Bongak

Simbol Kancil dalam Cerita Dongeng Si Kancil

Indonesia memiliki kebudayaan yang beragam. Sastra adalah satu dari aspek kebudayaan. Kata ‘sastra’ berasal dari bahasa Sanskerta, terdiri dari kata ‘sas’ artinya mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan instruksi; dan kata ‘tra’, yang artinya adalah alat atau sarana (Teeuw, 1988). Sehingga, secara leksikal sastra dapat diartikan sebagai alat untuk mengajar atau buku petunjuk. Susastra merupakan istilah lain dari sastra. Menurut KBBI, susastra merupakan karya sastra yang isi dan bentuknya sangat bermakna, berupa ungkapan pengalaman jiwa manusia yang ditimba dari kehidupan, kemudian direka dan disusun dengan bahasa yang penuh arti sebagai sarana sehingga mencapai syarat estetika yang tinggi. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa sastra disampaikan melalui bahasa yang memuat unsur estetika dan pengajaran.

Bahasa juga merupakan produk budaya. Sastra di Indonesia tumbuh dan berkembang dari keberagaman bahasa dan budayanya. Oleh sebab itu, tidak heran apabila Indonesia memiliki sastra yang beragam pula, mulai dari bentuk, genre, periode waktu, hingga media penyampaian. Dongeng adalah salah satu jenis karya sastra yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Secara bentuk, dongeng tergolong ke dalam jenis karya fiksi alias cerita prosa rakyat yang tidak dianggap pernah benar-benar terjadi (Danandjaya, 1991). Genre sastra terdiri dari puisi, drama, dan prosa. Dongeng termasuk ke dalam genre prosa yang diturunakan melalui tradisi lisan, dan kemudian dibukukan.

Sejak awal kemunculannya, dongeng telah dijadikan sebagai media penyampaian ajaran moral dan hiburan. Dongeng juga mencerminkan kebudayaan suatu masyarakat, sekaligus menjadi warisan budaya. Oleh sebab itu, dongeng juga termasuk ke dalam jenis foklkor. Danandjaya (1991) mengatakan bahwa follkor merupakan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun di antara kolektif apa saja, melalui cara tradisional dan dalam versi yang berbeda-beda baik secara lisan maupun gerak syarat atau alat pembantu pengingat.

Sebagai sebuah kolektivitas, tiap-tiap dongeng biasanya mewakili kebudayaan daerah dan bangsa tertentu. Misalnya di Eropa dikenal berbagai dongeng-dongeng yang dibukukan oleh Grimm bersaudara seperti Cinderella, Sleeping Beauty, Snow White, dan sebagainya. Di Indonesia, dongeng-dongeng seperti Timun Mas, Malin Kundang, serta Bawang Merah dan Bawang Putih dikenal luas. Dongeng sendiri juga dapat diklasifikasikan ke dalam mitos, legenda, fabel, hikayat, dan nyanyian rakyat. Di antara jenis-jenis dongeng tersebut, fabel menjadi objek dalam tulisan ini. Fabel atau cerita binatang merupakan bentuk cerita tradisional yang menampilkan binatang sebagai tokoh cerita (Mursini, 2011). Fabel menggambarkan tokoh binatang yang dapat berbicara, berpikir, dan beringkah laku layaknya manusia. Fabel juga dapat menjadi media hiburan dan pengajaran yang menyenangkan karena menghadirkan permasalahan manusia yang diperankan oleh binatang, sekaligus menyampaikan pesan-pesan moral karena sifatnya yang tidak menggurui. Dalam konteks Indonesia, kancil adalah binatang yang paling populer digunakan sebagai tokoh utama dalam cerita-cerita fabel.

Tokoh kancil dalam kumpulan cerita dongeng Si Kancil digambarkan memiliki watak yang cerdik dan terkadang licik karena kemampuannya menipu dan mengelabui musuh-musuhnya. Menggunakan teori semiotika Bathes, tulisan ini mencoba untuk menggali makna simbol kecerdikan watak Si Kancil. Objek yang digunakan adalah empat cerita yang terdapat dalam kumpulan cerita Kumpulan Dongeng Binatang Pelanduk Jenaka: Si Kancil yang Cerdik, yang ditulis ulang oleh MB. Rahimsyah terbitan Sandro Jaya yaitu Menipu Buaya, Sabuk Nabi Sulaiman, dan Gajah yang Pintar.

Teori Semiotika Roland Barthes

Teori Semiotika Roland Barthes merupakan pengembangan dari teori semiotika Ferdinand de Saussure. de Saussure mengelompokkan tanda menjadi dua bagian, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer atau manasuka (Amri & Pratiwi, 2023). Misalnya, ketika mendengar kata kancil, kita langsung terbayang akan gambar pelanduk kecil atau binatang jenis mamalia berbadan kecil dan berkaki empat. Dalam hal ini kata kancil merupakan representasi penanda, sedangkan petanda adalah gambar pelanduk kecil merupakan sesuatu yang diacu oleh penanda.

Charles Sanders Peirce mengklasifikasikan hubungan antara penanda dan petanda menjadi tiga bagian, yaitu ikon, berupa hubungan kemiripan, misalnya foto atau peta; indeks, berupa hubungan sebab akibat, misalnya asap terbentuk karena api; dan simbol; berupa hubungan yang terbentuk karena konvensi atau kesepakatan, misalnya bendera merah putih merupakan simbol bendera negara Indonesia. Dalam karya sastra, kehadiran ketiganya kerap saling berhubungan dan kadang bertumpang tindih. Artinya sebuah ikon dalam karya sastra dapat memiliki nilai indeks ataupun simbol. Contoh ikon dalam karya sastra dapat berupa kata-kata, tokoh, maupun latar. Indeks dapat menjelaskan perwatakan maupun alur. Adapun simbol baru dapat dipahami jika pembaca telah memiliki pemahaman akan konsep yang telah menjadi sebuah konvensi, misalnya hewan kancil kerap diidentikkan sebagai hewan yang cerdik.

Barthes membagi dua jenis tingkat pemaknaan sebuah tanda, yaitu denotasi dan konotasi. Tingkat pemaknaan pertama disebut sebagai denotasi. Tanda dapat dipahami sebagai arti yang sebenarnya karena di dalamnya tidak terdapat makna tersembunyi. Oleh sebab itu pada tingkatan denotasi tidak dibutuhkan pemaknaan tingkat lanjut. Adapun dalam konotasi merupakan tingkatan kedua yang memunculkan makna implisit dan bersifat subjektif karena didasarkan atas perasaan ataupun keyakinan (Nofia, dkk., 2022). Barthes juga menyertakan aspek mitos. Mitos dapat dipahami sebagai makna konotasi yang telah menjadi pemikiran populer dalam masyarakat (Hidayati, 2021). Mitos dapat didefinisikan sebagai bahasa atau makna yang muncul berbeda-beda akibat pengaruh kehidupan sosial, budaya serta pandangan yang ada di sekitarnya (Dewi, & Riris, 2020 dalam Nofia, dkk., 2022).

Makna Simbol Kancil dalam Cerita-cerita Dongeng Si Kancil

Denotasi

Menceritakan Si Kancil menipu kawanan buaya yang ingin melahapnya ketika hendak Kancil hendak menyeberang sungai.

Konotasi

Si kancil berbadan kecil, namun memiliki otak yang cerdik. Ia memutar otak bagaimana caranya ia harus menyeberang sungai yaitu dengan cara menggunakan batang pisang. Buaya merupakan sosok yang licik karena ia memiliki niat yang baik terhadap Si Kancil. Si Kancil juga sosok yang pintar bernegosiasi. Ia tidak membiarkan buaya menyantapnya sebelum tubuhnya penuh oleh makanan. Walaupun terkadang suka menipu, Si Kancil adalah sosok yang tepat janji. Ia menepati janjinya kepada Buaya dan kembali ke sungai.

Mitos

Perbuatan Si Kancil menipu Buaya adalah siasat yang digunakannya untuk menyelematkan diri sekaligus bentuk ketidakterimaannya atas perlakuan licik Buaya. Walaupun bertubuh kecil, ia tidak lantas bisa diremehkan begitu saja. Hal tersebut terlihat pada kutipan, “Apa mau memakan dagingku?” Sorry aja yah!” teriak Kancil sambil berlari (hlm. 22).

Sabuk Nabi Sulaiman

Denotasi

Kisah seekor Macan terkena tipuan Si Kancil dan diserang seekor ular.

