Sejak pandemi, saya memilih tidak ke luar kota sama sekali. Ada banyak peluang yang sengaja saya skip, bahkan beberapa acara di luar kota saya batalkan. Karena saya selalu diliputi rasa cemas berlebih, ketika harus menempuh perjalanan jauh memakai pesawat. Saya mengalami kecemasan semacam ini setelah terkena gejala psikosomatik (anxiety disorder). Karena itu, tiga tahun terakhir ini saya tidak mengalami vibes Bandara.
Saya mulai terkena psikosomatis sejak empat tahun lalu. Tepatnya pasca ibu saya meninggal. Saat itu, hari-hari saya menjadi muram. Dunia menjadi gelap. Mental saya runtuh. Saya kehilangan semangat dan gairah hidup. Saya lebih banyak melewati hari-hari di dalam rumah, dan jarang berinteraksi. Psikosomatis adalah kecemasan akut disertai serangan panik yang sering datang tiba-tiba; mengalami nafas berat, keringat dingin, jantung berdebar, kepala pusing dan tubuh melemah. Karena itu, penderita psikosomatis kerap merasa insecure untuk melakukan perjalanan jauh, apalagi sendirian.
Tiga tahun terakhir ini, saya terus berusaha melawan kecemasan-kecemasan itu. Degan terapi. Menata kembali pikiran. Rutin melakukan afirmasi positif. Membaca literatur-literatur psikologi. Juga buku-buku populer pengembangan diri. Bahkan hingga ritual-ritual religi yang saya yakini. Intinya, saya berusaha melakukan self-healing bagi jiwa saya. Perlahan, saya semakin membaik. Meskipun sampai detik ini saya belum sembuh total. Tapi saya bertekad untuk lepas dari jebakan anxiety disorder yang telah merenggut banyak hal dalam hidup saya.
Saya tahu, banyak orang di luar sana sedang mengalami anxiety disorder. Tentu dengan gejala yang macam-macam dan tingkat kecemasan yang berbeda. Semoga mereka mampu bertahan. Segera membaik. Dan kembali bergairah menata hidup dan menjemput masa depan.
***
Untuk pertama kalinya, sejak saya menghindari perjalanan jauh via pesawat. Akhir bulan Juli lalu, saya memutuskan berangkat ke Medan. Perjalanan kali ini mengusung misi kebudayaan yang “dirahasiakan”. Tentu saja sembari melakukan “self theraphy” untuk keluar dari jebakan rasa cemas dan takut naik pesawat, yang selama ini menggelayuti pikiran saya.
Beberapa hari sebelum berangkat, saya mengirim pesan ke papanya kembar, Bang Surya. Bahwa saya akan datang ke Medan. Dengan semangat dia menjawab; “Oke nanti aku jemput di bandara”. Bang Surya adalah senior saya di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Saya mengenalnya lewat organisasi mahasiswa pascasarjana, Lisafa (Lingkar Studi Agama, Filsafat dan Budaya). Sejak saat itu, komunikasi kami tidak pernah putus. Kami terus bertukar pikiran perihal dunia akademik, publikasi, bahkan hingga perihal kehidupan rumah tangga. Bang Surya ini semacam teman sejawat, tapi di saat-saat genting dia akan bertindak sebagai mentor untuk menyelamatkan “peradaban”. Heuheuheu. Dosen Universitas Pembangunan Panca Budi ini memang bisa diandalkan. Semoga Studi S3-nya bidang Filsafat di UGM segera rampung!!
Saya tiba di Bandara Kualanamu jelang magrib. Saat turun dari pesawat, saya merasakan cuaca begitu panas. Maklum di Lombok sedang cuaca dingin. Tubuh saya langsung bereaksi menyesuaikan perubahan cuaca (fenomena El Nino – red.). Ketika keluar dari pintu kedatangan domestik, Bang Surya sudah menunggu di tempat penjemputan. Bersamanya ada Bang Muhajir yang lebih dahulu tiba di Kualanamu dari Kota Padang. Bang Surya menjemput kami dengan “Badak Sumatera” alias mobil Cheverolet Captiva andalannya. Lalu dia mengantar saya ke hotel di Jalan Wahid Hasyim.
Sepanjang jalan dari Bandara Kualanamu ke hotel, kami berbincang banyak hal sambil cekikikan. Mengenang banyak kisah-kisah konyol semasa di Yogyakarta. Tak luput pula obrolan kami nyerempet “tol Jokowi” yang kami lintasi. Hingga Boby Nasution, menantu Jokowi, yang kini sedang digadang-gadang menjadi calon kuat Gubernur Sumatera Utara.
Selepas itu, nalar etnografis medioker saya mulai bekerja; memperhatikan bangunan di sisi kanan dan kiri jalan di tengah kota Medan. Perhatian saya tertuju pada deretan warung kopi dan resto-resto sepanjang jalan. Melihat banyaknya warung kopi di tengah kota Medan, saya berkesimpulan medan punya tradisi ngopi yang kuat. Tentu saja budaya nongkrong ngopi ini ditopang oleh kultur sosial-budaya masyarakat kota medan yang semakin urban.
Setiba di hotel menjelang waktu Isya, ada pesan masuk ke ponsel saya:” Bro, sudah sampai di Medan?”. Pesan itu datang dari kawan angkatan saya semasa studi di Yogyakarta, Purjatian Azhar. Kami punya bahasa kode untuk saling menyebut “partner in crime”. Sebuah istilah yang menggambarkan liku-liku dan gelap-terangnya kehidupan yang pernah kami lewati di Yogya. Saya kemudian menjawab pesannya:” Iya, bro, saya sudah di hotel”. Lalu dia menimpali: “Oke malam ini istirahat dulu, Bro. Besok siang saya sambangi ke hotel, lalu kita city tour dan menikmati kopi sanger”.
Esok harinya, sekitar jam 11 siang, Purja datang menjemput saya ke hotel. Lalu mengajak saya ke kedai kopi Aceh “Pos Kupie”. Tidak jauh dari hotel tempat saya menginap. Dia memesan dua gelas kopi sanger; semacam kopi susu khas Aceh. Aromanya semerbak sejak butiran kopi disiram air panas. Sepintas, visualnya mirip kopi susu pada umumnya. Namun rasa kopinya tetap kuat saat diseruput. Sembari menikmati kopi sanger, obrolan kami mengalir ngalor-ngidul. Kami juga bertukar cerita tentang perjuangan hidup pasca menikah. Kami tiba pada kesimpulan, bahwa “hidup yang tak pernah diperjuangkan, tak pernah dimenangkan”. Alhamdulillah, kini Purja sudah menjadi dosen tetap di UIN Sumatera Utara.
Menjelang sore, saya menerima pesan dari Bang Surya. Dia meminta saya bergeser ke KAI Kopi. Untuk lanjut ngopi dengan sindikat alumni Yogya; yang kini sedang menata karier akademiknya di kampus-kampus di sekitar kota Medan. Saya pun segera bergeser bersama Purja menuju lokasi. Di sana saya berjumpa dengan senior jauh alumni UIN Sunan Kalijaga, Bang Riza, yang kini wajahnya kerap tampil di layar televisi nasional. Sebagai pengamat politik pilkada Sumatera Utara. Bang Riza bercerita, pilkada Sumut menjadi sorotan TV nasional, lantaran Bobby menantu Jokowi ikut maju sebagai kontestan.
Dia berbagai pula soal pengalamannya sebagai konsultan politik. Saya memiliki kelebihan dibanding konsultan politik lainnya. Kami penasaran, apa kelebihan Bang Riza dibanding yang lain. Lalu dia melanjutkan; “Sebagai dosen UIN yang nyambi jadi konsultan politik, tentu saya memberi bonus kepada klien layanan doa dan panduan shalat hajat”. Tawa kami pun pecah seketika.
Beberapa saat kemudian, datang Mas Yasser Arafat. Rupanya dia sedang di Medan juga, pulang kampung. Mas Yasser juga Alumni UIN Sunan Kalijaga, kini dia menjadi dosen di almamaternya itu. Sembilan tahun yang lalu, tepatnya tahun 2015, mas Yasser sempat menjadi makhluk paling kontroversial di Indonesia. Dia lah qori’ pelantun ngaji Qur’an langgam Jawa pada peringatan Isra’ Mi’raj di Istana negara. Selain sebagai dosen, hari-harinya di Yogya dihibahkan untuk mengurus Masjid Jenderal Sudirman. Masjid yang semakin populer karena program rutin ngaji filsafat yang diampu Fahrudin Faiz.
Belakangan, Mas Yasser fokus pada risetnya tentang makam-makam kuno di Jawa, khususnya di Yogyakarta. Karena itu, kawan-kawan sering memanggilnya sebagai “ahli kubur”. Ia juga menekuni manuskrip-manuskrip kuno. Secara khusus, manuskrip-manuskrip Keraton yang berkaitan dengan narasi historis Jawa Islam. Kehadiran Mas Yasser di meja kopi, menambah tema obrolan ke soal polemik nasab habib dan kasus-kasus pemalsuan kuburan yang “diba’alawikan” di Jawa. Dengan penelusuran makam-makam dan data-data manuskrip keraton yang diaksesnya, mas Yasser mampu membantah, bahwa beberapa makam kuno yang diklaim sebagai makam habib cacat secara historis, alias tak memiliki dasar yang kuat. Katanya, dia sedang menulis serius perihal tersebut, dan akan segera dipublikasikan.
***
Selepas ngopi seharian, saya balik ke hotel. Tiap kali berkunjung ke sebuah kota. Saya biasanya menelusuri sejarah kota itu. Lalu saya berselancar via internet, mencari literatur tentang sejarah kota Medan. Saya menemukan banyak informasi. Saya menikmati narasi historis tentang kota Medan yang merupakan bagian dari Kesultanan Deli (1632) di masa lalu. Kesultanan ini dirintis oleh Tuanku Panglima Gocah Pahlawan, seorang panglima perang Kesultanan Aceh. Konon, ia diutus oleh Sultan Iskandar Muda untuk melakukan ekspedisi ke wilayah pesisir Timur Sumatera. Sejak berdirinya Kesultanan Deli, wilayah ini menjadi kota dagang yang sibuk di kawasan Selat Malaka.
Untuk merasakan langsung aura sejarah kesultanan Deli, esok harinya saya mengunjungi Istana Maimun. Situs ini kini difungsikan sebagai museum dan menjadi destinasi wisata di Jalan Brigjend Katamso No. 1, Medan, Sumatera Utara. Syahdan, nama Maimun diambil dari nama permaisuri sultan, Siti Maimunah. Penamaan itu sebagai bukti cinta sultan Deli kepada permaisurinya. Berdirinya Kesultanan ini menandai eksistensi identitas politik Melayu di Sumatera Utara.
Disudut-sudut Kota Medan, saya juga menyaksikan bangunan-bangunan tua peninggalan era kolonial. Bangunan-bangunan itu menghadirkan nuansa zaman Belanda. Terlebih karena menjelang bulan Agustus, para penjual bendera merah putih sudah mulai ramai di pinggir-pinggir jalan. Visual bangunan tua dan bendera merah putih yang dijejer sepanjang jalan, membuat saya membayangkan bagaimana gejolak revolusi kemerdekaan di kota ini di masa lalu. Seperti di tempat lainnya, tentu masyarakat Sumatera Utara juga mengalami apa yang disebut “zaman bergerak”. Zaman di mana rakyat mulai memunculkan gerakan perlawanan terhadap kolonial. Salah satu alat perlawanan di masa kolonial adalah koran. Pers memiliki peranan besar dalam membangkitkan nasionalisme dan semangat juang rakyat.
Ichwan Azhari, pakar sejarah Universitas Negeri Medan mengungkapkan bahwa Sumatera Utara salah satu merupakan pelopor pers di Indonesia. Sejak 1885 hingga 1942, ada sekitar 135 koran terbitan Sumatera Utara. Jumlah ini merupakan jumlah penerbitan koran terbanyak di Indonesia pada masa kolonial Belanda. Bahkan pada 1918, di Sumatera Utara sudah ada koran yang bernama “Benih Merdeka“. Sumatera Utara juga memiliki tiga pelopor koran perempuan pertama di Indonesia; Perempuan Bergerak (Medan, 1919), Soeara Iboe (Sibolga, 1932), Boroe Tapanoeli (Kotanopan, 1940).
Sementara di kota Medan ada tiga koran terbitan berbahasa Melayu yang terkenal; Pewarta Deli, majalah Pandji Islam dan Pedoman Masjarakat. Industri pers dan tradisi literasi di Tanah Deli ternyata berperan besar pada karier kepenulisan Hamka. Pada akhir tahun 1927, Hamka Ia merantau ke Medan. Di kota inilah ia mengasah kemampuan menulisnya sebagai jurnalis. Hamka menulis artikel tentang pengalamannya naik haji di koran Pelita Andalas milik orang Tionghoa. Ia juga menulis tentang Sumatra Thawalib dan gerakan reformasi Islam di Minangkabau. Melalui iklim dan tradisi literasi pers itulah Hamka tumbuh sebagai penulis. Ichwan Azhari menegaskan, bahwa perkembangan pers di Sumatera utara, tumbuh dari kebun tembakau, dibesarkan oleh keragaman Identitas. Karena Pers di Sumatera utara muncul sebagai corong perlawanan terhadap kolonial.
Ada satu koran legendaris yang masih eksis hingga hari ini di kota Medan, yakni harian Waspada. Koran ini didirikan oleh Mohammad Said. Bukan saya ya, hanya ada kemiripan nama. Heuheheu. Waspada terbit pertama kali pada Januari 1947. Koran ini masih aktif hingga sekarang, menjadi tempat teman-teman di Medan menuangkan opininya.
***
Setelah berkeliling kota Medan, hari berikutnya saya dan rombongan bergeser ke wilayah Tana Toba. Kami hendak menyeberangi Danau Toba, dan bermalam di Pulau Samosir. Dari kota Medan jarak tempuhnya cukup jauh. Seingat saya, melewati jalan Tol Kuala Tanjung, Tebing Tinggi, dan Parapat. Perjalanan kami tempuh selama 4 jam.
Selain tol, kami juga melewati jalan biasa yang cukup panjang. Dari balik kaca mobil, saya menatap hamparan kebun sawit dan karet yang begitu luas di kiri dan kanan jalan. Rupanya kelapa sawit memang punya riwayat panjang di Sumatera Utara. Konon, sejak tahun 1878, budidaya kelapa sawit telah berkembang di Deli, dan menjadi cikal bakal perkebunan komersial yang mendatangkan investor asing. Pada tahun 1911 perusahaan Belgia dan Jerman telah mulai menjalankan bisnis perkebunan kelapa sawit komersial di Asahan dan Tanah Itam Ulu.
Saya juga menatap kebun karet yang begitu luas. Tanaman karet merupakan komoditas utama subsektor perkebunan di Indonesia, yang bukan tanaman asli Indonesia. Mula-mula, Henry Wickham, ahli botani Inggris, membawa biji karet dari Brasil ke Inggris, kemudian ke Sri Lanka dan Singapura. Kemudian kolonial Belanda membawa tanaman karet ke perkebunan Indonesia, khususnya pertama kali di daerah Deli dan Serdang. Selain sawit dan karet, daerah ini juga terkenal dengan perkebunan tembakau. Bahkan tembakau Deli terkenal hingga pasar tembakau Eropa sebagai pembungkus cerutu terbaik. Seperti sawit dan karet, tembakau deli mampu mengubah gelombang perekonomian di wilayah Sumatera.
Melihat pesatnya industri sawit, karet, dan tembakau di Sumatera sejak dulu, pantas-lah Tan Malaka pernah bilang: “Deli adalah Goudland, tanah emas, surga buat kaum kapitalis. Tetapi tanah keringat air mata maut, neraka untuk kaum proletar.” Pada tahun 1919-1921 Tan Malaka menyaksikan dari dekat kehidupan masyarakat di Deli Serdang. Ia merantau di daerah ini sebagai guru bagi anak-anak kuli kontrak di sekolah Belanda milik Deli Maatschappij.
Sekitar jam 11 siang kami tiba di sana. Saya melihat langsung Danau Toba, yang dulu hanya saya pandangi di uang kertas pecahan seribuan. Danau ini merupakan danau tekno-vulkanik yang memiliki panjang 100 km dan lebar 30 km. Van Bemmelen, geolog asal Belanda dalam The Geology of Indonesia (1939) menjelaskan, bahwa danau toba terbentuk akibat aktivitas vulkanik dan erupsi gunung api purba yang sangat dahsyat. Letusan gunung api purba itulah yang menyebabkan amblesnya bagian tengah gunung, sehingga membentuk cekungan memanjang ke arah barat laut hingga tenggara: menjadi Danau Toba. Letusan ini juga menyebabkan terjungkitnya sebagian tanah dengan posisi miring ke arah barat daya yang membentuk Pulau Samosir.
Kami kemudian naik ferry, menyeberangi Danau Toba menuju Pulau Samosir. Dari atas kapal terlihat hamparan air Danau Toba bernuansa emerald dan tenang. Pemandangan di sekeliling danau terlihat barisan pegunungan hijau. Sekitar 25 menit kemudian kami sampai di pulau Samosir. Lalu mencari hotel untuk menginap dan istirahat, karena esok harinya kami akan eksplorasi ke situs-situs budaya yang ada di pula Samosir.
Waduh, ternyata catatan perjalanan ini sudah cukup panjang, sampai saya jadi lapar. Kita sudahi saja saudara. Percayalah, perjalanan ini murni pelesiran yang disponsori oleh agen rahasia. Dengan misi silang tradisi dan kawin-mawin budaya. Tentu dapat bonus silaturahim dengan kawan-kawan di Medan, sambil cosplay jadi etnograf medioker. Dan yang paling penting; di danau toba saya mencari khodam, untuk kembali memuncaki liga FIFA PS4 yang rutin saya lakukan bersama teman-teman di Mataram.