Bongak

Jalan-Jalan ke Negeri di Atas Awan

Kalo kalian membaca salah satu novel berjudul Nagabumi karyanya Seno Gumira Ajidarma, pasti ada beberapa nama wilayah yang istilahnya menarik. Seperti Negeri Atap Langit, Suwarnadhwipa, Jambhudwipa, dan sebagainya, nah salah satu yang saya tahu itu adalah wilayah Temanggung yang diberi nama Kledung. Coba cek peta yang ada di dalam novel itu, pasti dia diapit oleh dua gunung. Yap benar sekali, kedua gunung itu adalah Sumbing dan Sindoro yang menjadi gunung yang sering dijadikan tempat pendakian. Cerita di novel sih menceritakan tentang seorang pesilat tangguh yang dilahirkan diantara dua gunung itu hingga ia dijuluki sebagai Naga dari Celah Kledung.

Tapi saya nggak menceritakan novelnya, ya, silakan dibaca. Sedikit ke barat, kalian akan sampai ke daerah Wonosobo. Kuliner yang paling menariknya itu namanya Mie Ongklok. Menurut saya, mienya itu seperti mie rebus Melayu. Kurangnya itu cuman di pedasnya saja. Campuran dengan sate kambing menambah cita rasa dari mie ini. Lumayanlah untuk mengganjal perut.

Keberangkatan ke Dieng kami tempuh pada malam hari. Tiba pada jam 4 pagi tepatnya di Sikunir memerlukan waktu sekitar 1 jam-anlah untuk mendaki ke puncak Sikunir. Suhu dingin yang luar biasa tidak menghalangi para wisatawan untuk melihat keindahan sunrise dengan gunung-gemunung yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Semburat matahari yang akan mengawali waktu pagi serasa berada di negeri dongeng. Kabut yang menghalangi tidak membuat pengunjung menyerah untuk menyaksikan detik-detik matahari yang akan menunjukkan dirinya. Semuanya meneriakkan kebahagiaan yang tak terucap.

Setelah duduk sejenak untuk melihat pemandangan Dieng dari puncak sikunir, kami melanjutkan perjalanan ke Kawah Sikidang. Awalnya saya nggak tertarik dengan hal-hal fenomena alam, bahkan nggak masuk akal bagi saya ketika melihat banyak orang-orang yang berfoto ria disana. Namun, ketika mengulik informasi mengenai Kawah Sikidang ini cukup menariklah. Walaupun bau belerangnya nggak mengenakkan.

Konon ada seorang ratu bernama Shita yang cantik jelita. Ia disukai oleh seorang pangeran bernama Kidang yang wajahnya nggak tampan-tampan amatlah. Singkat cerita sang pangeran ingin melamar Ratu Shita, tapi tak semudah itu Ferguso. Harus ada syarat yang dipenuhi yaitu sang pangeran membuat sumur untuk sang ratu. Syarat itu diusahakan oleh pangeran, namun Ratu Shita dan pengawalnya berniat membunuh pangeran dengan menguburnya hidup-hidup gara-gara wajah pangeran yang JELEK. Akhirnya sang pangeran mengeluarkan ilmunya sehingga sumur itu mengeluarkan lahar panas yang meledak-ledak. Alhasil, jadilah Kawah Sikidang ini.  Coba bayangkan kalo Ratu Shita menerima lamaran pangeran, nggak akan ada kawah Sikidang yang sekarang. Nggak bisa awak foto-foto di sana, kan.

Itu cerita dari segi mitosnya, ya. Kalo dari fenomena alam yang dikaji oleh ahli ilmu pasti (sains), fenomena kawah Sikidang diambil dari bahasa Jawa kuno yaitu “Kidang” yang artinya kijang. Kenapa, menurut Badan Otorita Borobudur, karena kawah ini adalah bekas dari letusan gunung berapi. Dinamakan kidang karena kolam kawah ini akan berpindah setiap 4 tahun atau waktu tertentu. Sayangnya, lokasi kawah Sikidang telah dipenuhi tumpukan sampah. Belum lagi pihak penjualan yang menjajakan makanan kemasan plastik tidak ramah lingkungan.   

Perjalanan dilanjutkan ke tempat bernama “ Puncak Ratapan Angin”. Bagi yang mau meratapi judul skripsi atau tesis, tempat ini sangat pas. Ya pas, jadi kalian akan terlupakan dengan beratnya beban akademik yang ada di pundak. Semuanya akan terlupakan dengan keindahan bukit, hamparan hijau yang luas, kebun-kebun kentang dan sayur yang mencuci mata.

Jangan lupa berkunjung juga ke tempat situs sejarahnya, dong. Apa lagi kalau bukan Candi Arjuna. Candi peninggalan umat Hindu yang dibangun pada masa Kerajaan Mataram Kuno ini, berdiri kokoh di tengah padang rumput hijau yang megah. Kompleks wisata Candi Arjuno ini pada pintu masuknya dikelilingi oleh taman bunga yang indah. Lagi-lagi mata sangat dimanjakan. Candi Arjuno memiliki bangunan candi berjejer, seperti Candi Semar, Candi Srikandi, Candi Puntadewa dan Candi Sembadra. Saat ini lokasi Candi Arjuna sedang ada tahap pemugaran oleh badan penelitian wilayah Dieng. Saya nggak mau jelaskan sejarahnya panjang lebar, ya, silakan baca saja di webnya diengbanjarnegara.com.

Dataran Tinggi Dieng yang berada di ketinggian 2.100 mdpl, secara administrasi wilayah candi masuk ke dalam Dieng Banjarnegara. Kata Dieng berasal dari Sanskerta yaitu “Di” dan “Hyang”, kalo digabung akan bermakna wilayah tinggi meliputi berbagai pegunungan yang menjadi tempat para dewa dan dewi bersemayam. Ini menandakan bahwa agama Hindu di Pulau Jawa telah menyebar pesat tepatnya masa Sanjaya abad ke-8.

Puas mengelilingi kawasan Dieng selama seharian penuh, perjalanan selanjutnya adalah Telomoyo. Searah dengan jalan pulang, Telomoyo berada di antara Kabupaten Semarang dan Magelang. Suasananya tidak kalah menarik dengan Dieng. Perbedaan keduanya itu untuk mendaki ke Telomoyo kita harus naik motor jadi kurang berasa dan nggak ada tantangan sebagai seorang pendaki.

Nyasar ke daerah Salatiga, sempatkan ngopi sejenak di kafe bernama “Ngopo Ngopi”. Kafe ini memiliki konsep bangunan yang unik karena lebarnya hanya 2,8 meter. Pada lantai atasnya terdapat penginapan yang diberi nama “Pitu Rooms”. Hotel dan kafe ini paling sempit yang pernah ada di Indonesia dan cuman ada dua di dunia, pertamanya ada di Finlandia. Harga kopi dan makanannya juga cukup standar lah. Bangunan tersebut juga dilengkapi dengan sebuah lift unik berbentuk tabung. Cuman bisa dimasuki satu orang saja.

Salatiga ini berbeda dengan Yogyakarta. Kebanyakan orang juga bingung mau ngapain ke Salatiga, kota pendidikan bukan, kota wisata juga bukan. Tapi Salatiga termasuk kota dengan orang-orang yang memiliki sifat toleransi tinggi. Bahkan dalam sejarahnya, antara Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta melakukan perjanjian perdamaian di Salatiga. Kota yang memiliki klub sepak bola bernama PSISa (Persatuan Sepak Bola Indonesia Salatiga) ini orang-orangnya ramah dan kalau mereka sedang bersekolah di luar nggak akan ngaku dari Salatiga, melainkan dari Tingkir. Jangan salah, solidaritas mereka itu kuat loh. Siapa pun para pendatang kalo mau berbisnis harus melapor dulu ke kelompok pemuda Salatiga.

Setiap daerah memiliki keistimewaannya masing-masing. Nggak salah kita mengetahui dan mempelajari setiap daerah yang kita kunjungi. Bukan berarti hanya sekadar jalan-jalan dan menghabiskan uang. Piknik itu perlu dilakukan oleh setiap manusia.

Fachri Syauqii

Pewarta weread.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *