Konflik Hamas dan Israel merupakan perseteruan panjang yang terus terjadi sampai hari ini. Perseteruan ini terakhir terjadi pada 2021 yang lalu, di mana pada saat itu seluruh dunia sedang dilanda bencana pandemi Covid-19. Namun dua tahun berselang, tepatnya 7 Oktober 2023 yang lalu, konflik ini kembali memanas. Kembali isu klasik terkait penyiksaan warga Palestina yang dilakukan oleh Israel digaungkan.
Bagi saya, Hamas bukan representatif masyarakat Palestina sepenuhnya. Bahkan melansir dari Republika, Hamas merupakan organisasi yang lahir dari rahim Ikhwanul Muslimin, yaitu sebuah gerakan ideologi radikal yang berasal dari Mesir (baca: Hamas dan Fatah: Beda Jalan, Sama Tujuan). Dalam tulisan ini saya menggunakan nama Hamas bukan Palestina, karena yang berjuang untuk kemerdekaan Palestina tidak hanya Hamas. Bahkan pemerintah Indonesia sejak merdeka 78 tahun silam tetap bersikap yang sama terkait kemerdekaan Palestina.
Tulisan ini merupakan pengamatan saya yang secara jujur sudah muak melihat konflik ini yang terus berulang. Terhitung sejak 2014, saya mulai mengamati dan mengikuti perseteruan antara Hamas dan Israel. Tulisan ini juga tidak ingin mengatakan bahwa saya ahli dalam membaca geopolitik terkait dengan konflik ini. Namun seperti tulisan Gus Ulil di media sosialnya: “terlalu terfiksasi pada satu isu kadang kurang baik dan bisa juga membosankan”.
Saya sepenuhnya sepakat dengan pernyataan Gus Ulil tersebut. Bagi saya, konflik antara Hamas dan Israel merupakan sebuah konflik yang dirawat. Dugaan ini muncul karena konflik ini terus berulang dengan pola yang hampir sama pada setiap edisinya. Melansir dari Kompas.com, Direktur Human Rights Watch (HRW) Omar Shakir mengatakan, Israel dan kelompok pejuang Palestina sama-sama melanggar HAM. Mereka menewaskan dan mencederai warga sipil Palestina dan Israel selama bertahun-tahun. Perseteruan ini tidak akan menjadikan Palestina mencapai kemerdekaannya. Namun warga sipil yang tidak berdosa, baik di Palestina maupun di Israel akan menjadi korbannya.
Konflik yang Terus Berulang
Dalam catatan sejarah, konflik Palestina dan Israel bermula lebih dari satu abad yang lalu, pada 2 November 1917. Menteri Luar Negeri Inggris saat itu, Arthur Balfour, mengirimkan surat singkat kepada tokoh komunitas Yahudi Inggris, Lionel Walter Rothschild. Isi surat tersebut dikenal sebagai “Deklarasi Balfour” yang berjanji untuk mendirikan rumah nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina dengan dukungan Inggris. Meskipun singkat, deklarasi ini memiliki dampak mendalam pada Palestina yang berlanjut hingga hari ini.
Mandat Inggris atas Palestina, yang berlangsung dari 1923 hingga 1948, menyaksikan migrasi massal orang Yahudi ke wilayah tersebut. Migrasi ini memicu konflik dengan penduduk asli Palestina yang khawatir akan perubahan demografi dan penyitaan tanah mereka oleh Inggris untuk pemukim Yahudi. Ketegangan mencapai puncaknya dalam Pemberontakan Arab Palestina (1936-1939), di mana Inggris merespons dengan keras, menangkap dan merusak properti, menciptakan pola penindasan yang berlanjut hingga saat ini di Israel-Palestina.
Pemberontakan kedua pada akhir 1930-an dipimpin oleh gerakan perlawanan petani Palestina dan menyebabkan lebih banyak konflik. Inggris mengirimkan pasukan besar ke Palestina dan berkolaborasi dengan komunitas pemukim Yahudi dalam membentuk kelompok bersenjata yang menjadi cikal bakal tentara Israel. Selama tiga tahun pemberontakan tersebut, ribuan warga Palestina tewas, banyak yang terluka, dan ribuan lainnya dipenjarakan, menciptakan luka yang dalam sejarah konflik di wilayah tersebut.
Tidak hanya sampai di situ, konflik terus berlanjut di masa kemudian. Insiden Nakba, Perang 6 Hari, Intifadah Pertama & Kedua, serta serangan ke jalur Gaza pada 2008, 2012, 2014 dan 2021 yang menyebabkan ribuan warga Palestina terbunuh, termasuk anak-anak, puluhan ribu rumah, sekolah, dan gedung perkantoran hancur. Konflik panjang ini terus terjadi tanpa ada titik temu yang mengakhirinya. Namun uniknya, terutama sejak tahun 2008, konflik ini memiliki pola yang sama ketika akan terjadi sebuah perseteruan di antara kedua kubu.
Saya berkeyakinan perseteruan antara Hamas dan Israel akan terus terjadi pada masa selanjutnya. Apalagi konflik ini melibatkan kekuatan-kekuatan besar dunia seperti: Amerika, Rusia, Iran, Qatar, Arab Saudi dan banyak negara lainnya. Jika memang kepentingan politik dan ekonomi masih menjadi dasar atas terjadinya konflik ini. Marilah kita saksikan bersama, ibarat menonton film yang sudah tayang, kita akan tahu bagaimana awal dan akhir dari cerita film tersebut, pastinya ya membosankan.
Bukan Perang Agama
Sampai hari ini, masih banyak orang yang memandang bahwa konflik antara Hamas dan Israel merupakan perang agama. Padahal konflik ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan agama. Kalau boleh kita melihat data, terdapat 1,9 juta Muslim yang tinggal di Israel dengan aman, sedangkan di Palestina terdapat 4,9 juta Muslim. Kalau ini adalah perang agama, apakah penduduk muslim yang ada di Israel tersebut akan selamat. Padahal mereka tinggal di negara yang mayoritas dihuni oleh pemeluk Yahudi. Meskipun memang agama memegang peran penting dalam kehidupan di kedua wilayah ini, tetapi sebenarnya akar konflik ini jauh lebih kompleks, terutama didorong oleh geopolitik dan ekonomi.
Wilayah yang menjadi pusat konflik ini telah menjadi panggung perseteruan selama beberapa dekade. Agama mungkin menjadi satu faktor yang memengaruhi, namun sebenarnya ini adalah pertarungan yang didorong oleh politik, ekonomi, dan strategi yang lebih luas. Israel adalah negara maju dengan perekonomian kuat dan teknologi canggih, sementara Gaza, yang dikuasai oleh Hamas ialah kebalikannya. Pertarungan ini semakin rumit dengan masalah sumber daya, seperti persediaan air yang semakin berkurang dan persaingan atas lahan pertanian yang terbatas.
Selain isu ekonomi, dimensi politik juga memiliki peran utama. Hamas, yang berkuasa di Gaza, mendapat dukungan dari sebagian besar warga Palestina karena dilihat sebagai pihak yang melawan pendudukan Israel yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Sementara itu, Israel memiliki dukungan dari negara-negara Barat dan aliansi kuat dengan Amerika Serikat.
Perjanjian Oslo tahun 1993, yang pada awalnya diharapkan menjadi tonggak menuju perdamaian, justru memperdalam perpecahan antara Israel dan Palestina. Kesepakatan tersebut seharusnya membawa kepada pembentukan negara Palestina yang merdeka. Namun, setelah lebih dari dua dekade, perundingan tersebut masih belum mencapai solusi yang memuaskan.
Jadi, meskipun retorika konflik sering kali dipenuhi oleh unsur agama, dan pihak-pihak terlibat saling menyalahkan dengan dalih keyakinan, inti konflik ini lebih banyak berakar dalam aspek geopolitik dan ekonomi. Ini adalah perang sumber daya, pertarungan untuk pengaruh regional, dan usaha meraih hak untuk menentukan nasib sendiri. Dengan memahami dinamika ini, kita bisa mendekati inti dari konflik yang telah berlangsung lama ini dengan cara yang lebih bijak. Sebuah konflik yang telah merenggut banyak nyawa dan merusak banyak harapan; meraih perdamaian sejati adalah tanggung jawab kita bersama.