Kemajuan teknologi dan sistem pencatatan yang canggih di Jepang sudah diakui oleh masyarakat internasional. Namun masih terdapat celah yang melahirkan fenomena baru. Saat ini terdapat fenomena sosial yang unik namun dinilai cukup mengkhawatirkan yang bernama Jouhatsu, yang secara harfiah berarti “menghilang seperti uap.” Fenomena ini mengacu pada orang-orang yang sengaja menghilang dari kehidupan mereka yang biasa, dan memutuskan semua hubungan dengan keluarga, teman, dan masyarakat, tanpa meninggalkan petunjuk apa pun tentang keberadaan mereka. Menghilangnya seseorang dengan cara jouhatsu menjadi topik yang menarik perhatian publik karena mencerminkan sisi gelap masyarakat modern Jepang.
Jouhatsu bukan sekadar istilah yang menggambarkan orang hilang karena kecelakaan atau kejahatan. Jouhatsu menggambarkan tindakan yang disengaja, di mana seseorang memutuskan untuk meninggalkan kehidupan lamanya dan menghilang tanpa memberitahukan siapa pun. Mereka bisa saja pindah ke kota lain, tinggal di kawasan terpencil, atau bahkan hidup di pinggiran masyarakat dengan identitas baru. Dalam beberapa kasus, mereka memilih bersembunyi di lingkungan urban yang ramai untuk menghindari deteksi. Fenomena ini bukan hal baru. Jouhatsu telah menjadi bagian dari masyarakat Jepang sejak beberapa dekade lalu, tetapi teknologi modern justru membuatnya semakin kompleks. Dengan sistem pengawasan yang melibatkan kamera CCTV dan data digital, menghilang sepenuhnya dari jaringan sosial dan teknologi menjadi tantangan besar. Namun, jouhatsu tetap terjadi, dan banyak yang berhasil melakukannya.
Ada berbagai alasan mengapa seseorang memilih menjadi jouhatsu. Beberapa di antaranya adalah masalah ekonomi. Hutang yang menumpuk atau kebangkrutan sering kali menjadi pemicu utama. Banyak orang merasa tidak ada jalan keluar dari kesulitan keuangan mereka, sehingga mereka memutuskan untuk menghilang dan memulai hidup baru. Alasan lainya yaitu tekanan sosial dan keluarga. Budaya Jepang yang sangat menghargai kehormatan dan reputasi membuat banyak orang merasa malu jika gagal memenuhi ekspektasi keluarga atau masyarakat. Hal ini terutama dirasakan oleh mereka yang menghadapi masalah seperti perceraian, kegagalan karier, atau kehilangan pekerjaan. Masalah psikologis juga dapat menjadi alas an dilakukannya jouhatsu. Depresi dan stres kronis sering menjadi alas an yang serius bagi seseorang mengambil Keputusan ekstrim. Beberapa orang merasa tidak mampu menghadapi kehidupan sehari-hari dan melihat jouhatsu sebagai satu-satunya pelarian. Alas an berikutnya yaitu kekerasan domestik. Ada juga kasus di mana korban kekerasan dalam rumah tangga memutuskan untuk menghilang demi melindungi diri mereka sendiri. Berikunya adalah keinginan untuk bebas. Beberapa individu merasa terjebak dalam rutinitas kehidupan modern dan mencari kebebasan dengan memutus semua ikatan sosial.
Fenomena ini bahkan melahirkan industri tersendiri di Jepang. Ada perusahaan khusus yang menawarkan jasa untuk membantu seseorang menghilang yang disebut sebagai yonige-ya (perusahaan pelarian malam). Layanan ini menyediakan transportasi, tempat tinggal sementara, dan bahkan identitas baru bagi mereka yang ingin menjadi jouhatsu. Biaya untuk layanan ini bervariasi tergantung pada tingkat kerumitan pelarian, tetapi bisa mencapai ratusan ribu yen. YonigIe–ya sering bekerja dalam bayang-bayang, memastikan bahwa keberadaan mereka tidak diketahui oleh pihak ketiga, termasuk keluarga atau penagih utang. Meskipun layanan ini legal, keberadaannya sering menjadi kontroversi karena dianggap mendukung tindakan yang merugikan orang lain.
Bagi keluarga yang ditinggalkan, hilangnya seorang anggota tanpa penjelasan sering kali menjadi pengalaman traumatis. Mereka sering kali terjebak dalam ketidakpastian, bertanya-tanya apakah orang yang mereka cintai masih hidup atau sudah meninggal. Banyak keluarga menghabiskan waktu bertahun-tahun mencari jawaban, sering kali tanpa hasil. Dari sisi masyarakat, jouhatsu mencerminkan masalah yang lebih besar. Fenomena ini menunjukkan bagaimana tekanan sosial, stigma, dan harapan yang tinggi dapat mendorong individu untuk melakukan tindakan ekstrem. Di negara dengan tingkat bunuh diri yang tinggi, jouhatsu menjadi alternatif lain bagi mereka yang merasa tidak mampu menghadapi realitas hidup.
Beberapa kisah jouhatsu telah diangkat dalam buku, film, dan dokumenter. Salah satu buku terkenal yang mengupas fenomena ini adalah The Vanished: The ‘Evaporated People’ of Japan in Stories and Photographs karya Léna Mauger dan Stéphane Remael. Buku ini mengungkap berbagai cerita pribadi dari mereka yang memilih menghilang, mulai dari alasan mereka hingga bagaimana mereka menjalani kehidupan baru. Cerita-cerita dalam buku tersebut didapatkan melalui wawancara pelaku Jouhatsu. Salah satu cerita yang menyentuh adalah tentang seorang pria bernama Hiroshi (nama samaran), yang meninggalkan keluarganya setelah bangkrut dan kehilangan pekerjaannya. Hiroshi hidup di kawasan miskin Tokyo, bekerja serabutan untuk menyambung hidup. Meskipun merasa bersalah meninggalkan keluarganya, Hiroshi mengaku tidak mampu menghadapi rasa malu yang ditimbulkan oleh kegagalannya.
Pemerintah Jepang dan berbagai organisasi sosial telah berusaha mengatasi akar masalah yang mendorong seseorang menjadi jouhatsu. Beberapa langkah yang diambil meliputi peningkatan layanan konseling. Program konseling psikologis dan dukungan emosional bagi individu yang menghadapi tekanan hidup terus ditingkatkan. Langkah lainnya yaitu pendidikan keuangan. Memberikan edukasi tentang pengelolaan keuangan untuk mencegah masalah hutang dan kebangkrutan. Selanjutnya yaitu kampanye anti-stigma. Mengurangi stigma sosial terhadap kegagalan pribadi dan profesional untuk mencegah orang merasa terisolasi. Terakhir yaitu perlindungan korban kekerasan: Memperkuat perlindungan hukum dan layanan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Fenomena jouhatsu di Jepang adalah cermin dari kompleksitas masyarakat modern yang diwarnai oleh tekanan sosial, ekonomi, dan psikologis. Di balik setiap orang yang memilih menghilang, terdapat cerita pribadi yang sering kali menyedihkan dan penuh perjuangan. Meskipun fenomena ini menunjukkan sisi gelap kehidupan di Jepang, hal ini juga mengingatkan kita akan pentingnya empati, dukungan sosial, dan upaya kolektif untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan memahami. Dengan memahami jouhatsu, kita tidak hanya belajar tentang budaya Jepang, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat modern di seluruh dunia dapat menghadapi tantangan yang serupa. Meskipun seseorang memilih untuk menghilang, harapan akan penyembuhan dan pemulihan selalu ada bagi mereka yang berjuang untuk menemukan kembali jati diri mereka.