Wayang merupakan seni pertunjukan, tidak hanya berfungsi sebagai media hiburan, tetapi di dalamnya juga memuat pesan-pesan dan informasi. Setiap tokoh dalam kisah pewayangan memiliki ciri khasnya tersendiri yang disimbolkan melalui visualisasi seperti bentuk mata, hidung, mulut, warna muka, posisi sikap wajah, hingga warna batik. Keseluruhan unsur tersebut menggambarkan perwatakan. Setiap tokoh dalam kisah Pandawa Lima tampil dengan ciri fisik yang berbeda, dan memiliki watak yang berbeda-beda pula. Tokoh Pandawa Lima digambarkan memiliki watak-watak protagonis seperti berani, tegas, dan bijaksanana. Oleh sebab itu, wayang juga dapat menjadi media pendidikan karakter yang mengajarkan nilai-nilai luhur.
Dewasa ini, banyak generasi muda yang mulai meninggalkan seni tradisional karena kemunculan era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi. Era globalisasi menawarkan berbagai kemudahan dalam mengakses informasi, namun di sisi lain hal ini dapat mengikis nilai-nilai nasionalisme karena banyaknya pengaruh asing yang nilai-nilainya kerap bertentangan dengan karakter bangsa Indonesia. Tidak jarang ditemukan generasi muda yang lebih senang mendengarkan musik dan menonton film Barat ketimbang menonton wayang karena dianggap kuno. Maka, edukasi terkait seni yang bersifat keindonesiaan merupakan sesuatu yang harus digalakkan dan terus diupayakan. Keberadaan seni dan sastra menggambarkan kehidupan masyarakat, serta menyesuaikan dengan zaman dan fenomena sosial yang terjadi pada masyarakat di masa tertentu. Oleh sebab itu, kesenian merupakan bagian dari identitas budaya yang patut dilestarikan.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk melestarikan kesenian wayang adalah melalui digitalisasi. Menurut Afni, dkk. (2021) saat ini bermunculan berbagai kanal Youtube yang menampilkan lakon wayang kulit seperi Bekasa Studio, Nguri Budayahikari, Dalang Bagong dan sebagainya. Selain lewat Youtube, kisah pewayangan juga diadaptasi ke dalam bentuk karya sastra, salah satunya novel anak berjudul Dru dan Kisah Lima Kerajaan karya Clara Ng. Novel ini mengisahkan tokoh Dru yang berasal dari desa Patala. Ia digambarkan sebagai gadis yang nakal dan keras kepala. Suatu ketika Dru menerima hukuman ibunya, yaitu ia tidak boleh keluar rumah karena telah menghajar seorang anak laki-laki. Ketika sedang duduk di kamarnya, selendang yang Dru kenakan tertiup angin dan ia pun terjatuh ke dalam lubang. Kemudian, ia pun terbawa ke Negeri Ajaib dan bertemu dengan Lima Kerajaan.
Kisah Pandawa Lima diadaptasi dari kitab Mahabharata asal India yang ceritanya telah mengalami penyesuaian dengan nilai-nilai keindonesiaan. Kata Padawa berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya ‘anak Pandu’ atau Pandudewanata dalam kisah Mahabharata. Pandu memiliki lima orang putra bernama Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Selain lima orang anak, Pandudewanta juga memiliki kakak bernama Destarastra yang berasal dari kerajaan Astina. Pandudewanta menikahi Dewi Kunti dan tetap menetap di kerjaan Astina bersama kelima putra mereka. Sedangkan Destrarasta menikah dengan Dewi Gandari dan memiliki 100 anak yang disebut sebagai Kurawa, dan memiliki watak berkebalikan dengan Pandawa Lima. Destarastra menjadi pemimpim di kerajaan Astina. Adapun kitab Mahabharata mengisahkan perang antara Pandawa dan Kurawa dalam memperbutkan tahta kerajaan Astina.
Novel Dru dan Lima Kerajaan memiliki banyak simbol yang mengadaptasi kisah-kisah Pandawa Lima. Panduwinata pada Pandawa Lima disimbolkan sebagai Sang Pandu di kisah Dru. Ia digambarkan sebagai ayah dari tokoh Pandawa Lima yang menghukum anak-anaknya sehingga kelimanya tersebut di lima kerjaaan berbeda-beda. Kerjaan Astina dalam Novel Dru disimbolkan sebagai Hutan Topi yang akan menghubungkan Dru ke lima kerjaan yang ditinggali oleh putra-putra Sang Pandu. Nama kelima anak Sang Pandu juga mengalami perubahan, namun sifat dan watak mereka masih memiliki kemiripan dengan tokoh-tokoh yang terdapat dalam Pandawa Lima. Berikut merupakan analisis perbandingan watak tokoh Kisah Pandawa Lima dengan Novel Dru dan Kisah Lima Kerajaan.
Dalam Pandawa Lima, Yudhistira adalah putra sulung dari Pandudewanata dan Dewi Kunti. Sosoknya digambarkan berperawakan sedang, ramping, dan mahir beperang. Yudhistira memiliki watak sederhana, bijaksana, sabar, adil, jujur, menyukai perdamaian, dan tidak pernah marah. Dalam Dru dan Kisah Lima Kerajaan, sosok Yudhistira direpresentasikan oleh Raja Aditsu dari Kerajaan Pencuri. Berkebalikan dengan Yudhistira, tampilan Raja Aditsu seperti gelandangan, namun digambarkan memiliki sayap yang sangat indah. Ia berwajah muram karena terpisah dengan istrinya yang bernama Putri Yis. Walaupun demikian, dari segi watak ia memiliki kemampuan membaca pikiran, sifat penyayang, pintar, tegas, dan jujur.
Anak kedua dari Pandudewanata dan Dewi Kunti adalah Bima. Ia digambarkan sebagai sosok berbadan besar, kekar, berjambang dan berkumis. Bima memiliki postur paling atletis dan paling kuat di antara saudara-saudaranya. Secara watak, ia adalah sosok yang sederhana, tidak suka memamerkan kepintarannya. Selain itu, ia adalah sosok yang penuh percaya diri dengan jiwa kepahlawanan yang tinggi, berani, serta bijaksana, Dalam Novel Dru, sosok Bima menjelma menjadi Wrekodara dari Kerajaan Merah. Dalam Bahasa Sanskerta, kata Bima sendiri amemiliki makna hebat, dahsyat, dan merngerikan. Wrekodara adalah nama lain dari Bima. Seperti artinya, Wrekodara digambarkan sebagai sosok raksasa. Ia memiliki sifat jahil, senang mendatangi mimpi anak-anak sehingga membuat mereka bermimpi buruk, hal yang tidak disukai Sang Pandu. Meskipun begitu, ia juga adalah sosok yang tegas dan adil.
Sosok ketiga adalah Arjuna yang merupakan anak tengah Pandudewanata dan Dwi Kunti. Arjuna memiliki wajah yang tampan, badannya kecil namun sangat kuat dan mahir berperang. Ia adalah sosok yang suka menolong, sopan, suka menolong, memiliki tingkah laku yang baik dan disenangi banyak orang. Adapun dalam novel Dru, sosok ini mewujud melalui Raja Parmadi yang memimpin Desa Pahlawan. Layaknya Arjuna, ia adalah merupakan Raja yang paling tampan, pipinya merah, berambut hitam, pajang bergelombamg, senyumnya manis, dengan gigi putih dan rapi. Ia memiliki watak yang ramah, pemberani, dan tegas.
Selanjutnya ada Nakula dan Sadewa yang merupakan saudara kembar. Keduanya memiliki badan kecil, namun berbadan kuat dan lincah, serta paras yang rupawan. Perbedaan antara Nakula dan Sadewa terletak dari keduanya adalah dahi mereka. Nakula memiliki watak jujur, setia, sopan, setia, bijaksana, pemikir, dan penyimpan rahasia yang baik. Dalam novel Dru, Nakula dan Sadewa disimbolkan sebagai Raja Tanti Pala dari Hutan Logam dan Raja Nala dari Hutan Hening. Akibat perbuatan Wrekodara, keduanya harus menjalani hukuman dan terpisah satu sama lain. Tanti Pala digambarkan memiliki watak yang berbeda dengan Nala. Tanti Pala memiliki raut wajah yang suka cemberut, sedangkan Nala memiliki watak lebih tenang. Selain itu, Nala digambarkan sebagai sosok manusia setengah harimau. Tanti Pala dan Nala memiliki kemampuan telepati yang saling menghubungkan keduanya secara pikiran, walaupun hidup terpisah-pisah.
Dengan demikian, kelima tokoh pada kisah Pandawa Lima dan novel Dru dan Kisah Lima Kerajaan merupakan cerminan dari watak-watak yang baik dan luhur. Seni wayang dan sastra anak masih relevan untuk menjadi media pengajaran dan pendidikan karakter anak, karena di dalamnya terdapat nilai-nilai seperti kejujuran, kebajikan, kebijaksanaan, dan kepahlawanan. Melalui pengajaran dan pendidikan karakter diharapkan siswa dapat mencontoh dan menerapkan nilai-nilai luhur tersebut ke dalam kehidupan sehari-harinya. Oleh sebab itu, di tengah gempuran era globalisasi dan paparan informasi dari berbagai penjuru, kesenian tradisional dan sastra yang memiliki ciri keindonesiaan harus tetap dilestarikan.