Jepang, negara dengan empat musim yang jelas, memiliki berbagai tradisi yang kaya dan beragam yang berkembang seiring perubahan musim. Tradisi-tradisi ini mencerminkan hubungan harmonis antara manusia dan alam serta merupakan bagian integral dari budaya Jepang, yang terus berkembang dari masa ke masa. Musim di Jepang antara lain Musim Semi, Musim Panas, Musim Gugur, dan Musim Dingin. Salah satu tradisi pada Musim Semi (Haru) adalah Hanami. Hanami adalah tradisi menikmati keindahan bunga sakura yang mekar pada musim semi. Tradisi ini telah ada sejak periode Nara (710-794), tetapi menjadi populer di kalangan masyarakat umum hingga saat ini. Hanami melibatkan piknik di bawah pohon sakura, di mana keluarga dan teman-teman berkumpul untuk makan, minum, dan menikmati keindahan bunga. Dalam beberapa dekade terakhir, Hanami telah berkembang dengan adanya festival-festival besar, penerangan malam hari (yozakura), dan partisipasi wisatawan internasional yang semakin meningkat. Perayaan lainnya yang dilaksanakan pada musim semi adalah Hina Matsuri, yang dirayakan pada tanggal 3 Maret. Hina Matsuri atau Festival Boneka adalah perayaan untuk anak perempuan. Keluarga menampilkan set boneka yang disebut hina-ningyo yang mewakili istana kekaisaran. Tradisi ini tetap bertahan kuat, meskipun bentuk dan jumlah boneka yang digunakan telah bervariasi. Selain itu, banyak keluarga modern yang memilih untuk menampilkan boneka secara simbolis tanpa mengikuti aturan tradisional yang ketat.
Musim berikutnya adalah musim panas (Natsu). Tradisi ataupun festival yang dilaksanakan pada musim panas yaitu Tanabata atau festival bintang, yang dirayakan pada tanggal 7 Juli. Legenda Tanabata berasal dari cerita rakyat Tiongkok tentang dua bintang, Altair dan Vega, yang dipisahkan oleh galaksi dan hanya bisa bertemu sekali setahun. Tradisi Tanabata kini melibatkan penulisan harapan pada kertas warna-warni yang disebut tanzaku, yang kemudian digantung pada ranting bambu. Festival ini telah berevolusi dengan parade besar dan dekorasi meriah di kota-kota seperti Sendai dan Hiratsuka. Tradisi lainnya adalah Obon. Obon adalah festival untuk menghormati arwah leluhur yang biasanya dirayakan pada pertengahan Agustus. Keluarga berkumpul untuk membersihkan makam leluhur dan menyalakan lentera untuk memandu roh kembali ke dunia setelah mengunjungi keluarga mereka. Sementara esensi dari Obon tetap sama, banyak komunitas modern yang menyelenggarakan festival tari (bon odori), pesta kembang api, dan berbagai acara komunitas yang lebih besar.
Musim berikutnya adalah Musim gugur (Aki). Tsukimi atau Festival Melihat Bulan merupakan salah satu tradisi yang dilaksanakan pada musim gugur. Tsukimi dirayakan untuk menikmati keindahan bulan purnama pada musim gugur. Tradisi ini dimulai pada periode Heian (794-1185) dan melibatkan pesta kecil di mana orang menikmati makanan seperti kue beras (dango) sambil melihat bulan. Tsukimi saat ini sering dirayakan dengan acara-acara komunitas, dekorasi khas, dan kegiatan seni yang menggabungkan tradisi lama dengan sentuhan modern. Tradisi selanjutnya yaitu Momijigari. Momijigari adalah tradisi menikmati keindahan daun-daun yang berubah warna pada musim gugur. Orang-orang pergi ke pegunungan dan taman untuk melihat pohon maple yang daun-daunnya berubah menjadi merah, oranye, dan kuning. Seperti Hanami, Momijigari telah menjadi atraksi wisata besar dengan festival daun musim gugur, penerangan malam hari, dan rute-rute khusus untuk melihat pemandangan terbaik.
Musim berikutnya adalah Musim Dingin (Fuyu). Tahun Baru adalah salah satu perayaan terpenting di Jepang saat musim dingin. Tradisi ini mencakup pembersihan rumah (osoji), makan makanan khas tahun baru (osechi-ryori), dan mengunjungi kuil (hatsumode). Meskipun banyak tradisi lama tetap dijalankan, perayaan Tahun Baru kini juga melibatkan acara televisi khusus, kembang api, dan berbagai hiburan modern. Selanjutnya ada Setsubun, yang merupakan festival untuk mengusir roh jahat menjelang musim semi. Pada tanggal 3 Februari, orang-orang melempar kacang kedelai sambil meneriakkan Oni wa soto, fuku wa uchi (Setan keluar, keberuntungan masuk). Selain tradisi melempar kacang kedelai, banyak kuil dan komunitas yang mengadakan acara besar dengan kostum, pertunjukan, dan ritual tambahan untuk menarik partisipasi publik. Tradisi terkait musim di Jepang tidak hanya mempertahankan warisan budaya yang kaya tetapi juga berkembang seiring waktu dengan pengaruh modernisasi dan globalisasi. Meskipun ada perubahan dalam cara perayaan, esensi dari menghargai alam dan kebersamaan tetap menjadi inti dari tradisi-tradisi ini. Tradisi musiman Jepang, dengan keindahan dan kearifannya, terus menarik perhatian dan menginspirasi baik warga lokal maupun wisatawan dari seluruh dunia. Generasi muda di Jepang terus menghormati dan merayakan tradisi musiman, tetapi dengan sentuhan modern yang mencerminkan gaya hidup mereka. Pengaruh teknologi, media sosial, dan kreativitas individu telah memperkaya cara mereka berpartisipasi dalam tradisi ini, memastikan bahwa warisan budaya tetap relevan dan menarik bagi generasi mendatang.