Bongak

‘Wong Rumah’ itu Sungguh Seksis

Acapkali saya mesti menyebut istri saya dalam suatu percakapan dengan kawan atau sanak kerabat. Baik dalam percakapan yang dihadiri atau melibatkan istri saya secara langsung, maupun dalam kondisi in absentia. Sekarang saya tinggal di Palembang. Jadi sudah barang tentu pembicaraan berlangsung dalam bahasa Palembang. Dalam bahasa Palembang, ada istilah khusus yang dimaksudkan sebagai kata ganti orang ketiga untuk menerangkan konsep ‘istri’, yaitu ‘wong rumah. Lazimnya, penutur bahasa Palembang, tepatnya para suami, akan memakai istilah ‘wong rumah‘ untuk menyebut, menunjuk, dan menandai ‘istri’ mereka yang sedang dibicarakan. ‘Wong rumah‘ adalah kata yang merujuk pada manusia yang bergender, yakni perempuan yang bersuami. Misalnya, seorang kawan bercerita kepada saya tentang istrinya yang kini sudah bisa bikin pempek, “Wong rumahku mak ini ari la pacak muat pempek!” Atau, “Apo gawe wong rumah kalu dak ngajar?” bila seorang menanyakan kesibukan istri saya jika tidak sedang mengajar.

Dalam pengalaman kebahasaan saya, ‘wong rumah‘ begitu lazim dipakai untuk menggantikan kata ‘istri’ di komunitas bahasa Palembang. Dan saya berupaya sebaliknya, menghindari terucapnya sebutan ‘wong rumah‘. Saya tetap memilih kata ‘istri’ untuk menerangkan konsep perempuan yang bersuami. Barangkali kata ‘istri’ bagi lawan bicara saya akan terdengar aneh karena melawan kelaziman. Tapi bagi saya, kata ini begitu nyaman untuk dipakai. Saya meyakini bahwa bahasa, selain memiliki sisi kelogisan, juga memiliki sisi emotif, memiliki rasa. Dan bahasa ‘wong rumah’, bagi saya berasa mengecilkan peran perempuan dalam rumah tangga. Oleh perasaan inilah, saya pun secara sadar dan nyaman memakai kata ‘istri’ ketimbang ‘wong rumah‘.

Pada gilirannya, saya mencoba memikirkan sebutan ‘wong rumah‘, dan lantas saya berasumsi bahwa sebutan ‘wong rumah‘ yang berarti ‘istri’ sungguh seksis karena menggiring saya pada imaji domestikasi perempuan.

Berbekal pengalaman dan asumsi inilah, saya kemudian tertarik untuk membicarakannya persoalan ‘wong rumah‘ (secara terbatas) sebagai praktik berbahasa yang seksis.

****

Bahasa Palembang juga memiliki ragam dan strata bahasa sebagaimana bahasa daerah lainnya di Indonesia, seperti Jawa. Baso palembang alus atau bebaso berada di strata tertinggi dalam bahasa Palembang. Bebaso tergolong ke dalam ragam hormat, sebab diperuntukkan untuk percakapan-percakapan resmi, seperti di upacara-upacara adat (perkawinan, kelahiran, khitanan, dan lain-lain) atau dituturkan kepada orang yang dihormati atau dari orang berusia muda kepada orang yang berusia lebih tua. Sebuah bahasa untuk para priyayi dan elit Keraton Kesultanan Palembang Darsussalam. Di bawah bebaso, ada baso sari-sariBaso sari-sari berada di tingkatan terendah, sebagai ragam kasar yang dipakai sehari-hari untuk berbicara dengan orang yang sudah akrab, atau dengan orang yang setara atau lebih rendah dalam umur atau kedudukannya.

Perihal stratifikasi bahasa dalam bahasa Palembang ini jelas mendapat pengaruh dari bahasa Jawa. Seperti halnya bahasa ngoko dan krama inggil dalam bahasa Jawa yang sengaja dikonstruksi oleh elit Keraton Solo dan Yogyakarta, bebaso dan baso sari-sari pun demikian. Ben Anderson, Indonesianis yang jenius, menyebut hal ini sebagai politik bahasa, sebuah praktik peneguhan kuasa (feodalisme) elit Jawa di tengah terus menguatnya kuasa kolonialisme Belanda. Secara metaforis, Anderson menyebutnya sebagai sejenis ‘krama jasadiah yang memisahkan, meluhurkan, dan memberi kesan mistis terhadap keraton’. Dan Keraton Kesultanan Palembang Darussalam, di mana para elitnya masih keturunan raja-raja Jawa, sedikit banyak juga menerapkan taktik yang serupa melalui stratifikasi bahasa Palembang guna meligitimasi hirarki antara penguasa dan rakyat, antara elit dan rendahan—bahkan kosakata bebaso pun banyak yang memiliki kesamaan dengan krama inggil; sehingga kolonial Belanda pun menyebut bebaso dengan ‘Palembang Javaans‘.  

Dalam kasus ‘wong rumah‘, frasa ini berada di strata baso sari-sari. ‘Wong rumah‘ adalah gabungan dua kata ‘wong‘ dan ‘rumah‘ yang kemudian menjadi istilah khusus. Selain ‘wong rumah‘, baso sari-sari juga mengenal kata ‘bini‘ untuk konsep ‘istri‘. Sementara dalam strata bebaso, ada kata ‘sémai‘ untuk makna ‘istri’. Oleh bahasa Indonesia, kata ‘sémai‘ kemudian diserap dengan ejaan yang sama, ‘semai’ (secara fonetik juga sama, dengan é taling), namun berbeda dalam arti. ‘Semai’ dalam bahasa Indonesia artinya menjadi ‘benih tumbuhan (yang sudah berkecambah) yang akan ditanam lagi sebagai bibit di tempat lain’. Penyerapan oleh bahasa Indonesia ini lantas menjadikan kata ‘sémai‘ terdengar seksis. Tak kalah seksisnya dibanding istilah ‘wong rumah‘. Sebab kata ‘sémai‘ bertautan dengan istri dalam hal perempuan yang bersuami dengan aktivitas reproduksi seksualnya.

Dalam praktik berbahasa Palembang, istilah ‘wong rumah‘ lebih banyak digunakan ketimbang kata ‘bini‘ dan ‘sémai‘. Mengapa? Karena ‘umur’ stratifikasi bahasa Palembang tidak sepanjang bahasa Jawa. Sekarang, bisa dibilang ragam bebaso nyaris atau bahkan sudah punah, seiring semakin sedikitnya orang Palembang yang menguasai ragam tersebut, yang dengan otomatis penggunaannya pun semakin jarang ditemui. Selain itu, juga karena globalisasi bahasa pendatang (terutama bahasa Jawa dan Indonesia) yang mendesak eksistensi baso palembang alus atau bebaso, sehingga sekali lagi ditekankan, bebaso pelan-pelan mulai kehilangan penuturnya dan pemertahanan bebaso pun menjadi mustahil.

Lantas mengapa istilah ‘wong rumah‘ terkesan seksis? Guna melihat kemungkinan jawabannya, perlu kiranya menengok bagaimana sistem sosial dan kekerabatan yang berlaku bagi masyarakat Palembang.

Masyarakat Palembang menganut sistem kekerabatan patrilineal. Di mana garis keturunan diurutkan berdasarkan Bapak. Biasanya, kelompok yang menganut patrilineal akan menerapkan struktur kuasa patriarki, di mana yang memegang kuasa tertinggi dalam sistem tersebut adalah Laki-laki. Laki-laki menjadi yang utama dan sentral. Dan secara bersamaan pula, patriarki akan menempatkan peran perempuan sebagai subordinat. Perempuan distereotipkan sebagai yang lemah dan emosional, sehingga perannya dalam keluarga dicukupkan di wilayah domsetik.

Laki-laki memiliki wewenang dan hak yang lebih luas dan lebih tinggi dibanding Perempuan. Di sini, pandangan masyarakat Palembang terhadap nilai gender dan keluarga, jika dirunut lebih jauh, juga terpengaruh oleh pandangan masyarakat Arab yang patriarki.

Meskipun pada hari ini, masyarakat Palembang secara perlahan mulai terbuka pada peran dan posisi perempuan di ranah publik, namun konteks budaya patriaki di sini tetap punya riak yang signifikan dalam menciptakan dan melangengkan kata atau istilah-istilah yang bias gender, seperti halnya ‘wong rumah‘. ‘Wong rumah‘, dengan demikian selain menyangkut perosalan strata bahasa (dan sosial), juga secara logis berkaitan politik bahasa yang seksis. Sehingga pemakaian frasa ‘wong rumah‘ (sebagai ragam kasar) akan memberi kesan domestifikasi perempuan dan legitimasi hubungan hirarki antara perempuan dan suaminya. Sementara kesadaran memilih kata ‘istri”’ ketimbang ‘wong rumah‘ akan menjadi strategi political correctness dalam praktik berbahasa Palembang. Sama halnya dengan kesadaran menghindari memakai kata ‘wanita‘—yang terkait erat dengan politik gender Orde Baru melalui gerakan Dharma Wanita—dan menggantinya dengan kata ‘perempuan‘.

Okta Firmansyah

Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *