Kondisi energi nasional dalam 10 tahun belakangan ini tengah mengalami masa transisi dari monopoli-sentralisasi ke arah terbuka-desentralisasi. Tantangan globalisasi dan reformasi telah memicu restrukturisasi sektor energi agar dapat meningkatkan efisiensi dan transparansi. Penggunaan energi nasional meningkat pesat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk. Sedangkan akses kepada energi yang andal dan terjangkau merupakan salah satu prasyarat penting untuk meningkatkan standar hidup masyarakat. Selain itu, kondisi sumber energi fosil yang tidak dapat diperbarui diprediksi akan mencapai batas kritis dalam waktu 50 tahun ke depan. Hal ini memicu Indonesia untuk memberikan suatu upaya solutif agar ketersediaan energi nasional dapat terus terjaga.
Untuk menjawab tantangan dalam pewujudan penyediaan energi berkelanjutan, pemerintah menerbitkan Renstra Energi 2005-2025 sebagai instrumen kebijakan strategis dalam rangka pemenuhan pengembangan berkelanjutan yang diantaranya berfokus pada perluasan akses kepada kecukupan pasokan energi yang andal dan terjangkau. Renstra tersebut menyebutkan bahwa, untuk memenuhi kebutuhan energi nasional pada tahun 2025, harus didukung dengan pasokan energi yang bersumber pada energi baru dan terbarukan untuk mengurangi penggunaan sumber energi fosil yang selama ini menjadi poin pokok dalam permasalahan global. Tidak terkecuali untuk ketenagalistrikan yang saat ini menjadi salah satu tolok ukur kemajuan insfrastruktur.
Untuk mensinergiskan restra tersebut, pemerintah telah menerbitkan Undang-undang No. 30 Tahun 2007 tentang Energi. Poin penting dalam undang-undang tersebut terdapat pada Bagian Kelima tentang Lingkungan dan Keselamatan pasal 8 yang menyebutkan “Setiap kegiatan pengelolaan energi wajib mengutamakan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan dan memenuhi ketentuan yang disyaratkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup”.
Sejalan dengan itu, salah satu upaya pemerintah dalam mencapai poin-poin pencapaian Renstra 2025 dan UU No.30/2007 adalah diterbitkannya Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 5 tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, khususnya Lampiran 1 No. K.3 tentang Ketenagalistrikan. Implementasi dari integrasi ketiga payung hukum tersebut diharapkan mampu memberikan kontribusi konkrit bagi ketersedian energi di Indonesia.
Analisis Masalah dan Solusi
Gembar-gembor Renstra Energi 2005-2025 tentang pencapaian pasokan energi dari sumber energi baru dan terbarukan nampaknya masih jauh panggang dari api. Beberapa poin penting yang terjadi di lapangan dewasa ini adalah bahwa, pemenuhan kebutuhan sumber energi yang berasal dari energi baru dan terbarukan hingga saat ini masih dibawah 5%. Masih jauh dari ketentuan renstra yang mewajibkan ketersediaan sumber energi baru dan terbarukan sebesar 25%. Butuh tenaga ekstra untuk meningkatkan pencapaian hingga lima kali lipat dalam waktu yang tinggal seujung jari.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mengapa hal tersebut dapat terjadi? Salah satu poin penting yang mendasarinya adalah, klausul yang menyatakan bahwa kegiatan pengelolaan energi wajib “mengutamakan” penggunaan teknologi yang ramah lingkungan pada UU No. 30 tahun 2007 tentang Energi masih bertolak belakang dengan realita yang ada saat ini. Kondisi saat ini memperlihatkan bahwa sebagian besar pembangkit listrik yang ada di Indonesia masih didominasi dengan Pembangkit Listrik Tenaga (PLT) batubara dengan teknologi yang cenderung konvensional dan masih menghasilkan emisi yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan PLT energi baru dan terbarukan.
Kondisi ini diperparah dengan adanya Permen LH No. 5 tahun 2012 yang dalam lampirannya menyebutkan bahwa pembangunan PLT energi baru dan terbarukan harus sudah memenuhi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) jika instalasi tersebut memenuhi produksi 10MW dalam satu lokasi. Sedangkan untuk PLT yang bersumber dari energi konvensional seperti batu bara, akan dikenakan AMDAL jika mencapai produksi 100MW dalam satu lokasi. Hal ini seakan-akan menunjukkan bahwa prosedur AMDAL bagi PLT yang menggunakan energi fosil lebih ditoleransi daripada PLT energi baru dan terbarukan, padahal PLT fosil lebih berpolusi.
Realita di lapangan selanjutnya juga menunjukkan, sebagian besar PLT fosil yang ada di Indonesia memiliki kapasitas di bawah 100 MW. Implikasinya adalah, dengan adanya regulasi tersebut cenderung mendorong PLT fosil yang tidak terbarukan dan tidak ramah lingkungan untuk terus berkembang dan cenderung menekan PLT energi baru dan terbarukan dan ramah lingkungan sehingga sulit untuk berkembang. Hal ini diindikasikan menjadi suatu kontradiksi antara Permen LH dengan peraturan lain yang dapat menghambat Renstra 2025 25% energi baru terbarukan dan UU no 30 tentang energi.
Alasan ilmiah khusus yang tercantum dalam lampiran 1 No. K3 pada PERMEN LH No. 5 tahun 2012 dibuat sedemikian rupa sehingga terkesan menyudutkan pembangunan PLT energi terbarukan. Sebagai pembanding, dalam poin pembangunan PLT energi lain, dalam hal ini melingkupi berbagai sumber energi baru dan terbarukan, disebutkan terdapat empat poin permasalahan dalam pembangunan PLT tersebut yaitu perubahan fungsi lahan, dampak aspek kualitas fisika-kimiawi, keanekaragaman hayati, kebisingan, pembebasan lahan, kategori bendungan besar, serta kegagalan bendungan. Sementara itu, poin pokok potensi masalah bagi PLT fosil disebutkan memiliki dampak aspek kualitas udara, kualitas air, sosial ekonomi dan pembebasan lahan. Padahal, semua poin aspek yang diduga menjadi pemicu permasalahan tersebut adalah permasalahan umum yang dapat terjadi pada kedua jenis PLT tersebut. Yang menjadi permasalahan adalah, apakah aspek permasalahan berdasarkan poin tersebut yang ditimbulkan dari sebuah PLT energi terbarukan berkapasitas 10MW memberikan polusi dan kerusakan yang lebih besar daripada PLT batu bara berkapasitas 100MW? Adalah suatu yang aneh jika suatu instalasi yang berpotensi menghasilkan kerusakan besar lebih ditoleransi daripada instalasi dengan potensi kerusakan yang lebih kecil. Ini justru menunjukkan lemahnya kekuatan hukum untuk menyelamatkan lingkungan, dan kurangnya sinergitas antara PERMEN LH No. 5 tahun 2012 dengan UU Energi No. 30 tahun 2007 dan Renstra Energi 2025.
Banyaknya PLT energi fosil yang tidak wajib AMDAL di berbagai tempat di Indonesia, walaupun kapasitasnya 80MW, akan menimbulkan akumulasi emisi yang cukup besar. Selain memberikan kontribusi terhadap emisi, kondisi ini juga akan memperparah ketersediaan bahan baku fosil di Indonesia yang hingga saat ini terus mengalami defisit. Bahan baku fosil tersebut suatu saat akan habis dan Indonesia terpaksa melakukan impor bahan baku energi. Jika hal tersebut dibiarkan, maka akan berdampak pada biaya produksi energi yang semakin meningkat, dan nilai jual akan menjadi semakin tinggi.
Upaya yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan geliat pembangunan infrastruktur PLT energi baru dan terbarukan salah satunya adalah dengan membalik ketentuan AMDAL antara PLT energi baru dan terbarukan dengan PLT fosil yang tidak ramah lingkungan. Seharusnya, ketentuan AMDAL untuk PLT fosil harus lebih diperketat dari ketentuan besaran yang ada sekarang dan harus diikuti dengan berbagai macam ketentuan perundang undangan lain. Selain itu, ketentuan AMDAL bagi PLT energi terbarukan lebih diringankan. Sebagai contoh, seharusnya PLT fosil diwajibkan memiliki AMDAL pada kapasitas produksi yang lebih kecil dengan berbagai ketentuan yang diperketat, sedangkan PLT energi baru terbarukan diwajibkan memiliki AMDAL pada kapasitas produksi yang lebih besar dengan berbagai fasilitas penunjangnya.
Solusi lain yang dapat ditawarkan adalah memberikan ketentuan AMDAL yang berimbang bagi kedua jenis sumber energi tersebut. Sebagai contoh, jika PLT energi baru dan terbarukan diberikan batas AMDAL pada produksi 50MW, maka PLT energi fosil harus diberikan batas AMDAL pada produksi 50MW. Dengan demikian, industri akan mendapatkan pilihan untuk mengembangkan kedua jenis energi tersebut. Baik industri yang sudah eksis ataupun industri baru.
Jika hal tersebut diimplementasikan maka akan mendorong industri baik pemerintah maupun swasta untuk membangun lebih banyak PLT yang bersumber dari energi baru dan terbarukan. Dengan demikian, penggunaan fosil sebagai bahan baku utama untuk produksi energi akan semakin menurun sehingga cadangan energi Indonesia akan semakin tercukupi dan kelestarian lingkungan hidup akan terjaga.
Kesimpulan
Pencapaian Renstra 2025 untuk memenuhi 25% kebutuhan energi dimasa kini dan mendatang dengan menggunakan sumber energi baru dan terbarukan serta menurunkan pencemaran lingkungan harus didukung dengan pengembangan PLT energi baru dan terbarukan melalui regulasi termasuk AMDAL. Perbaikan regulasi penentuan AMDAL pada Lampiran 1 No. K.3 tentang Ketenagalistrikan dalam PERMEN LH No. 5 tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki AMDAL adalah salah upaya yang dapat mendukung pencapaian Renstra tersebut. Poin penting revisi yang harus dipenuhi adalah, agar terjadi penurunan penggunaan energi fosil untuk sumber energi, maka AMDAL perlu diperketat dengaberbagai ketentuan. Dengan demikian, penggunaan energi fosil akan berkurang, dan Indonesia akan beralih pada sumber energi baru dan terbarukan yang lebih ramah lingkungan dan tersedia dalam jumlah tidak terbatas untuk pembangunan Indonesia yang berkelanjutan di masa yang akan datang.