Bongak

Mojok, Media Tulis Terbaik di Jogja, Untuk Penulis Pemula Jangan Coba-Coba

Rasanya nerbitkan tulisan di Mojok itu susahnya sampai ke ubun-ubun. Media tulisan yang digawangi oleh Putut EA, dkk ini sudah ada sejak tahun 2014. Awal mula saya mengetahui Mojok itu, ya, dari Bang Ajir ketika lagi jadi mahasiswa di UIN Medan. Saat pertama baca jargon yang ada Mojok, saya tertarik karena agak-agak nyentil begitu, kan “Sedikit Nakal, Banyak Akal”. Bedanya saya dengan jargonnya Mojok itu, ya, banyak nakal sedikit akal, bercyandaaaa.

Tulisan-tulisan di Mojok itu ringan dan mudah dipahami, tapi jangan salah, nulis dengan gaya Mojok itu susahnya minta ampun. Belum lagi untuk menembus ke platform utamanya loh, ya. Syukurnya saya pernah sekali nuliskan tentang kota Medan di platform keduanya Mojok, yaitu Terminal Mojok, judul tulisan saya itu 10 Hal yang Bikin Nggak Betah dan Kecewa Selama Tinggal di Medan, Cabut Aja Langsung! Setelah itu, semua tulisan saya ditolak oleh pihak Mojok, begitu syuuuliiiitt. Saya jadi berpikir, walaupun prestasi yang saya torehkan hanya sebatas, ibaratnya kalo dalam dunia sepak bola Indonesia tuh, Terminal Mojok seperti liga duanya Indonesia. Lumayan bangga dong xixixi. Mungkin ya, menurut saya, karena sulitnya menembus platform utamanya Mojok, maka dibuatlah Terminal Mojok yang menaungi para pengikut aliran Mojokiyyah.

Jangan salah loh, para editor di Mojok itu sangat berkelas dan jam terbangnya dalam menulis nggak perlu diragukan, seperti Yamadipati Seno. Cerita teman saya yang bekerja di Mojok, namanya Mas Aly Reza. Perjumpaan pertama saya dengannya itu waktu lagi ngopi di Basa Basi, kebetulan dikenalkan oleh teman satu kelas saya. Mulailah obrolan tentang dunia menulis itu seperti apa, proses kreatifnya seperti apa, bahkan buku-buku terbitan Mojok yang isinya berat-berat. Menariknya, Mojok punya tempat bernama Akademi Bahagia, jadi dari penuturan kawan kita Mas Aly Reza ini, tempat itu khususon untuk para penulis yang lolos dalam seleksi sebagai penulis utama di Mojok.

Mojok sangat memanjakan para pekerjanya agar tidak dibuat stres. Sabtu besok, agenda saya mau menelusuri Akademi Bahagia-nya Mojok. Katanya Mas Aly lagi nih, di sana banyak buku-buku yang bisa dibaca, tempat diskusi antara sesama penulis, bisa buat kopi sendiri, disediakan halaman untuk mengistirahatkan mata kalo sudah jenuh di depan laptop.

Ya, sebagaimana bekerja, penulis tetap mempunyai tanggung jawabnya. Minggu lalu (saya lupa kapan harinya) saya nongkrong lagi sama brader Aly (panggil brader karena mulai-mulai akrab dengan gayanya anak Medan), dia pernah menulis tentang tidak bergunanya KKN, judulnya Mahasiswa KKN cuma Sibuk Ngarang Cerita Horor, Ngerusuhi Desa karena Aslinya Nggak Angker. Alhasil, banyak yang nge-dm dia lewat Instagram mempertanyakan tulisannya itu. Itu mungkin salah satu risikonya. Ada pembaca yang setuju dan ada yang tidak.

Bagaimanapun, menulis harus tetap dilakukan. Supaya hidup ini tetap berjalan dan kalo ditanya sama orang tua kerjanya apa, minimal penulis mojok ini, Swenggool dong. Saya jadi teringat sabdanya Ernest Hemingway, menulislah sampai kau tahu kapan waktunya mati tapi jangan mati saat menulis. Masalahnya pak banyak orang yang udah mati duluan sebelum menulis, hyahyahyahaya.

Fachri Syauqii

Pewarta weread.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *