“Sie sah ein Pärchen, das zurück nah Westberlin wollte, und als Frau Kuppisch sah, wie locker und selbewußt die auftreten, wie laut die reden, wie gespielt die lachen, und wie raumgreifend sie agieren – als sie … wußte sie, daß sie tatsählich keine Chance hat, über die Grenze vor ihrer Haustür zu kommen.
Thomas Brussig, 1999
Sastra merupakan hasil pikiran, perasaan, dan renungan yang diungkapkan melalui medium bahasa (Habibi, dkk., 2021). Bahasa dalam karya sastra menjadi alat untuk menimbulkan rasa khusus yang mengandung nilai estetik, sarana komunikasi, menyampaikan informasi, serta pesan-pesan tertentu pada pembaca (Istiqomah, dkk., 2014). Selain faktor bahasa, hal lain yang tidak dapat dipisahkan dari kemunculan karya sastra adalah pengarang. Cerita dalam karya sastra bisa saja berasal dari kehidupan nyata, yang kemudian diolah sedemikian rupa oleh pengarang ke dalam bentuk fiksi.
Walaupun bersifat fiktif dan imajinatif, sastra tidak lahir begitu saja. Artinya, karya sastra lahir dalam konteks sejarah dan sosial-budaya dan ditulis oleh pengarang yang merupakan salah seorang anggota masyarakat bangsanya (Pradopo, 1989). Oleh sebab itu, sastra yang lahir dalam sebuah masyarakat akan mencerminkan keadaan kehidupan sosial budaya masyarakat itu (Nurgiyantoro, 1995), sekaligus menunjukkan karakteristik yang mewakili zaman tertentu.
Karya sastra, pengarang, dan masyarakat saling berkaitan. Dalam proses penciptaan karya sastra, seorang pengarang akan dipengaruhi oleh kehidupan masyarakat (Nurjanah, 2022). Maka, dalam karya sastra terdapat pengejawantahan kehidupan. Seperti pada roman berjudul Am kurzeren Ende der Sonnenallee karya Thomas Brussig yang menggambarkan kehidupan masyarakat Jerman Timur. Latar belakang Brussig yang lahir di Berlin Timur sangat memengaruhi proses kreatifnya dalam menciptakan karya sastra. Hampir semua karya Brussig berlatar tentang kehidupan masyarakat Jerman Timur, khususnya pada masa sebelum dan sesudah runtuhnya Tembok Berlin pada 9 November 1989.
Kesusasteraan Jerman mengenal istilah roman yang memiliki kemiripan karakteristik dengan novel. Kata roman berasal dari bahasa Perancis, yaitu romance. Setelah abad ke-13, istilah ini dikaitkan dengan cerita-cerita yang bertema percintaan, mulanya berbentuk puisi, lalu kemudian prosa (Bellla, 2013). Dalam KBBI, roman berarti karangan prosa yang melukiskan perbuatan pelakunya menurut watak dan isi jiwanya, serta lebih banyak sifat zamannya ketimbang drama ataupun puisi. Adapun dalam konteks kesusasteraan Jerman, istilah roman memiliki pengertian yang berbeda. Goethe, dalam von Wilpert, dalam Bella (2013) mengatakan bahwa roman merupakan suatu peristiwa atau kejadian yang mungkin dapat terjadi. Pengertian lain menyebutkan bahwa roman merupakan kisah prosa rekaan yang lebih panjang dan kompleks ketimbang cerita pendek, tetapi tidak sepanjang novel. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan, bahwa roman merupakan sejenis prosa fiktif, namun kejadiannya bisa terjadi di dunia nyata dan mewakili suatu zaman.
Secara harfiah, Am kurzeren Ende der Sonnenalle berarti di ‘ujung Sonnenalle yang lebih pendek’. Sonnenalle adalah sebuah jalan kecil yang menghubungkan bagian Barat dan Timur wilayah Berlin Timur. Berlatar tahun 1980-an, roman ini menceritakan kehidupan sekelompok remaja Berlin Timur, saat negara Jerman terpisahkan oleh Tembok Berlin. Tembok Berlin dibangun pada 1961 dan memisahkan wilayah Jerman menjadi dua bagian, yaitu Jerman Barat yang beraliran kapitalis Amerika Sertikat, serta Jerman Timur yang berpaham sosialis komunis Uni Soviet. Hal yang menarik dari roman ini adalah penggambaran kehidupan remaja yang penuh pemberontakan atas sistem pemerintahan komunis yang dianggap terlalu mengekang.
Gambaran Kehidupan Masyarakat Jerman Timur
Pembangunan Tembok Berlin dilengkapi oleh kawat berduri, ranjau, dan menara perbatasan ditujukan untuk mencegah larinya penduduk Berlin Timur ke Berlin Barat, yang berada di wilayah Jerman Barat. Dalam konteks Barat, wilayah ini disebut sebagai Todestreifen atau death strip dikarenakan banyaknya warga yang berusaha kabur dari perbatatasan. Thomas Brussig tidak menggambarkan kengerian tersebut secara eksplisit, melainkan menggunakan simbol-simbol. Dalam roman terdapat tokoh bernama Mario yang memiliki kekasih bernama Elisabeth. Elisabeth digambarkan sebagai tokoh yang memperlajari paham eksistensialisme. Eskistensialisme adalah sebuah paham mengagungkan kebebasan dan kesadaran diri, sesuatu yang bertentangan dengan paham komunisme.
Simbol lainnya diperlihatkan pada kisah ketika tokoh Micha mengikuti sebuah diskusi yang diadakan oleh Freien Deutschen Jugend (FDJ). FDJ merupakan satu-satunya organisasi remaja komunis di Jerman Timur. Pemerintahan komunis menerapkan sistem partai tunggal dimana hanya terdapat satu partai yang memiliki hak untuk memerintah. Dalam roman diceritakan tokoh Micha yang memiliki pendapat yang sangat berbeda dengan peserta diskusi lainnya. Bagi Micha, seseorang harus mengungkapkan kritiknya terhadap pemerintah dengan lantang. “Nein”, erwiderte Micha. “Wenn man eine fundamentale Kritik hat, daß muss man sie auch laut sagen!” (hlm. 119) – Ketika seseorang memiliki kritik, ia harus menyampaikannya dengan lantang!” Kutipan tersebut menggambarkan sistem pemerintahan Jerman Timur, dimana seseorang tidak memiliki kebebasan berpendapat. Seseorang yang mengkritik pemerintah akan berisiko ditangkap.
Perbedaan Pemikiran Tokoh Remaja dan Orang Tua
Tokoh utama dalam roman ini adalah Micha yang tinggal di Sonnenalle bersama kedua orang tuanya, kakak laki-laki dan kakak perempuannya. Sebagai remaja, Micha lebih suka bergaul dengan teman-temannya. Mereka menginginkan untuk menjalani kehidupan yang berbeda dengan kehidupan yang dijalankan kedua orang tuanya. Doris, ibu Micha menginginkan agar Micha bersekolah di Rote Kloster, agar kelak dapat diterima untuk belajari di Moscow, Rusia. Ia memanggil Micha dengan sebutan Mischa, nama anak laki-laki Rusia, serta memasak Soljanka, makanan berupa sup tradisional Rusia.
Selain orang tua dan kedua saudaranya, Micha juga memiliki seorang paman yang tinggal di bagian barat jalan Sonnenalle. Paman Heinz suka menyelundupkan barang-barang dari Barat ke rumah Micha. Masyarakat Jerman Barat memiliki kebebasan untuk melintasi Tembok Berlin, sehingga tergambarkan jelas perbedaan kehidupan kehidupan Jerman Barat dan Jerman Timur. Doris menyadari kehidupan orang-orang di Jerman Barat yang lebih berwarna dan lebih bersemangat ketimbang kehidupan yang dijalaninnya di Jerman Timur. “Ia melihat sepasang kekasih yang ingin kembali ke Berlin Barat, dan Ny. Kuppisch melihat betapa santai dan percaya diri mereka, betapa kerasnya mereka berbiacara, betapa santainya mereka tertawa, dan betapa mahalnya pakaian mereka ketimbang dirinya … ia pun menyadari bahwa ia tidak akan punya kesempatan untuk melintasi perbatasan yang berada di depan rumahnya.” (hlm. 98). 11Tokoh Doris merupakan representasi dari banyaknya penduduk Jerman Timur yang tidak berani keluar dari karena sudah terintegrasi dengan sistem pemerintahan komunisme.
Musik sebagai Simbol Pemberontakan
Sistem pemerintahan komunis yang dijalankan di Jerman Timur melarang penduduknya mendengarkan musik-musik Barat. Pemberontakan Micha dan teman-temannya diperlihatkan dengan kegemaran mereka mendengarkan musik-musik Barat yang dilarang di Jerman Timur. Dalam roman terdapat tokoh lainnya, Wuschel yang sangat ingin membeli album grup musik The Rolling Stone berjudul Exil on Main Street. Untuk mendapatkan album tersebut, ia harus menempuh perjalanan jauh dan membelinya di pasar gelap seharga 50 Deutsche Mark. ‘“Nee, ich hab auch keine fünfzig West!” sagte Wuschel.’ (hlm. 57) – ‘“Tidak, aku tidak punya uang lima puluh Deutsche Mark!” kata Wuschel’. Wuschel tidak mampu membayar album tersebut, sehingga ia terpaksa harus mendengarkan album tersebut dengan cara menyalin lagu-lagunya ke kaset.
Lirik-lirik yang terdapat dalam lagu rock kerap dianggap bersifat subversif atau bentuk pemberontakan untuk merobohkan struktur kekuasaan. Dalam hal ini pemerintah Jerman Timur menganggap bahwa lagu rock Barat dapat mengontaminasi pemikiran kawula Jerman Timur sehingga mendorong mereka untuk melawan pemerintah. Penggambaran tokoh Wuschel merupakan representasi anak muda yang melakukan apapun untuk melakukan hal-hal yang dilarang demi kesenangan.
Narasi tokoh Wuschel tidak mampu membeli album tersebut memperlihatkan kesenjangan ekonomi di antara Jerman Barat dan Jerman Timur. Deutsche Mark atau mark Jerman merupakan mata uang negera Jerman yang berlaku dari tahun 1948 hingga 1999, sebelum berubah menjadi Euro. Walaupun sama-sama menggunakan mata uang mark, perbandingan nilai tukar Jerman Timur dan Jerman Barat jauh berbeda, yaitu 1:5.
Konflik dengan Anggota Kepolisian Negara
Zulkifli (2009) menggambarkan beberapa karakteristik remaja di antaranya, mengalami pertumbuhan fisik, perkembangan seksual, mulai berpikir kritis, memiliki emosi yang labil, mulai mencari perhatian di lingkungannya, dan mulai terikat dengan kelompok. Semua ciri tersebut tergambar dalam diri Micha. Tidak jarang hal tersebut membuatnya harus berurusan dengan anggota kepolisian negara (ABV).
ABV merupakan singkatan dari Abschnittsbevollmächtiger atau anggota kepolisian Negara Jerman Timur. Suatu ketika seorang anggota kepolisian menyita CD Moscow Moscow yang dinyanyikan grup musik Wonderland, lagu Barat yang paling dilarang. Anggota polisi kemudian memutar lagu tersebut sehingga ia tidak jadi dipromosikan dari letnan (Leutnant) menjadi letnan satu (Obermeister), melainkan ia turun pangkat menjadi kepala polisi (Polizeimesiter). Oleh sebab itu ia menjadi dendam terhadap Micha dan mengawasi segala gerak geriknya.
“Abführn! Abführn! Das sieht kriminell aus!” und “Verhaften! Verhören! Foltern!” (hlm. 46). “Awasi dia! Dia terlihat seperti seorang kriminal!” dan “Tangkap! Intrograsi! Siksa dia!”. Kutipan tersebut memperlihatkan sosok yang menggunakan kekuasannya untuk mengendalikan dan mengancam sosok lain yang tidak sekuat dirinya. Dalam hal ini anggota polisi tersebut melampiaskan dendamnya kepada Micha. Konflik lainnya diperlihatkan ketika polisi mencoba menyabotase rencana kencan Micha dengan Miriam, gadis yang disukainya.
Suatu Micha sedang berjalan menuju rumah Miriam, tiba-tiba ia dicegat oleh polisi dan menanyakan paspornya. Ia yang menyadari bahwa paspornya tertinggal di jaketnya berusaha untuk melarikan diri, namun tubuh polisi jauh lebih besar dan kuat. Micha terlibat perkelahian dengan anggota polisi dan hidungnya berdarah. “Der ABV wollte Micha damit nur beweisen, daß er bösartig warden kann, aber Micha interessierte sich nicht für derartige Feinheiten” (hlm. 129). “Polisi hanya ingin menunjukkan bahwa ia juga dapat menjadi jahat, tetapi Micha tidak peduli.” Kutipan tersebut merepresentasikan sistem pemerintahan Jerman Timur yang mengontrol rakyatnya secara ideologi, tetapi juga menggunakan kekuatan fisik.
Demikianlah sekilas tentang penggambaran kehidupan masyarakat Jerman Timur!