Industri perfilman di Indonesia saat ini mungkin sedang tidak baik-baik saja. Namun, hal tersebut bukan berarti tidak ada film yang berkualitas. Sebut saja beberapa film besutan Garin Nugroho di antaranya “Kucumbu Tubuh Indahku”, “Tjokroaminoto: Guru Bangsa”, “Puisi Cinta yang Membunuh”, hingga film yang sangat menarik bagi saya berjudul Budi Pekerti.
Di tengah arus gempuran film Indonesia yang lebih pragmatis, hanya demi mengejar rating dan meraup berbagai keuntungan. Misalnya saja, “Vina, Sebelum 7 hari”, “KKN Desa Penari”, “Badarawuhi di Desa Penari”, dan sebagainya. Garin Nugroho merupakan sutradara yang tetap mempertahankan idealisme perfilman.
Kemarin, saat bertemu Aly Reza tepatnya di akademi bahagianya Mojok, ia menceritakan bagaimana rangkaian acara Kotabaru Heritage Film Festival 2024. Dalam tulisannya tersebut ia menjelaskan berbagai hal, seperti pemutaran film-film lawas tahun 1970-an dan 1980-an, tentang sejarah bioskop di Yogyakarta, bahkan penjelasan seputar film oleh Garin Nugroho sendiri. Jogja memang memiliki daya tarik tersendiri, tidak hanya sebatas kota pelajar dan pariwisata, tetapi juga sebagai kota sinema.
Sepintas tentang Film Budi Pekerti
Film Budi Pekerti menceritakan tentang bagaimana menghadapi berbagai gempuran di medsos. Berlatar saat pandemi covid melanda, medsos menjadi arus beragam informasi yang banyak dikonsumsi oleh berbagai masyarakat, bahkan informasi yang disebarkan belum tentu kebenarannya. Proses pengambilan film tersebut berada di Jogja, dengan alur cerita bernama Bu Prani yang berprofesi sebagai guru BK.
Bu Prani menjadi viral ketika adanya kesalahpahaman saat sedang mengantre membeli kue putu langganannya. Klimaks dari film tersebut adalah saat ia dan keluarganya mendapat penghakiman dari berbagai netijen karena memberikan refleksi kepada Gora, salah saru muridnya, yang suka tawuran dengan menjadi seorang penggali kubur. Akhir dari film tersebut juga sangat baik dengan menjelaskan bahwa Bu Prani telah berhenti menjadi seorang guru BK ditambah keluarganya pindah untuk menjalani kehidupan baru. Sementara ring light yang sering digunakan ditinggal begitu saja yang ditafsirkan bahwa mereka ingin menghindari hiruk pikuk dunia medsos.
Film Budi Pekerti menurut saya film yang mengajarkan berbagai moral, terutama di tengah arus penggunaan medsos yang semakin memburamkan kebenaran dari informasi yang didapat. Kita diajarkan untuk tidak langsung menghakimi hal-hal yang tidak diketahui.
Sejarah Bioskop di Jogja
Jogja memang menjadi primadona bagi siapa saja, mahasiswa, akademisi, wisatawan, termasuk bagi para pegiat seni dan budaya. Selain itu, berbagai lapisan masyarakat memberikan perhatian lebih pada berbagai peninggalan sejarah (heritage) apa pun, termasuk bioskop. Setidaknya ada beberapa bioskop lama yang pernah merambah kota pelajar ini. Sebut saja bioskop permata yang sudah berjalan sekitar tahun 1980-an. Bioskop tersebut telah mengalami tahap revitalisasi pada tahun 2019, sayangnya sempat terhenti tahun 2020 kala Covid-19 menjadi momok menakutkan.
Masih banyak bioskop-bioskop bersejarah lainnya sebelum CGV, XXI, dan Empire mulai mendominasi perbioskopan di Jogja. Seperti Bioskop Senopati, Bioskop Ratih, dan bioskop Soboharsono.
Medan Juga Punya Bioskop Lawas
Bisa dibilang beberapa kota besar seperti Surabaya, Semarang, Jakarta, termasuk Medan memiliki beberapa peninggalan bioskop. Budaya menonton film sebenarnya dibawa oleh orang Belanda. Jejak-jejak bioskop lawas tersebut kini sudah tidak ada lagi. Medan menurut saya juga punya potensi yang sama besar soal peninggalan bioskop lawas, terutama sejak masa Belanda. Mungkin ke depannya berbagai pihak, seperti mahasiswa, akademisi, penggiat seni, bisa menyalakan dan menyadarkan kembali bahwa Medan juga memiliki kekhasan terkait sejarah peninggalan bioskop. Menggelar pameran bersejarah sungguh penting karena merupakan memory kolektif bagi suatu daerah.
Redupnya perbioskopan di Medan dikarenakan mulai hadirnya televisi yang mampu menghubungkan berbagai film di setiap rumah. Sementara di Jogja, perbioskopan masih tetap berjalan dengan baik, ada apa?