Momentum kebangkitan nasional kita peringati rutin di setiap tanggal 20 Mei sebagai penanda bagaimana anak bangsa pertama kali mulai bangkit dari keterpurukan atas permasalahan seputar penjajahan dan intimidasi bangsa. Kebangkitan nasional diprakarsai oleh pemuda-pemuda yang bersatu dalam sebuah organisasi Budi Oetomo. Organisasi ini dirintis oleh pemuda terpelajar yang telah mengenyam pendidikan di luar negeri dan ingin mengabdi kepada bangsanya. Sayangnya, momentum ini tidak disambut semeriah hari kemerdekaan Indonesia. Apalagi banyak anak muda yang mulai melupakan momentum paling bersejarah dalam proses kemerdekaan Indonesia ini. Jika tidak ada sekelompok anak muda yang mulai peduli dengan kemaslahatan bangsa, mungkin kemerdekaan Indonesia tidak akan pernah ada. Kebangkitan Nasional banyak disoroti sebagai sebuah kebaikan Belanda yang telah memberikan politik etis berupa pendidikan kepada Indonesia. Banyak yang tidak menyoal mengenai betapa tingginya semangat gelora anak muda untuk mampu lepas dari negara penjajah dengan mencicil satu demi satu bentuk kemandirian negara.
Setelah terbentuknya Budi Oetomo, perlahan tapi pasti mulai banyak partai-partai politik yang mengusung nasionalisme muncul serta menyebar di seluruh Indonesia seperti Indische partij, Sarekat Islam, Muhammdyah, hingga Bumi Poetra. Kemudian Soekarno pada tahun 1927 mulai mendirikan Partai Nasional Indonesia. Setelah banyaknya pemuda yang memiliki kesadaran tinggi dalam bidang pendidikan dan politik, pada 28 Oktober 1928 diadakan kongres pemuda sebagai bentuk pengakuan terhadap tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia. Momentum kebangkitan nasional menjadi penanda beruntunnya kebangkitan-kebangkitan lain muncul menjadi bahan bakar dalam menumbuhkan jiwa nasionalisme pemuda. Semangat kepemudaan masih terlapisi secara organik sehingga belum muncul tunggangan ekonomi politik.
Peristiwa kebangkitan nasional mengisyaratkan bersatunya anak bangsa dalam satu kata, yaitu tanah air. Tanah air merepresentasikan etnisitas, suku bangsa, ras, dan agama yang beragam di seluruh negeri Indonesia. Tentu kebangkitan nasional menjadi simbol dari keadaan multikulturalisme, mengakui adanya perbedaan, dan saling merawat toleransi. Tetapi, era digital telah banyak merenggut makna dari kebangkitan nasional dengan banyaknya akun-akun pemecah belah pemuda. Media sosial menjadi salah satu inovasi tetapi juga memiliki dampak negatif yang terkadang sulit dihindari oleh penggunanya.
Pertama, penyebaran hate speech. Masyarakat kerap membuat satu akun media sosial hanya untuk menyebar kebencian kepada banyak orang, diantaranya yang paling sering menjadi sasaran adalah pegiat media sosial atau influencer. Satu kekeliruan atau kesalahan baik disengaja maupun tidak, langsung dihakimi dengan ujaran yang bahkan tidak akan mampu disampaikan pelaku secara lisan. Ujaran kebencian kepada orang yang dikenal juga banyak yang dilindungi dengan akun palsu (fake account) untuk melindungi identitas pelaku. Ujaran kebencian menurut KBBI adalah Ujaran kebencian adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnik, gender, cacat, orientasi seksual, warga negara, agama, dan lain-lain. Ujaran kebencian tidak hanya berdampak negatif bagi korban, seperti adanya rasa tidak percaya diri, malu, rendah diri, bahkan depresi hingga melakukan bunuh diri. Korban juga sering mengisolasi diri dari kehidupan sosial karena takut dihujat oleh banyak orang. Dampak sosial seperti inilah yang tidak disadari oleh pelaku hanya dengan ketikannya di media sosial. Tidak hanya korban, justru pelaku juga sebenarnya adalah pihak yang mengalami ketidakpercayaan diri dalam hidupnya, berpikiran buruk, hingga mengisolasi diri karena tidak percaya dengan manusia. Refleksi kebangkitan nasional di era digital seperti saat sekarang harusnya menjadi bahan introspeksi untuk kembali menciptakan persatuan dan kesatuan yang organik melalui wadah baru yakninya media sosial.