Konotasi

Ketika Si Kancil bertemu dengan Macan, ia tahu dirinya dalam bahaya. Kancil yang berbadan kecil tahu dirinya tidak akan menang melawan Macan, sehingga ia harus memikirkan bagaimana caranya menyelamatkan dari sang Macan. Ia mengelabui Macan dengan mengatakan bahwa dirinya sedang bekerja untuk Baginda Nabi Sulaiman. Dalam Al Quran dikatakan bahwa Nabi Sulaiman pandai berbicara dengan binatang, Macan mempercayai ketika Si Kancil mengatakan bahwa Ular adalah sabuk Baginda Nabi Sulaiman yang sakit mencerminkan sosok macan yang mudah terperdaya omongan  Si Kancil sekaligus menggambarkan wataknya yang haus akan hal-hal bersifat material, seperti kekuatan. Macan mengalungkan Ular ke tubuhnya namun ular langsung mengeluarkan bisanya. Ular merupakan binatang jenis reptilia bertubuh panjang, tidak berkaki, dan mengeluarkan bisa apabila merasa terancam.

Mitos

Si Kancil menipu Macan sebagai bentuk pertahanan hidup di hutan. Hal itu terlihat pada kutipan, “Aku tak mau  siapa yang akan menang dan bertahan hidup, lebih baik aku segera menyingkir jauh-jauh dari tempat ini. Selamat tinggal Macan yang bodoh.” (hlm. 32).

Gajah yang Pintar

Denotasi

Menggambarkan petualangan Si Kancil yang diselamatkan oleh seekor gajah. Gajah digambarkan sebagai hewan yang baik hati, bijaksana, penolong, dan suka berbagi.

Konotasi

Walaupun Gajah bertubuh besar dan kuat, ia bukan lah hewan yang sombong. Gajak adalah sosok yang rendah hati. Ia membantu siapa saja dengan sukarela. Si Kancil adalah binatang kecil yang hidup mengembara di hutan. Di perjalanannya ia kerap bertemu dengan berbagai binatang yang tidak kalah besar dan kuat. Ada yang bermaksud baik, namun tidak sedikit yang berniat buruk. Interaksinya dengan Anjing dan Buaya melatih Si Kanci melakukan berbagai cara untuk bertahan hidup. Si Kancil memang cerdas, namun ia juga ceroboh. Hal ini terlihat ketika ia tidak memperhitungkan kembali bagaimana caranya keluar kolam. Si Kancil juga terpaksa berbohong karena ia tidak mau dimarahi Gajah karena telah ceroboh. Gajah telah mengetahui kelicikan Si Kancil. Ia tidak lantas percaya dengan kata-kata Si Kancil. Si Kancil tidak menyangka bahwa Si Gajah juga cerdik seperti dirinya. Dalam hal ini terbit penyesalan dalam dirinya karena ia merasa sombong. Gajah kembali menemui Si Kancil memperlihatkan bahwa ia adalah sosok yang tulus.

Mitos

Hal ini memperlihatkan bahwa kecerdikan Si Kancil tidak selalu baik. Ketika Si Kancil merasa tinggi hati, datanglah Gajah yang memberinya pelajaran untuk tidak selalu menipu hewan-hewan lain, walaupun hal itu dilakukannya untuk menyelamatkan diri. “Anu Pak Gajah, kecuali terpaksa untuk menyelamatkan diri. Karena sebagai kewan kecil nyawa saya sering terancam oleh harimau, srigala dan buaya yang jahat!” (hlm. 57).

Dengan demikian, tidak semua kecerdikan Si Kancil berarti baik. Untuk bertahan di hutan, Kancil tahu bahwa ia tidak akan menang melawan para binatang jika hanya mengandalkan kekuatannya. Oleh sebab itu, ia bergantung pada kekuatan pikirannya. Dengan kecerdikannya ia mampu bertahan dari hewan-hewan bertubuh lebih besar seperti Buaya dan Macan. Tidak semua hewan di hutan merupakan musuh bagi Kancil. Selain itu, tidak semua hewan di hutan merupakan musuh bagi Kancil. Kancil juga dapat berlaku jahil dan ceroboh. Ketika pikiran Si Kancil dipenuhi rasa sombong, ada hewan Gajah yang memberinya nasihat agar tidak mengulanginya kembali.

Andina Meutia Hawa

Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *