Bongak

Sastra Anak sebagai Media Peningkatan Literasi Bahasa Asing dan Pendidikan Karakter

Menurut Keraf (2004) bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh anggota masyarakat, baik itu berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Dalam proses komunikasi dibutuhkan komunikator atau penyampai pesan dan komunikan atau penerima pesan. Proses ini dapat dilakukan melalui perantara bahasa. Kemampuan dalam menggunakan bahasa yang baik dan mudah dimengerti akan memberikan dampak pada kelancaran proses berkomunikasi dan penyampaian pesan.

Dalam konteks wilayah Indonesia, dikenal fungsi dan kedudukan bahasa. Melalui Seminar Politik Bahasa Nasional pada 28 Februari 1975, dijelaskan Bahasa Indonesia memiliki fungsi sebagai, bahasa resmi kenegaraan; bahasa pengantar dalam dunia pendidikan; alat perhubungan untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintahan; dan alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.

Selanjutnya, berdasarkan salah satu butir Sumpah Pemuda yang diresmikan pada 28 Oktober 1928, ditetapkan kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Selain sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia juga memiliki kedudukan lain yaitu sebagai bahasa negara. Hal ini diatur ketentuan yang tertera dalam UUD 1945, Bab XV, Pasal 36.

Indonesia merupakan negara dengan ragam bahasa terbanyak. Selain penutur bahasa Indonedia, terdapat pula penutur bahasa daerah dan bahasa asing. Keduanya memiliki fungsi tersendiri. Dalam kedudukannya dengan bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai pendukung bahasa nasional, bahasa pengantar pembelajaran bahasa Indonesia di daerah, serta sebagai alat pengembangan kebudayaan daerah. Adapun bahasa asing memiliki fungsi sebagai alat perhubungan antarbangsa, alat pembantu pengembangan bahasa Indonesia, serta alat pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern untuk pembangunan nasional.

Percepatan penyebabaran informasi pada era globalisasi menyebabkan masyarakat sangat mudah terpapar dengan istilah-istilah asing. Perkembangan zaman serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, kebutuhan penggunaan dan penguasaan bahasa asing semakin meningkat. Hal ini tidak berarti melupakan peranan bahasa Indonesia dan menyepelekan kedudukan bahasa daerah. Mempelajari bahasa asing memiliki kelebihan tersendiri, di antaranya meningkatkan pemahaman, toleransi, dan kesadaran akan keberagaman budaya dan isu-isu global.

Banyak cara telah diupayakan untuk meningkatkan peningkatan penguasaan bahasa asing. Berdasarkan Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024, ditetapkan bahwa pembelajaran Bahasa Inggris menjadi mata pelajaran wajib pada pendidikan tingkat dasar. Dilansir dari CNN Indonesia, kebijakan ini penekanannya bukan pada pengetahuan tentang tata bahasa, tetapi pada penggunaan bahasa Inggris untuk keperliuan praktis seperti komunikasi dan mencerna informasi.

Upaya lain yang dapat dilakukan untuk peningkatan kompetensi bahasa adalah melalui media sastra anak. Sastra anak menawarkan sejumlah manfaat, di antaranya peningkatan kosa kata dan pendidikan karakter. Manfaat tersebut dapat diperoleh melalui kegiatan apresiasi sastra. Apresiasi sastra adalah segala aktivitas yang berhubungan dengan karya sastra, seperti membaca, menulis, hingga menganalisis karya sastra. Dengan membaca, anak dapat memahami simbol-simbol kebahasaan dalam bahasa tulis. Melalui menulis, anak akan memiliki kompetensi menulis kreasi imajinasi, fantasi, dan mengekesplorasinya (Mursini, 2011). Oleh sebab itu sastra dapat menjadi media untuk meningkatkan kompetensi bahasa.

Selain bahasa Inggris, bahasa Jerman merupakan bahasa asing lain diajarkan di sekolah-sekolah Indonesia. Melalui penelitian yang dilakukan oleh Mintarsih (2020), diperlihatkan bahwa peningkatan kompetensi bahasa Jerman pada tingkat sekolah menengah dilakukan dengan membaca dongeng. Bahan yang digunakan berasal dari dongeng-dongeng khas Jerman yang ditulis Grimm bersaudara seperti Aschenputtel, Schneewitchen, Frau Holle, Rapunzel, dan sebagainya. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa unsur-unsur intrinsik yang terdapat pada dongeng-dongeng tersebut tidak terlalu mencerminkan kekhasan budaya Jerman, serta tidak cukup menarik untuk menarik perhatian siswa untuk belajar bahasa asing.

Menurut Agustiani (2015) penggunaan media sastra anak akan sangat menguntungkan bagi pembelajaran bahasa asing sehingga dapat memotivasi siswa untuk membaca. Oleh sebab itu, dibutuhkan bahan ajar berupa karya sastra yang mengandung isu-isu yang lebih relevan, misalnya melalui novel anak berbahasa Jerman berjudul Apfelkuchen und Baklava karya Kathrin Rohmann. Untuk membaca dan memahami cerita, tidak hanya dibutuhkan kemampuan bahasa Jerman di tingkat dasar, tetapi juga pemahaman akan budayanya. Sehingga, penggambaran budaya pada karya sastra berbahasa asing dapat memberikan pengetahuan pada siswa serta meningkatkan kepedulian terhadap budaya tersebut.

Novel Apfelkuchen und Baklava dituturkan melalui sudut pandang dua tokoh utama, Max dan Leila; serta diceritakan menggunakan sudut pandang orang ketiga. Novel ini menceritakan tentang persahabatan antara Max, anak laki-laki Jerman berusia sebelas tahun, dengan Leila gadis asal Suriah yang pindah ke sekolah Max. Jerman menjadi latar utama dalam novel ini, tepatnya di daerah Großbodecke, provinsi Hanover. Di dalamnya juga memuat penggambaran tentang negara lain, yaitu Suriah dan Polandia, negara asal nenek tokoh Max. Aspek pembelajaran bahasa asing dan pendidikan karakter dapat diperoleh melalui penggambaran unsur fisik dan batin dalam karya sastra seperti latar tempat, latar sosial, tema, dan diksi.

Dalam hal diksi, novel ini cenderung menggunakan kosa kata bahasa Jerman yang cukup dapat dimengerti untuk pembaca pemula. Penggunaan kosa kata yang terdapat dalam judul Apfelkuchen und Baklava dapat menarik perhatian pembaca untuk menambah kosa kata dan mempelajari bahasa asing. Kata apfelkuchen terdiri dari dua suku kata, apfel artinya apel, kuchen, artinya kue atau pai. Apfelkuchen merepresentasikan kebudayaan Jerman; adapun baklava merupakan sejenis kudapan asal Timur Tengah, yang merepresentasikan budaya asal tokoh Leila.

Selanjutnya, untuk memahami cerita novel ini juga dibutuhkan pemahaman akan konteks sosialnya. Dalam teori mimesis sastra, karya sastra dianggap sebagai tiruan akan alam. Artinya, aspek-aspek alam atau kenyataan dijadikan inspirasi dalam penulisan karya sastra. Tokoh-tokoh seperti Leila dan nenek Max digambarkan sebagai sosok yang meninggalkan negara asal mereka dan bermigrasi ke Jerman. Dengan begitu, pembaca akan memahami bahwa ada penyebab seseorang melakukan migrasi, salah satunya karena perang.

Dalam hal kesuasteraan Jerman, telah banyak muncul karya-karya yang ditulis oleh pengarang berlatar imigran, dan memilih Jerman sebagai negara suakanya. Karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang imigran disebut sebagai sastra migran. Sastra migran menceritakan berbagai aspek kehidupan yang dihadapi oleh tokoh imigran di tempat tinggal barunya, mulai dari kerinduan akan kampung halaman, kesulitan yang dihadapi di negara baru, stereotipe, rasisme, hingga penerimaan tokoh terhadap budaya baru. Novel afelkuchen und baklava bagaimana para tokoh menjalankan kehidupan sebagai imigran, dan bagaimana cara tokoh menyelesaikan permasalahannya.

Dengan demikian, novel Apfelkuchen und Baklava menyasar dua manfaat dalam aspek kebermanfaatan dalam sastra anak, yaitu aspek peningkatan literasi bahasa asing dan pendidikan karakter. Apek peningkatan literasi bahasa asing dapat diperoleh melalui penggunaan berbagai istilah-isitlah asing yang dipergunakan, misalnya dengan cara membaca dan menandai kosa kata baru yang belum pernah diketahui sebelumnya. Adapun aspek pendidikan karakter dapat diperoleh dengan cara memberikan interpetasi akan ceritnya. Kesemuanya merupakan bentuk apresiasi dari karya sastra.

Andina Meutia Hawa

Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *