Provinsi Sumatra Barat kerap menjadi salah satu daerah yang langganan dijadikan destinasi wisata. Dilansir dari Republika, Kepala Dinas Pariwisata Sumatra Barat, Luhur Budianda, mengungkapkan terjadi peningkatan jumlah wisatawan sebanyak 137 persen pada tahun 2023. Keindahan panorama, kelezatan kuliner, serta keunikan budaya menjadi daya tarik. Minangkabau adalah sebutan lain untuk Provinsi Sumatra Barat. Hal ini disebabkan oleh dominasi etnis Minangkabau yang yang tersebar di seluruh daerah provinsi Sumatra Barat, sebagian daratan Riau, utara Bengkulu, pantai Barat Sumatra Utara, pantai barat daya Aceh, hingga Negeri Sembilan di Malaysia.
Asal usul wilayah dan penyebutan Minangkabau memiliki sejarah yang panjang. Mulanya, Minangkabau merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Sungayang, Kabupaten Tanah Datar. Daerah ini dipimpin oleh seorang raja bernama Adityawarman dari Kerajaan Pagaruyung. Pada masa itu, daerah Sumatra Barat sudah melakukan kontak dengan dunia luar, terutama Aceh. Agama islam mulai berkembang, menggantikan agama sebelumnya yang didominasi oleh budha.
Suatu hari berhembus isu bahwa kerajaan Pagaruyung akan diserang oleh Kerajaan Majapahit dari Jawa. Untuk mempertahankan wilayah Pagaruyung, diputuskan akan diadakan adu kerbau di antara keduanya. Kerajaan Majapahit membawa seekor kerbau yang besar, sedangkan kerajaan Pagaruyung ‘mengutus’ seekor kerbau kecil yang sedang lapar dan di tanduknya dipasangi tanduk besi. Pada saat pertandingan, kerbau kecil mengira kerbau besar adalah induknya. Kerbau kecil lantas menyeruduk kerbau besar. Kerajaan Pagaruyung menang. Kemenangan tersebut menghasilkan asal usul kata Minangkbau, yaitu minang atau manang, artinya menang, dan kabau artinya kerbau.
Tidak hanya kata Minangkabau, penamaan berbagai daerah di Sumatra Barat pun memiliki sejarah yang unik dan bernilai filosofis. Berikut beberapa di antaranya,
Galudua
Galudua adalah salah satu jorong yang terdapat di Nagari Koto Tuo, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam. Di provinsi Sumatera Barat dikenal istilah jorong atau korong. Dalam pembagian wilayah administratif di Indonesia, jorong berada setingkat di bawah nagari. Daerah Galudua menjadi salah satu jorong yang terkena dampak hebat banjir bandang Sumatera Barat pada 11 Mei 2024 lalu. Ternyata, asal muasal penamaan jorong ini cukup unik. Konon, nama Galudua diambil dari kata galodo, sebutan masyarakat setempat untuk bencana banjir bandang yang pernah yang terjadi di masa lampau.
Sungai Tuhua
Sungai Tuhua adalah sebuah sungai kecil yang airnya berasal dari Gunung Singgalang dan membentang hingga ke jorong Galudua. Kata tuhua dalam bahasa Minangkabau artinya kering atau kariang. Kedalaman air pada sungai ini bergantung pada cuaca. Pada musim kemarau, sungai cenderung kering. Namun, cuaca yang sedang tidak menentu selama beberapa bulan ke belakang, ditambah curah hujan yang cukup tinggi menyebabkan Sungai Tuhua tidak mampu lagi menampung air hujan. Agaknya penamaan nama Sungai Tuhua ini terjadi ketika sungai sedang mengalami kekeringan.
Koto Tuo
Selain jorong, dikenal juga istilah nagari dalam pembagian wilayah administratif di Sumatera Barat. Nagari berada setingkat dengan kelurahan. Bedanya, wali atau pemimpin nagari dipilih oleh masyarakat, sedangkan ketua kelurahan diangkat oleh bupati atau walikota. Koto Tuo adalah sebuah nagari yang terletak di Kabupaten Agam. Kata koto memiliki dua arti. Koto yang pertama merujuk pada Suku Koto, salah satu suku dalam etnis Minangkabau. Dalam buku berjudul Alam Takambang Jadi Guru, A.A. Navis mengungkapkan sejarah penamaan Suku Koto. Koto berasal dari kata dalam Bahasa Sanskerta, kotta, artinya benteng atau tempat perlindungan. Suku Koto berlindung dalam benteng bambu yang kemudian berkembang menjadi sebuah koto, yang dalam Bahasa Batak disebut huta atau kampung (Saputra, 2023). Kata tuo juga tua dalam bermakna tua dan menjadi sebutan untuk memanggil kakek atau nenek. Selain tuo, masyarakat Minangkabau juga memanggil uwo, angku, inyiak untuk kakek, dan uwak, anduang, amai untuk nenek. Jika melafalkan Koto Tuo, akan membentuk makna tersendiri, yaitu frasa “ko tuo ha” (ini neneknya!). Konon, pada zaman dahulu anak-anak bermain di luar rumah hingga jauh dan tersesat. Anak-anak kemudian berjalan mengelilingi kampung sampai bertemu nenek mereka kembali dan berseru “ko tuo ha!”
Balingka
Balingka merupakan salah satu nagari yang terletak di Kecamatan Koto Tuo. Sebelah Utaranya berbatas Bukittinggi, sebelah Selatan berbatas Kecamatan Malalak, sebelah Timur berbatas Kecamatan Banuhampu, dan sebelah Barat berbatas Kecamatan Matur. Nagari Balingka terdiri dari tiga jorong, yaitu Koto Hilalang, Pahambatan, dan Subarang. Dilansir dari nagaribalingka.wordpress.com, pada tahun 1916 terjadi pertemuan di antara tiga penghulu jorong untuk menyatukan ketiganya dan membentuk sebuah nagari. Melalui hasil musyawarah diputuskan untuk memakai nama baru, yaitu Balingka. Ada juga yang menyatakan bahwa kata balingka dalam bahasa Indonesia berarti berlingkar. Hal ini merujuk pada posisi nagari Balingka yang diapit oleh ketiga jorong-nya, yaitu Koto Hilalang, Subarang, dan Pahambatan.
Bukittinggi
Siapa yang tidak mengenal Bukittinggi? Kota ini menduduki kota perekonomian terbesar kedua di Sumatera Barat setelah Padang. Bukittinggi juga pernah menjadi ibu kota Republik Indonesia pada masa pemerintahan darurat NKRI pada tahun 1948. Banyak hal yang menjadi ikon kota Bukittinggi. Maka tidak heran jika kota ini didapuk menjadi kota wisata dengan berbagai destinasi wisata. Katanya belum afdol ke Bukittinggi apabila belum pernah menungjungi Jam Gadang.
Bukittinggi merupakan tempat kelahiran Moh Hatta, Wakil Presiden pertama Indonesia sekaligus salah satu tokoh Proklamator Kemerdekaan. Rumah kelahiran Bung Hatta menjadi objek wisata menarik lain di Bukittinggi.
Selain itu, di Bukittinggi terdapat Istana Bung Hatta yang dulunya bernama Gedung Tri Arga. Asal-usul penamaan kota Bukittinggi juga tidak kalah menarik. Dilansir dari Kompas, sebelum bernama Bukittinggi, daerah ini berupa nagari bernama Kurai, sekaligus merupakan suku asli orang Bukittinggi. Di Nagari Kurai terdapat sebuah pasar yang dikelola oleh masyarakat Kurai. Orang Minangkabau menyebut pasar sebagai pakan, sedangkan dalam Bahasa Indonesia, pakan artinya pekan. Oleh sebab itu, hal ini, pakan berarti sebuah pasar yang terjadi setiap hari sabtu Sabtu. Pakan yang berada di nagari Kurai terletak di sebuah perbukitan yang tinggi. Hal inilah yang menjadi cikal bakal sebutan kota Bukittinggi. Bagi masyarakat yang tinggal di luar Bukittinggi, kalimat ‘pai ka pasa’ atau pergi ke pasar sampai sekarang masih sering dicupakan, dan diartikan sebagai ‘pergi ke Bukittinggi’, walaupun belum tentu orang tersebut mengunjungi pasar. Hal ini juga merujuk pada keberadaan Gedung Tri Arga yang terletak di pusat kota Bukittinggi. Oleh karena Gedung Tri Arga dan Jam Gadang letaknya saling berhadapan, orang-orang luar Bukittinggi juga kerap menyebut ‘pai ka gaduang’ atau ‘pai ka gadang’. Pusat kota menjadi lambang peradaban sekaligus kebudayaan masyarakat. Istilah hari pakan pun masih digunakan hingga sekarang oleh masyarakat Minangkabau, yaitu sebutan hari untuk pasar yang hanya ada seminggu sekali. Lain jorong, lain pula hari pakan-nya. Di Jorong Guguak Randah, Nagari Guguak Tabek Sarojo, Kabupaten Agam, hari pakan terjadi tiap Selasa. Adapun di jorong Koto Baru, Nagari IV Koto, hari pakan berlangsung pada hari Minggu.
Koto Gadang
Sumatra Barat menjadi tempat kelahiran banyak cendekiawan, salah satunya nagari Koto Gadang, yang merupakan kampung halaman dari tokoh-tokoh terkemuka di Indonesia seperti Emil Salim, Haji Agus Salim, Sutan Syahrir, Rohana Kudus, dan masih banyak lainnya. Minangkabau dikenal sebagai suku perantau, umumnya bermata pencaharian sebagai pedagang. Namun orang Koto Gadang lebih dikenal merantau dengan tujuan unntuk mencari ilmu pengetahuan (Azizah, et. al., 2007). Masyarakat Koto Gadang jug mahir dalam membuat berbagai kerajinan tangan seperti perak dan sulam. Koto Gadang juga terkenal dengan makanan khasnya yang kerap disebut sebagai itiak lado ijau atau itiak Koto Gadang. Secara harfiah, Koto Gadang artinya kampuang nan gadang atau kampung yang besar. Walaupun demikian, Koto Gadang luasnya tidak terlalu besar, hanya sekitar 896 hektar dengan jumah penduduk kurang lebih sebanyak 2589 jiwa. Namun, keindahan alam, kekayaan tradisi, budaya, serta keanekaragaman penduduknya menjadikan Koto Gadang menjadi salah satu nagari Minangkabau yang sebuah kampung kecil yang besar nilai filosofisnya.
Begitulah kira-kira asal usul penamaan beberapa daerah di Sumatra Barat!