Kita patut bangga dengan persepakbolaan Indonesia saat ini. Walaupun tidak masuk Olimpiade Paris, setidaknya Timnas bisa bertanding di level internasional sekelas piala Asia U23. Permainan ciamik mampu ditampilkan oleh Garuda muda. Ini membuat rangking Indonesia naik di Fifa pada urutan 133 dan mampu menyelip Malaysia. Namun, semua itu nggak lepas dari kritikan. Contohnya pengamat politik Indonesia seperti Rocky Gerung yang mengungkapkan bahwa jangan terlalu bereuforia terhadap naturalisasi.
Semua orang sudah taulah kalau naturalisasi nggak menaikkan talenta lokal. Gimana mau naik, pembenahan sepak bola kita saja masih amburadul. Dari mulai rumput lapangan stadion GBK sampai liga Indonesia. Walaupun kompetisi liga lokal sudah lumayan sih ada perbaikan sedikit, namun perlu ada peningkatan lagi.
Belum lagi kasus PON Aceh-Sumut. Pada pergelaran tersebut di cabang sepak bola yang mempertemukan Aceh dengan Sulteng berakhir imbang. Tapi ada aksi yang tidak diinginkan, kecurangan hingga yang paling brutal menghantam wasit.
Kali ini saya memfokuskan pada PSSI dan kritikan terhadap naturalisasi. Bahkan sekarang ini banyak istilah yang muncul. Semisal Belijvers yaitu kakek neneknya orang Belanda yang sudah lama menetap di Indonesia, seperti Maarten Paes. Walaupun Paes sendiri nggak pernah menetap di Indonesia. Ia sudah bersumpah menjadi WNI. Celahnya itu sangat cerdik. Negara kita kan nggak menganut dwi-kewarganegaraan.
Ada lagi istilah diaspora. Apa itu? Yaitu pemain bola yang berkarir di luar negeri tapi ada darah Indonesianya, entah itu neneknya Jawa, ayahnya Aceh, uyutnya orang Makassar, sebut saja Bang Jay, Wak Haji, Om Sandy Walsh, dan lainnya. Hal ini sah-sah saja asal jangan keturunan bunian, wah nggak bahaya ta.
Di bawah Pak Erick Thohir, PSSI benar-benar berbenah. Nggak main-main loh, target kita adalah masuk ke Piala Dunia tahun 2026. Makanya semua pemain harus betul-betul dipersiapkan. Coach Shin mengincar pemain yang sesuai dengan gaya bermainnya.
Saya menyoroti bahwa kebijakan naturalisasi timnas Indonesia nggak terlepas dari sejarah bangsa. Bahkan ideologi bangsa turut menentukan. Kalaupun sepak bola harus lepas dari politik, nyatanya tidak mungkin. Hal yang menarik jika menelusuri bagaimana arus sejarah timnas Indonesia saat ini.
Awal Mula Terbentuknya PSSI
Masuk piala dunia bukanlah hal baru bagi kita. Masalahnya pada tahun 1938, kita sudah pernah masuk piala dunia tapi dengan nama Hindia Belanda. Jadi kalo tahun 2026 nanti masuk piala dunia nggak usah terkejutlah. Lah nggak bisa itu kan masih di bawah jajahan Belanda, kita belum merdeka bung.
Makanya paling afdhol persepakbolaan kita itu diawali oleh Ir. Soeratin Sosrosoegondo yang membentuk PSSI pada 29 April 1930 di Yogyakarta. Saat itu PSSI kepanjangan dari “Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia”, Soeratin sekaligus menjadi ketua. Menurut R. N. Bayu Aji dalam artikel berjudul “Nasionalisme dalam Sepak Bola Indonesia, para anggota PSSI menyebar ke berbagai kota besar, seperti Jawa, Makassar, Medan, dan Padang.
Ingat, dalam laman PSSI sendiri tertulis bahwa sepak bola Indonesia adalah gerakan untuk menentang penjajahan Belanda. Selain itu juga menolak segala kebijakan NIVB (Nederladsch-Indische Voetbal Bond) yang telah ada sejak 1919. Tapi, di tahun 1936 PSSI dan NIVU (Nederladsch Indische Voetbal Unie) bekerja sama dalam memajukan persebakbolaan tanah air. Antara Soeratin dan Masterbroek sudah buat janji di atas kertas yang disebut “Gentelemen’s Agreement. Namun, sayangnya Masterbroek nggak gentle karena melanggar perjanjian. Ia tidak memasukkan para pemain dari PSSI.
Saat kedatangan Jepang ke Indonesia. PSSI tidak terlalu aktif. Hal ini kemungkinan mereka fokus pada persiapan perang. Kemudian saat Indonesia Merdeka dan diadakannya kongres PORI III di Yogyakarta, PSSI bisa menarik nafas lega.
Arus Panjang Naturalisasi dan Polemiknya
PSSI melakukan naturalisasi pemain pertama kepada Arnold van der vin tahun 1950-an. Ia bermain pada posisi penjaga gawang. Pada tahun 1954, ia sempat dilarang bermain karena kebijakan politik anti-Belanda. Laah, tapi kan sudah di naturalisasi, bagaimana? Kemungkinan besar setelah terjadinya KMB (Konferensi Meja Bundar) tahun 1949, kemudian dikhianati oleh Belanda, akhirnya Soekarno yang saat itu menjadi Presiden RI membuat manuver politik.
Proses naturalisasi sempat terhenti kala Soekarno menerapkan politik demokrasi terpimpin yang dampaknya sampai ke ranah sepak bola. Ada kebijakan berupa manipol usdek, yang intinya Indonesia harus berdikari. Makanya pemain timnas Indonesia semuanya adalah keturunan langsung.
Melansir dari Kompas.id, Proses naturalisasi kembali dilakukan pada tahun 2010, di antara pemainnya adalah Jeffry Kurniawan dan Cristian Gonzales. Kemudian lanjut di tahun 2011, ada nama-nama seperti Toni Cusell, Jhonny van Beukering, Diego Michells, Greg Nwokolo, Stefano Lillipaly, dan Victor Igbonefo yang dinaturalisasi. Hingga saat ini sudah tercatat ada 400 pemain yang dinaturalisasi. Belum lagi kedatangan pemain elite, seperti Mees Hilgers dan Eliano Reijnders. Nah, kapan persepakbolaan kita benar-benar kembali berdikari?
Ideologi Indonesia Menentukan Persepakbolaan
Perubahan kondisi politik global turut menentukan ideologi yang dianut oleh Indonesia. setelah kejatuhan Soekarno dengan gagasan Nasakomnya disertai dengan kebangkitan Amerika sebagai negara adidaya. Indonesia tidak lagi berpihak pada ideologi kiri atau kanan. Sebenarnya juga Indonesia bersikap tegas untuk tidak memihak blok mana pun.
Melansir dari Kompas.id, tahun 2022 Raja Belanda Willem-Alexander menyatakan permintaan maaf atas perbudakan yang pernah dilakukan. Pidato permintaan maaf lainnya juga disusul oleh Perdana Menteri Belanda Mark Rutte pada Desember 2022 mengenai perbudakan dan penjajahan yang pernah dilakukan oleh Belanda.
Melansir dari BBC, pernyataan tersebut direspon oleh Hilmar Farid yang mengungkapkan bahwa hal tersebut penting untuk menjalin hubungan dan kerja sama antara Indonesia dan Belanda. Tentu ini menguntungkan kita sebagai negara besar. Talenta-talenta muda sepak bola yang awalnya membela Belanda kini menjadi milik kita. Tapi bagaimana dengan nasib para pemain keturunan langsung?
Kita berharap di tengah arus naturalisasi yang semakin masif, pak Erick Thohir dan DPR tidak lupa dengan tugas penting lainnya untuk memperbaiki liga Indonesia. Supaya talenta lokal bisa bersinar dan mendapat kesempatan yang sama dengan pemain naturalisasi. Apalagi jika pemain keturunan langsung yang bisa bersaing di liga tingkat internasional, seperti Marselino.