipun kepada pemerintah tidak masalah, toh, kita sudah memasuki fase demokrasi liberal yang sudah kebablasan, baik pemerintah dan warga negaranya juga sama. Tapi kita merasa sudah menjadi warga negara yang baik padahal sebaliknya. Nihil. Bukan bermaksud bela pemerintah, ya. ini adalah pekerjaan besar bagi kita semua. Memang sih, para akademisi yang hanya bisa berteori dan beretorika setinggi langit sulit mempraktikkan bagaimana caranya menjadi seorang warga negara digital yang baik.

Kelakuan Netijen yang di luar nurul

Sebut saja Tempo.co, yang secara gamblang mengkritik pedas pemerintahan Jokowi sekarang ini. Ya, transparan saja. Segala sesuatu yang bersangkutan dengan pemerintah sudah ditelanjangi. Jadi mereka nggak bisa ngelak. Warga +62 menghabisi secara brutal alasan-alasan nyeleneh para pejabat. Bahkan komentar-komentar cerdas, simpel tapi menohok, lebih dahsyat daripada tulisan-tulisan di berbagai media tulis mana pun.

Belum lagi para netijen yang memanfaatkan AI untuk sebagai bahan candaan. Coba warga di negeri mana yang berani buat AI Presidennya sendiri, selain negeri wakanda. Presiden bisa dijadikan meme atau bahkan presiden bisa nyanyi berbagai lagu. Kalau dia berada di Korea Utara mungkin di hukum mati. Sebenarnya siapa yang terlalu membebaskan hal-hal seperti itu? Perkembangan teknologikah? Orang yang memakai? pihak pemerintah? Atau pencipta media sosial? Walaupun orang-orang sudah diberikan ilmu untuk memakainya secara bijak tapi yang namanya kejahatan tetap tak bisa dihindari. Dan peluang untuk berbuat kejahatan besar. Kan nggak mungkin warga negara digital harus di tes psikologisnya ke rumah sakit jiwa untuk memakai teknologi.

Haruskah ada solusi atau penelitian untuk menambah kajian ilmiah yang bisa menutup berbagai kekurangan dari buku Kewarganegaraan Digital: Warga Digital dalam Kepungan Hiperkoneksi. Saya kembalikan kepada pembaca, biar mau beli buku ini hahaha…

Fachri Syauqii

Pewarta weread.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *