Bongak

Konsep Merantau dan Adaptasi Sosial

Merantau adalah perpindahan atau pergerakan seseorang meninggalkan tempat asalnya atau tempat kelahirannya ke daerah lain untuk menjalani kehidupan baru, mencari pengalaman, atau pekerjaan. Perantau menjadi lebih terikat dengan daerah tempat orang tua mereka bermigrasi dan jarang masih mengikuti adat istiadat atau gaya hidup daerah asal orang tua mereka sebagai Generasi Pertama, mengingat tradisi yang biasa dijalankan oleh masyarakat di setiap daerah, yang tentu memiliki karakteristik budaya yang berbeda satu sama lain, ada tuntutan bagi individu migran untuk dapat menyesuaikan diri dengan adat di daerah baru mereka sebagai bentuk penghormatan terhadap lingkungan setempat dan cara untuk dapat berbaur. Namun sayangnya, beradaptasi dengan adat baru tidak mudah bagi seorang pendatang, sehingga individu cenderung mengalami kejutan budaya, terutama dalam hal adat istiadat ini. Jika krisis diri mulai teratasi dengan baik, individu tersebut akan bersedia belajar budaya baru, memahami berbagai perbedaan norma dan nilai antara budaya asli yang melekat padanya dan budaya baru yang sedang dimasukinya, yaitu adaptasi. Hingga akhirnya ia mulai menemukan arah perilakunya dan dapat melihat peristiwa di tempat barunya dengan rasa humor karena individu tersebut mulai memahami budayanya yang baru yang mencakup nilai-nilai, pola komunikasi, keyakinan, perilaku, dan sebagainya.

Di mana individu tersebut mulai menemukan rasa makanan yang lebih sesuai dengan lidah dan perutnya, serta mengatasi iklim yang berbeda, muncul perasaan puas, mandiri, dan menikmati kehidupan di lingkungan barunya sehingga ia mulai merasa nyaman dan dapat berfungsi dengan baik di lingkungannya yang baru. Ini adalah fase penyesuaian, fase terakhir dari kejutan budaya. Pada saat ini akan terjadi proses integrasi antara hal-hal baru yang telah dipelajari dari budaya baru dengan hal-hal lama yang dimilikinya selama ini sehingga muncul rasa tekad, kepemilikan, dan keyakinan sebagai tahap dalam proses pencarian identitas individu. Ini memungkinkan munculnya definisi baru tentang dirinya. Biasanya pada saat ini individu telah matang dalam pengalaman lintas budayanya dan memiliki kemampuan untuk hidup dalam budayanya yang baru yang berbeda dengan budaya aslinya, ini adalah dampak positif dari kejutan budaya.

Individu migran akan sampai pada titik di mana ia menyadari bahwa budaya barunya tidak lebih baik atau lebih buruk daripada yang lain, karena sekarang muncul gagasan bahwa setiap budaya memiliki karakteristik yang berbeda dalam menghadapi setiap masalah dalam hidupnya. Individu juga dapat menyadari bahwa budaya barunya memiliki banyak hal baik dan buruk yang dapat mempengaruhi dirinya selama berada di tempat baru, sehingga ia tahu bagaimana merespons dengan tepat berdasarkan pengalaman hidupnya.

Identitas diri memiliki keterkaitan yang erat dengan peran individu. Identitas diri sangat mempengaruhi perilaku seseorang, dan sebaliknya, identitas diri juga dipengaruhi oleh peran individu tersebut. Sejak kecil, individu cenderung menilai atau memberi label pada orang lain maupun dirinya sendiri berdasarkan perilaku atau tindakan yang dilakukan. Dengan kata lain, untuk menjadi sesuatu, seseorang sering kali harus melakukan sesuatu, dan untuk melakukan sesuatu, individu sering kali perlu menjadi sesuatu terlebih dahulu.

Adaptasi dalam studi komunikasi umumnya bersifat lintas budaya terkait dengan perubahan dalam masyarakat atau bagian dari masyarakat. Seseorang yang memilih strategi adaptif cenderung memiliki kesadaran tinggi terhadap harapan dan tuntutan lingkungannya, sehingga siap untuk mengubah perilakunya. Budaya merantau ini telah dijalankan oleh masyarakat Minangkabau selama berabad-abad. Suku Minangkabau terkenal sebagai suku yang berbudaya, cepat beradaptasi dengan suku dan daerah lain, serta pandai berkomunikasi. Inilah yang akhirnya membuat banyak orang Minangkabau merantau, bahkan merantau telah menjadi budaya yang dilakukan secara terus-menerus dari waktu ke waktu. Migrasi biasanya bertujuan untuk berdagang, belajar, dan mencari kekayaan. Kesadaran akan keberadaan mereka memungkinkan orang Minangkabau untuk hidup harmonis dan bersosialisasi dengan baik dengan masyarakat setempat sehingga semua kegiatan dan usaha yang mereka lakukan dapat berjalan dengan baik. Filosofi budaya Minang “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung” adalah prinsip yang harus dipegang teguh oleh perantau Minang dalam bersosialisasi dan beradaptasi dengan semua orang di lingkungan perantauan mereka. Filosofi ini selalu diikuti oleh pepatah “elok-elok manyubarang, jan sampai titian patah; elok di rantau urang, jan sampai babuek salah” (berbuat baiklah di negeri orang, jangan sampai berbuat salah).

Indah Sari Rahmaini

Dosen Sosiologi, FISIP, Universitas Andalas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *