Bongak

Kuasa Tokoh Perempuan Jepang dalam Sastra

Dalam berbagai karya sastra dan sejarah Jepang, kita sering menemukan tokoh perempuan yang memiliki pengaruh besar, tetapi menggunakan kekuasaan dan keputusan mereka untuk menghambat kemajuan orang lain. Sosok-sosok ini sering kali menjadi antagonis dalam narasi, bukan hanya karena kekejaman mereka, tetapi juga karena cara mereka mempertahankan status quo dengan segala cara. Dari permaisuri yang licik hingga pemimpin birokrasi yang kaku, tokoh-tokoh ini tidak hanya muncul dalam sejarah nyata, tetapi juga dalam sastra yang mengkritisi bagaimana kekuasaan digunakan untuk menekan perubahan. Artikel ini akan membahas beberapa tokoh perempuan Jepang yang terkenal dalam sastra karena keputusan-keputusan mereka yang menjadi penghalang bagi kemajuan orang lain.

Dalam novel The Temple of the Golden Pavilion karya Yukio Mishima, kita bertemu dengan berbagai karakter yang menggambarkan sisi gelap kekuasaan dan kendali sosial. Salah satunya adalah Nyonya Ogin, seorang perempuan yang menggunakan pengaruhnya untuk mengendalikan kehidupan sang protagonis, Mizoguchi. Mizoguchi adalah seorang anak muda yang terobsesi dengan keindahan Kinkaku-ji (Paviliun Emas). Namun, sepanjang hidupnya, ia sering kali dihalangi oleh orang-orang yang lebih berkuasa darinya. Nyonya Ogin, yang bekerja di kuil, adalah salah satu dari mereka yang memastikan bahwa ia tidak mendapatkan kebebasan untuk berkembang. Ia memanfaatkan status dan kekuasaannya untuk menciptakan batasan bagi Mizoguchi, baik secara mental maupun sosial. Keputusan-keputusannya selalu berkaitan dengan pelestarian hierarki dan aturan, tetapi bukan dalam cara yang membangun. Ia lebih tertarik untuk memastikan bahwa tidak ada perubahan yang mengancam posisi atau pengaruhnya sendiri, mencerminkan bagaimana kekuasaan bisa menjadi alat untuk menekan, bukan untuk membimbing. 

Selanjutnya adalah Permaisuri Kōken (Shōtoku) dalam Sejarah dan Sastra Jepang. Meskipun Permaisuri Kōken (yang kemudian dikenal sebagai Permaisuri Shōtoku) adalah tokoh sejarah, ia juga menjadi inspirasi dalam berbagai karya sastra dan fiksi sejarah. Sebagai salah satu penguasa perempuan Jepang yang paling kontroversial, ia dikenal karena menghalangi kemajuan politik dan memusatkan kekuasaan di tangannya sendiri. Dalam beberapa kisah sastra Jepang, Permaisuri Shōtoku digambarkan sebagai pemimpin yang lebih peduli pada kepentingan pribadi dan pengaruhnya dibandingkan dengan kesejahteraan rakyatnya. Keputusannya yang kontroversial termasuk menunjuk pendeta favoritnya, Dōkyō, ke posisi politik tinggi, yang menyebabkan kekacauan dalam pemerintahan. Banyak pejabat yang lebih kompeten terpinggirkan karena ia ingin mempertahankan kendali penuh atas kekaisaran. 

Dalam perspektif sastra, karakter seperti Permaisuri Shōtoku sering kali digunakan untuk menggambarkan bagaimana kekuasaan yang absolut tanpa pertimbangan rasional dapat menghambat perubahan yang lebih baik. Para penulis menggunakan figur sepertinya untuk menyoroti bagaimana individu yang memiliki kekuatan besar bisa lebih peduli pada kepentingan pribadi daripada kemajuan masyarakat secara keseluruhan. 

Dalam novel klasik Snow Country karya Yasunari Kawabata, Madame Yuki bukanlah penguasa politik, tetapi ia adalah seorang perempuan kaya yang memiliki kekuasaan sosial yang besar di dunia geisha. Dengan posisinya, ia sering kali menjadi penghalang bagi perempuan-perempuan muda yang ingin berkembang. Sebagai seorang pemilik rumah geisha, ia memiliki kendali penuh atas kehidupan para geisha di bawahnya. Keputusan-keputusannya tidak selalu dibuat untuk kepentingan mereka, tetapi lebih untuk mempertahankan kekuasaannya sendiri dalam lingkungan yang kompetitif. Ia menggunakan aturan dan batasan yang ketat, yang sering kali membatasi kebebasan dan pilihan perempuan muda yang bekerja di bawahnya. 

Madame Yuki adalah simbol dari kekuasaan patriarkal yang dipegang oleh perempuan sendiri, di mana mereka yang memiliki otoritas tidak selalu membebaskan sesamanya, tetapi malah meneruskan sistem yang menekan mereka. Dalam banyak karya sastra Jepang, figur seperti Madame Yuki muncul untuk menunjukkan bagaimana perempuan juga bisa menjadi bagian dari sistem yang menghambat kemajuan orang lain. Sastra Jepang penuh dengan karakter perempuan yang memiliki kekuatan besar tetapi memilih untuk menggunakannya sebagai alat pembatas, bukan sebagai jembatan menuju perubahan. Baik dalam dunia kuil, istana, atau rumah geisha, mereka sering kali menjadi bagian dari sistem yang mempertahankan status quo, meskipun mereka sendiri adalah korban dari sistem tersebut. Pada akhirnya, sastra mengajarkan bahwa keputusan seseorang yang berkuasa bisa menjadi penghalang atau pendorong perubahan. Sosok-sosok seperti Nyonya Ogin, Permaisuri Shōtoku, Madame Yuki, dan Fujitsubo adalah pengingat bahwa kekuasaan yang tidak digunakan dengan bijak hanya akan menciptakan hambatan bagi mereka yang ingin maju.

Fakhria Nesa

Dosen Program Studi Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *