Budaya merupakan aktivitas hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok masyarakat, diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya. Budaya tidak hanya dipahami sebagai hasil dan praktek kesenian semata, tetapi juga meliputi seluruh aspek kehidupan, termasuk cara bertingkah laku, bergaul, berpikir, berasa, cara pandang, serta segala hal yang melekat dalam kebiasaan hidup suatu bangsa (Nurgiyantoro, 1995). Koentjaraningrat (2000), mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar, serta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya.
Kebudayaan tidak akan terbentuk tanpa ada masyarakat pendukungnya. Setiap kelompok masyarakat memiliki kebudayaan. Kebudayaan berperan dalam membentuk perilaku, pemikiran, dan perasaan masyarakat, sebab di dalamnya terkandung norma-norma dan nilai-nilai yang diyakini dan diterima. Oleh karena itu, budaya dapat menjadi identitas suatu masyarakat karena, tiap-tiap kelompok masyarakat memiliki keunikan dan karakteristik yang membedakannya di antara satu dan lainnya.
Pengetahuan dan pemahaman akan kebudayaan tertentu dibutuhkan untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat yang harmonis. Untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman tersebut, ada beberapa cara yang dapat dilakukan; pertama dengan mendatangi suatu daerah untuk mempelajari kebudayaannya secara langsung. Kedua; melalui karya sastra. Karya sastra dapat menjadi media yang menyenangkan untuk mempelajari budaya, karena di dalamnya terkandung pesan-pesan dan pengetahuan tentang cara hidup suatu masyarakat tanpa kesan menggurui. Misalnya, jika ingin mengetahui budaya Minangkabau, dapat dilakukan dengan membaca karya-karya pengarang berdarah Minang tanpa harus berkunjung ke Sumatra Barat.
Karya sastra dapat menjadi rekam jejak kebudayaan sekaligus melestarikannya. Sastra tidak terbentuk dari kekosongan budaya, tetapi merupakan hasil pemikiran dan kreativitas pengarang. Cerita dalam sastra dapat terinspirasi dari kehidupan nyata, yang kemudian dikreasikan dengan khayalan dan imajinasi pengarang, yang juga merupakan masyarakat pendukung sebuah kebudayaan. Sastra dan budaya memiliki keterkaitan. Sastra menciptakan sebuah dunia baru yang berbeda dengan kehidupan nyata, sedangkan budaya merupakan perwujudan nyata akan sebuah kehidupan. Sastra mengungkap berbagai persoalan tentang kehidupan yang disampaikan melalui media lisan ataupun tulisan, adapun budaya memiliki persinggungan langsung dengan kehidupan sehari-hari manusia.
Berdasarkan jenisnya, sastra terbagi menjadi tiga; prosa, puisi, dan drama. Prosa, khususnya novel dianggap sebagai jenis sastra yang paling komprehensif dalam mengungkap unsur kehidupan sosal budaya masyarakat tertentu. Namun, untuk memperolehnya, dibutuhkan proses pembacaan terlebih dahulu. Selain prosa, karya sastra drama juga menggambarkan kehidupan masyarakat, karena pengarang biasanya mengangkat situasi dan kondisi pada suatu masa. Beberapa bahkan masih relevan dengan kehidupan masa sekarang.
Drama berasal dari kata bahasa Yunani, “draomai”, artinya berbuat, berlaku, bertindak, dan beraksi. Oleh sebab itu, (naskah) drama dimaksudkan tidak hanya untuk dibaca, tetapi juga dipentaskan. Drama melibatkan setidaknya dua unsur, yaitu audio dan visual, sehingga kehadiran (pertunjukannya) dapat menyentuh langsung pada pemikiran dan empati pembaca. Naskah drama Roh karya Wisran Hadi memiliki muatan tentang tujuh unsur kebudayaan Minangkabau. Sesuai judulnya, naskah drama Roh menceritakan aktivitas pemanggilan roh melalui perantara.
Tulisan ini memparkan gambaran tujuh unsur kebudayaan dalam naskah drama Roh, yang berkaitan dengan sistem religi, sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian, serta sistem peralatan hidup dan teknologi (Koentjaraningrat, 2009). Berikut tujuh unsur kebudayaan dalam naskah drama Roh karya Wisran Hadi:
Bahasa
Merupakan sarana komunikasi untuk menyampaikan pesan, pikiran, perasaan, dan tujuan kepada orang lain dan memungkinkan untuk menciptakan kerja sama antar manusia (Siregar, dkk. 2023). Adib, dkk. (2022) mengatakan bahasa dapat berwujud konsep komunikasi, aktivitas pergaulan, media massa, dan peralatan dokumentasi. Pada naskah Roh, bahasa memainkan peran sebagai alat komunikasi. Dalam hal ini, alat komunikasi berbentuk mantra-mantra yang diucapkan tokoh Manda sebagai perantara antara tokoh Ibu Suri dan para roh. Mantra tersebut berbunyi,
Malekum malekum malekum salam,
lam malekum salam. Salam malekum malekum
Minangkabau memiliki sastra lisan yang masih berkembang hingga saat ini, salah satunya mantra. Mantra adalah sekumpulan kata yang dipercaya bisa mengubah keadaan spiritual (Naschichudin, dkk. 2018). Walaupun terkadang sulit dicerna akal sehat, namun kata-kata yang terdapat di dalam mantra memiliki kekuatan yang dapat memanggil roh, makhluk gaib, atau makhluk halus lainnya. Mantra lam malekum malekum malekum memiliki kemiripan bumi dengan kata assalamualaikum, ucapan salam penganut agama islam, artinya semoga keselamatan tercurah atas kalian.
Penggunaan kata bahasa Arab, walaupun dipelesetkan, memperlihatkan nilai-nilai religiusitas masyarakat Minangkabau. Pada saat naskah Roh ditulis, islam telah berkembang menjadi agama mayoritas suku Minangkabau. Namun, hal ini juga memperlihatkan masih ada sekelompok masyarakat yang menyandingkan agama islam dengan tradisi, yaitu dinamisme, atau penghormatan terhadap roh leluhur.
Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan bersifat abstrak dan berwujud ide, pengetahuan serta pemahaman yang digunakan dan dikembangkan dalam kehidupan masyarakat (Adib, 2023). Dalam naskah Roh, pengetahuan mencakup beberapa tradisi lama yang masih berlangsung hingga sekarang. Salah satunya, kegiatan pengobatan tradisional memakai jasa perantara atau disebut tagak balian, yang hingga kini masih dilakukan di kota-kota Kawasan Pesisir Timur Minangkabau, seperti Kuantan (Razan, dkk. 2020)
Ibu Suri: Benar, Datuk. Kini semua orang menyangsikan Suri. Mereka katakan Suri terkena guna-guna. Semua dokter yang mengobatinya jadi teler, segala dukun yang memberinya ramuan jadi pikun. Selamatkan Suri ku, O…
Cuplikan dialog di atas merupakan bagian dari pelaksaaan ritual tagak balian. Tagak Balian berasal dari kata “Togak Balian”, atau istilah pengobatan yang dilakukan untuk mencari atau melihat suatu penyakit pada diri seseorang, apa penyebab infeksinya, dan bahan apa yang diharapkan mengobatinya (Razan, 2020). Dalam naskah Roh, prosesi pelaksanaan kegiatan “Tagak Balian” ini dilakukan tokoh Ibu Suri yang melakukan pemanggilan terhadap roh melalui perantaraan Manda, untuk mencari keberadaan Suri.
Organisasi Sosial
Mencakup aturan yang menentukan sebuah struktur masyarakat. Unsur ini membentuk hierarki-hierarki tertentu dalam masyarakat (Adib, 2022) dan membagi-bagi masyarakat ke dalam berbagai kelompok sosial (Sumarto, 2019). Penggambaran organisasi sosial dalam naskah Roh memberikan pengetahuan tentang terbentuknya sistem adat di Minangkabau. Dalam naskah ini tokoh-tokoh tersebut diwujudkan melalui roh Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang.
Tokoh I: Akulah datuk Ketumanggungan, putra satu Sri Maharaja Dirajat. Di Pariangan Padang Panjang, peletak dasar sistem adat Koto Piliang. Tiada rakyat tanpa raja, hidup berjenjang naik bertangga turun. Dan, akupun mati juga, walaupun menang dalam perang saudara. Berkubur di bawah beringin songsang beribu tahun silam.
Tokoh II: Akulah Datuak Parpatiah Nan Sabatang, putra Cati Bilang Pandai. Seibu dengan Datuak Katumanggungan di Nagari Limo Kaum. Aku peletak dasar adat Bodi Caniago, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Kemenakan merajakan mamak, mamak merajakan penghulu, penghulu merajakan mufakat. Kebenaran berdiri dengan sendirinya. Tapi akupun mati jua setelah dilakahkan saudaraku sendiri. Berkubur di kayu meranti, beribu tahun yang lalu.
Berdasarkan tambo Minangkabau, Datuak Ketumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan sabatang merupakan penyusun bentuk dan sistem pemerintahan adat Minangkabau (lareh). Pada zaman dahulu dikenal isitlah lareh nan duo atau laras yang duo. Lareh nan duo terdiri dari Lareh Koto Piliang oleh Datuak Ketumanggungan dan Lareh Bodi Caniago oleh Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Tiada rakyat tanpa raja, hidup berjenjang naik bertangga turun menggambarkan sifat pemerintahan Datuak Katumanggungan yang keras dalam memerintah. Raja menjadi puncak kekuasaan tertinggi dan tidak dapat dibantah. Apabila rakyat melanggar perintah, akan dihukum.
Lareh Bodi Caniago merupakan kebalikan dari Lareh Koto Piliang. Walaupun satu ibu dengan Datuak Ketumanggungan, Datuak Parpatiah Nan Sabatang merupakan anak pembatu raja atau Cati Bilang Pandai. Datuak Parpatiah Nan Sabatang menurunkan sifat ayahnya yang lembut, arif, dan bijaksana. Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi menunjukkan prinsip yang dianut Lareh Bodi Caniago. Bermufakat artinya tidak meninggikan raja, tetapi keputusan diambil bersama melalui musyawarah.
Sistem Peralatan dan Teknologi
Merupakan kemampuan manusia dalam mengembangkan teknologi untuk memenuhi kebutuhan dan bertahan hidup (Adib, 2022). Dapat berupa benda-benda yang dijadikan peralatan hidup dan berbentuk teknologi yang sederhana (Sumarto, 2022). Dalam naskah Roh, gambaran sistem peralatan dan teknologi terlihat pada sesajen yang digunakan tokoh Manda untuk memanggil roh. Sesajen disebut juga sebagai sajen, sajian, semah, atau semahan adalah makanan dan benda lain, seperti bunga dan dupa, yang dipersembahkan dalam upacara keagamaan atau upacara tradisi yang dilakukan secara simbolis dengan tujuan berkomunikasi dengan kekuatan gaib (Mohtarom, 2022).
“Pada tampah-tampah besar diletakkan buah semangka, sedemikian rupa di antara bunga-bunga dan dedaunan, sepiring bara panas dan sekam pembaka kemenyan, pisau, dua gelas air, lampu mintak tanah yang dan sepiring beras.”
Masyarakat tradisi dalam naskah Roh memercayai bahwa roh memiliki kekuatan untuk menyembuhkan penyakit, serta mengetahui peristiwa yang terjadi di masa lalu dan masa depan. Tradisi ini tidak bisa dilakukan oleh orang biasa, tetapi dilakukan oleh seorang medium yang lebih sakti dari dukun biasa. Penggambaran Ibu Suri yang meminta bantuan roh untuk menyelesaikan permasalahannya memperlihatkan bentuk sebuah tradisi yang masih dijalankan di tengah kehidupan modern. Tradisi pemanggilan roh dalam naskah ini menjadi identitas budaya masyarakat setempat.
Sistem Mata Pencaharian Hidup
Meliputi mata pencaharian atau aktivitas ekonomi, serta cara-cara pemenuhan kebutuhan hidup. Naskah Roh menggambungkan penggambaran berbagai tradisi budaya masyarakat Minang, yaitu Tagak Balian, merupakan bentuk pengobatan tradisional yang dijalankan masyarakat di daerah pesisir, umumumnya berprofesi sebagai nelayan. Tradisi kedua yaitu basapa, sebuah tradisi berupa mengadakan kunjungan ke kuburan untuk meminta berkah. Basapa dijalankan oleh masyarakat Pariaman, yang menjadikan bertani dan nelayan sebagai mata pencaharian.
Dalam naskah roh digambarkan juga demikian. Walaupun latar tempatnya tidak secara spesifik disebutkan, namun dari berbagai deskripsi dan dialog digambarkan bahwa masyarakat di sekitar Ibu Suri memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dan petani.
Hilang Sinyaru tampak pagai
Hilang dilamun-lamun ombak
Hilanglah Suri dalam badai
Hilang di mata orang yang banyak
Kutipan di atas merupakan pantun yang didendangkan pemain-pemain naskah Roh sambil menggerak-gerakkan tubuh mengikuti irama. Kata-kata seperti ombak, badai, dan Sinyaru menedeskripsikan laut, sekaligus memperlihatkan tokoh Suri yang melakukan pelayaran ke negeri jauh melewati Sinyaru, sebuah pulau yang berada di Kecamatan Bungus, Teluk Kabung, Kota Padang. Selain itu, terdapat pula gambaran orang-orangan sawah pada kutipan berikut,
Tokoh III: Begitulah Suri. Dia tetap berdiri. Tanpa daya. Ditarik ke kanan dan ke kiri. Begitulah Suri, Dia tetap berdiri di tengah terik matahari. Di tengah panasnya bumi. Suri terpasung. Suri terpasung.
Kutipan di atas merupakan dialog yang diucapkan oleh Tokoh III sebagai jawaban atas pertanyaan Ibu Suri mengenai keberadaan Suri. Kata-kata ditarik ke kanan dan kekiri menggambarkan kemunculan orang-orangan sawah, memperlihatkan keberadaan sawah dan orang-orang yang menggarapnya.
Sistem Religi
Melibatkan kepercayaan, praktik, dan ritual spiritual yang dianut oleh masyarakat (Adib, 2022). Unsur ini mulanya terbentuk dari rasa percaya manusia akan adanya kekuatan gaib atau suprantural yang dianggap lebih tinggi, kemudian mencari cara untuk dapat berkomunikasi dengan kekuatan tersebut (Sumarto, 2019).
Dalam naskah Roh, Ibu Suri beragama islam. Ia menyakini bahwa hanya kepada Tuhan lah manusia harus meminta tolong, bukan pada roh ataupun makhluk gaib lainnya. Pecaya kepada selain Tuhan disebut syirik dan akan terancam oleh dosa. Namun, pencarian Ibu Suri akan Suri yang tidak kunjung bertemu membuatnya meninggalkan semua keyakinannya akan kekuatan selain Tuhan. Hal ini terlihat pada dialog berikut.
Ibu Suri: Juga, aku merasa berdosa, jika Suri tak kutahu di mana. Ayolah, Manda. Panggil roh dan arwah. Kubayar ongkosnya berapa saja.
Kesenian
Merupakan hasil ekspresi manusia yang dituangkan ke dalam aktivitas kesenian masyarakat tradisional (Sutarmo, 2019). Unsur ini berperan penting dalam mengungkap nilai dan identitas budaya (Adib, 2022). Naskah Drama Wisran Hadi memperlihatkan berbagai tradisi kesenian seperti randai dan indang, sebagai bagian dari prosesi upacara pemanggilan roh.
Dan memang, para roh bangkit dan berputar-putar dengan kain hitamnya. Mengelilingi kuburan itu. Kemudian, mereka duduk mengelilingi kuburan sambil berucap:
“Hu! Tanku!”
“Hu! Tangmu!”
Para roh itu bergerak lagi. Mereka berjalan melingkari kuburan dengan gerakan-gerakan ritmis, sambil menyanyi membaca mantra.
Lingkaran, gerakan, dan irama nyanyian yang dilakukan tokoh menggambarkan bentuk kesenian randai. Randai merupakan seni pertunjukan tradisional yang memadukan unsur musik, tari, gerak, dan cerita di Sumatera Barat (Razan, dkk., 2020). Pertunjukan randai dilakukan secara berkelompok. Cerita randai biasanya berasal dari cerita rakyat Sumatera Barat yang berisi nasihat budi pekerti dan hiburan. Dalam naskah Roh, gamabaran kesenian Randai menjadi bagian aktivitas pemanggilan roh.
Bentuk kesenian lain yang ditampilkan dalam naskah Roh ialah indang. Sebagaimana randai, penampilan indang menjadi bagian pelaksanaan aktivitas pemanggilan roh. Para pemain digambarkan melakukan tarian dan nyanyian diiringi musik pengiring.
“Selama nyanyian berlangsung, pemain yang selesai berperan sebagai tokoh digantikan oleh pemain lain untuk menjadi tokoh berikutnya.”
Indang merupakan bentuk seni pertunjukan sastra lisan Minangkabau. Pada zaman dahulu indang menjadi sarana penyebaran agama islam. Lambat laun, berubah menjadi hiburan. Hal tersebut terlihat pada kutipan.
Demikianlah penggambaran tujuh unsur kebudayaan dalam nasakah Roh karya Wisran Hadi!