Perempuan dibatasi dalam konteks domestik, sehingga ruang lingkup kegiatan utama mereka berkisar dalam urusan rumah tangga. Laki-laki lebih berperan di wilayah politik atau ranah publik dalam kehidupan sosial. Hal ini menunjukkan pemisahan peran perempuan dan laki-laki secara sosial. Peran perempuan sebagai istri dan pengurus rumah tangga yang terbatas dalam ranah domestik kemudian tidak memberikan kesempatan pada perempuan untuk mengembangkan diri dalam lingkungan social. Keterbatasan perempuan untuk menjalankan peran yang lebih besar di ranah publik tidak hanya dilihat berdasarkan kurangnya kesempatan perempuan untuk mengembangkan diri, namun juga dilihat dari pandangan masyarakat yang menilai perempuan seharusnya hanya menjalankan tugasnya di ranah domestik.
Perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang mengakar di masyarakat menutup kenyataan bahwa perempuan juga mampu menjalankan peran di luar ranah domestik. Perempuan memiliki potensi yang sama dengan laki-laki dalam menyandang peran di ranah publik. Perempuan juga memiliki hak mengeluarkan pendapat dan menyandang peran di ranah publik, setara dengan laki-laki. Ketika sejumlah keputusan yang dibuat oleh perempuan dipertimbangkan, peran publik dan otonomi perempuan muncul. Status perempuan tidak setara secara literal dengan laki-laki, namun perempuan memiliki hak, kewajiban, dan tanggung jawabnya sendiri, yang sama sekali tidak lebih rendah daripada laki-laki.
Penolakan terhadap budaya patriarki membentuk subjektivitas perempuan terhadap kehidupan sosial. Perempuan memiliki kesempatan mengembangkan potensi diri ketika menolak pandangan terhadap dirinya sebagai bentukan lingkungan sosial dan budaya patriarki. Subjektivitas mmerupakan pikiran serta emosi yang membangun pemaknaan identifikasi seorang individu tentang dirinya sendiri, tidak hanya pemikiran personal, tetapi dapat pula dipengaruhi oleh konstruksi sosial. Pertanyaan mengenai konsep diri tersebut dapat membuka pemikiran tentang bagaimana sebaiknya menempatkan diri sendiri. Perempuan yang menempatkan dirinya sebagai subjek mampu memposisikan dirinya sendiri dalam kehidupan sosial. Penyebab munculnya subjektivitas satu individu perempuan dapat berasal dari diri sendiri maupun dari lingkungan sosial. Keinginan perempuan untuk memiliki perannya tertentu dalam masyarakat dapat terwujud dengan mengenali potensi diri.
Subjektivitas perempuan merupakan konsep yang mengacu pada bagaimana perempuan memandang diri mereka sendiri dan dunia di sekitar mereka, termasuk bagaimana mereka membentuk identitas, pengalaman, dan persepsi mereka dalam konteks sosial dan budaya. Subjektivitas perempuan bukanlah entitas yang statis, dan dapat berubah seiring waktu dan pengalaman. Pengalaman pribadi, seperti pendidikan, pekerjaan, hubungan, dan aktivisme, dapat mengubah cara perempuan memahami diri mereka sendiri dan dunia. Misalnya, perempuan yang terlibat dalam gerakan feminis atau aktivisme sosial mungkin mengembangkan kesadaran kritis tentang penindasan gender dan mulai mempertanyakan peran yang diberikan kepada mereka oleh masyarakat. Meskipun perempuan sering kali menghadapi tantangan dalam membentuk dan mengekspresikan subjektivitas mereka, ada juga peluang untuk transformasi dan pembebasan. Pendidikan, akses ke informasi, dan keterlibatan dalam komunitas yang mendukung dapat memberi perempuan alat untuk mengembangkan pemahaman yang lebih luas dan mendalam tentang diri mereka sendiri dan posisi mereka di dunia. Selain itu, gerakan sosial dan budaya yang mempromosikan kesetaraan gender dapat membantu menciptakan ruang di mana perempuan dapat mengungkapkan dan mengeksplorasi subjektivitas mereka tanpa takut dihakimi atau disensor.
Usaha perempuan dalam menciptakan perannya dalam kehidupan sosial seringkali diangkat dalam karya-karya fiksi, khususnya pada novel Jepang. Salah satu novel Jepang yang mengangkat perjuangan perempuan untuk meraih peran yang berbeda dalam masyarakat adalah novel Hanauzumi karya Watanabe Junichi. Novel ini merupakan novel biografi dokter perempuan pertama di Jepang yang bernama Ogino Ginko. Dalam novel ini, Ginko dihadirkan sebagai perempuan Jepang yang memiliki keberanian untuk mendobrak tradisi dan mengambil keputusan menjalani kehidupan mandiri. Perempuan Jepang pun memiliki potensi sebagai modal dalam meraih peran di ranah publik. Sikap kritis dalam memandang berbagai hal memperlihatkan pemikiran modern perempuan Jepang, nam un berbagai penilaian positif tersebut tidak sejalan dengan subjektivitas perempuan yang tergambar dalam kehidupan Ginko.
Subjektivitas tokoh Ginko dikaitkan dengan perannya di ranah publik dan ranah domestik. Ginko merupakan perempuan yang mampu berperan di ranah publik, namun gagal mempertahankan perannya tersebut setelah memutuskan untuk kembali menjadi perempuan pengurus rumah tangga. Ginko sebagai perempuan yang tidak sepenuhnya lepas dari ranah domestik dan budaya patriarkat yang menguasai masyarakat zaman Meiji. Ginko berada diantara dua bentuk kehidupan perempuan tersebut. Pemikiran modern tidak menguasai Ginko sepenuhnya, namun masih terdapat pengaruh tradisi masyarakat dalam dirinya. Ginko tidak benar-benar hadir sebagai perempuan yang mendobrak tradisi dan keluar dari ranah domestik. Kembalinya Ginko kepada ranah domestik memperlihatkan gambaran perempuan yang tidak dapat lepas dari sistem patriarki yang membatasi tempat perempuan di ranah domestik. Hal ini juga memperlihatkan ambivalensi Ginko terhadap ranah domestik. Ginko sebagai perempuan yang mampu keluar dari tradisi, kembali masuk ke ranah domestik karena pengaruh laki-laki.