Bongak

Problematisasi Seni Islam: Upaya Menjangkau Format Lain dan Lokalitas Kultural

//1

Ketika disebut ‘seni Islam’, pikiran orang kebanyakan akan terbatas pada bentuk-bentuk seni, seperti kaligrafi Arab yang berbasis ayat Al-Qur’an atau Hadis; ornamental arabes (arabesque); sajian musik, baik yang menggunakan instrumen musik khas kebudayaan Arab (gambus, rebana, nay, dst) maupun pada lirik yang bernuansakan Arab-Islam; seni baca (tilawah) Al-Quran; puji-pujian atau selawatan (terlebih yang berbahasa Arab); arsitektur Islam—yang seringkali merujuk ke bangunan/situs keagamaan sebagaimana ditemui di Jazirah Arab; hingga teks-teks sastra dan tarian dari para sufi.

Jarang sekali kiranya, misalnya, tautan seni Islam adalah Puisi-puisi W.S. Rendra atau Gus Mus, cerpen-cerpen Danarto; drama-drama Arifin C. Noer; karya-karya Teater Muslim di bawah kepemimpinan Pedro Sudjono yang kemudian dilanjutkan oleh Muhammad Diponegoro; musik ciptaan Grup Kantata Takwa atau Slamet Gundono; lukisan dan instalasi karya perupa Nasirun. Kalaupun ada yang berpikir begitu, tentu mereka adalah orang-orang yang cermat dengan jumlah yang tidak banyak.

Mengapa demikian? Setidaknya kita bisa menyinyalir empat alasan yang mendorong lahirnya kotak-kotak seni Islam ini. Pertama, bahwa yang dimaksud dengan seni Islam adalah seni yang kudus (suci) karena nilai dan orientasi penciptaannya berkisar pada ke-Islam-an—utamanya pada hukum Islam (fikih). Kedua, seni Islam adalah seni yang diekspresikan dengan merujuk pada seni sebagaimana yang ditemui dan berkembang di Jazirah Arab. Dengan kata lain, persoalan seni Islam di sini digeneralisir, dikaitkan, dan kemudian menjadi terbatas pada aspek formal yang begitu homogen. Ketiga, segala konten dan wujud seni Islam harus dinyatakan secara tidak bertele-tele alias harus jelas, terang, lugas—eksplisit Islamis. Bukan sebaliknya, implisit. Dan keempat, seni Islam adalah seni yang murni diciptakan pemeluk Islam, bukan dari non-Muslim. Bukan hasil olahan/modifikasi seni yang sebelumnya dikatakan tidak Islami.

Secara pasti, alasan kedua, ketiga, dan keempat inilah yang tidak dimiliki oleh Rendra hingga Nasirun—menyebut beberapa contoh saja. Sebab mereka mengusung format (lain) penciptaan seni yang tidak masuk radar seni Islam yang diidentikkan orang kebanyakan. Mereka juga memilih bahasa (dalam keluasannya) yang cenderung tidak populer—sebagaimana bahasa seni Islam yang dikenal umum—ketika mendakwahkan nilai dan ajaran Islam dalam karya-karya mereka. Rendra dalam puisinya, Mencari Bapa, katakanlah. Dalam menyampaikan gagasan tentang pencarian personalnya akan Allah, Rendra mengkisahkan dirinya sebagai Suto yang lahir tanpa Ibu dan besar dalam pengusiran Ayahnya. Suto kemudian menggelandang lama, mencari Ayah yang ia anggap sebagai Bapa sebenarnya. Hingga di akhir puisi, Suto berhasil menemukan Bapa yang ia maksud: Ialalah Allah Yang Maha Esa. Terasa di luar kebiasaan, bukan? Bahwa untuk sampai pada ekstase akan keesaan Allah, Suto justru lebih dulu harus merasakan kenikmatan seksual dengan lonte (PSK). Sebuah puisi berbahasa Indonesia yang nyleneh bila harus digolongkan seni Islam?

Atau karya seni instalasi, 9 Bedug, dari Nasirun yang pernah dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) pada 2013 silam? Dengan beragam imaji ‘Walisanga’, garis-garis yang tegas nan ekspresif, Nasirun memaksudkan bedug-bedug tersebut sebagai pengingat akan jasa dan keberadaan Walisanga di tanah Jawa. Sebuah bentuk yang memiliki modus representasi yang membicarakan konsep pembumian Islam di Jawa. Pertanyaannya kemudian, bisakah karya ini menjadi pengetahuan bersama (commons) komunitas Muslim sebagai seni Islam? Bukankah bedug cuma benda yang dipukul sebagai penanda telah datangnya waktu salat; sebagai pengantar azan? Bagaimana mungkin bedug yang fungsional itu adalah seni Islam? Toh, orang Arab juga tidak mengenal apa itu bedug? Mereka hanya mengenal darbuka, misalnya.

Sulit memang untuk memecah kotak-kotak seni Islam yang sudah terlanjur lama diyakini oleh kebanyakan orang. Pengkotakan ini menjadi persoalan yang pelik dan tidak mudah. Tapi setidaknya, dari titik ini, persoalan seni Islam dapat kita cermati lebih dalam. Tepatnya, di-problematisasi. Seni Islam akan menjadi menjadi wilayah yang terbuka bila kita mencoba menggali akar wacana apa yang melatari konsep seni Islam itu sendiri, baik saat kemunculannya maupun ketika dipahami saat ini.

//2

Belakangan ini saya mengikuti beberapa diskusi dengan tema besarnya adalah seni dan Islam. Melalui diskusi yang dipantik oleh Hasan Basri Marwah ini, saya mulai dirangsang untuk bertanya lebih lanjut atas istilah seni Islam yang terkesan stereotip-generalistik tadi. Di salah satu diskusinya, Hasan menyertakan sebuah esai yang ia tulis yang berjudul, Masalah ‘Islamic Art’: dari Oleg Grabar sampai Gus Dur. [1] Di esai itu, Hasan mengeksplorasi atau tepatnya meninjau ulang berbagai pemikiran tentang ‘Islamic Art’ yang diajukan oleh berbagai pemikir lintas generasi. Carl W. Ernst, Sayyed Hossen Nasr, dan Ismail Raji al-Faruqi, dengan konsep seni Islam yang suci (sacred art): bahwa praktik seni dalam Islam tidak bisa keluar dari keberagamaan dan keberislaman. Hingga Oleg Grabar, Hamid Dabashi, dan Gus Dur, yang mulai mengkritisi secara serius istilah seni Islam dengan tidak hanya bertumpu pada praktik keseniannya, melainkan juga pada alat/acara mengukur yang suci itu sendiri. Esai ini, seperti yang diakatakan Hasan, adalah esai yang hendak ikut campur dalam dinamika gagasan dan praktik kesenian di tengah ‘masyarakat Islam’.

Secara spesifik saya akan bertolak dengan mengutip apa yang menjadi dasar berpikir dalam menyikapi istilah seni Islam yang disampaikan Hasan dalam esainya tersebut. Bahwa istilah seni Islam adalah istilah yang begitu problematis. Seni Islam adalah sebentuk pikiran-pikiran yang kategoris dan binaris, hasil konstruksi dan upaya hegemonik yang amat berbau orientalistik yang bersumber dari Barat. Akarnya ada pada metafisika peliyanan (othering) dalam sejarah pencerahan Barat. Di mana seni Islam adalah derivasi dari sebutan ‘Islamic Society’ (Masyarakat Islam). Dengan meminjam gagasan Edward Said, Hasan lebih lengkapnya menulis:

“[…] Sebutan ‘masyarakat Islam’ […] Bukan sekadar konstruksi dari praktik pengetahuan […] Menurut Said, penggunaan istilah seperti ‘masyarakat Islam’ lebih tepat dilihat sebagai praktik kekuasaan daripada sebagai praktik pengetahuan. […] Kira-kira, Said ingin mengatakan bahwa pelabelan masyarakat dengan ‘imbuhan agama’ merupakan sejenis praktik ‘mengada-ada’ yang lahir dari persaingan dalam masalah perebutan wilayah faktual, perebutan geografi, atau penaklukan atas tanah dan penduduknya. Demi penaklukan itu kemudian disusun peta, tetapi bukan hanya gambar saja, melainkan ‘peta-isasi’ (topografi) kemanusiaan atau wilayahisasi kemanusiaan. Menurut ‘peta-isasi’ tersebut, kemanusiaan itu tidak setara, bertingkat, atau hierarkis. Mereka yang barbar, terbelakang, ndeso dan sarungan dibedakan ‘garis batasnya’ (border) dari mereka yang dianggap beradab. Gagasan tentang peta kemanusiaan ini lebih awal menjadi salah satu batu bata kolonialisme-kapitalisme daripada metafisika rasialisme dalam lembaga pengetahuan yang tumbuh seiring dengan kebutuhan kolonialisme, yakni orientalisme. Maka lahirlah istilah ‘masyarakat Islam’ atau dalam konteks hari ini ada peta-ulang (re-mapping) […]

[…] Dari istilah ‘masyarakat Islam’ lahirlah turunannya, salah satunya saja, istilah ‘kesenian Islam’.” [2]

Melalui lensa orientalisme ini, masuk akal bila kemudian seni Islam secara aktual dipahami dengan tidak mengindahkan format lain dan kemajemukan Islam serta lokalitas kultural di mana Islam itu dianut dan dihidupi. Format yang tidak dikenali tradisi bangsa Arab, ditolak. Lokalitas kultural di luar batas geografis Arab, dikesampingkan. Tidak masuk dalam arus utama daftar ‘seni Islam’ yang sudah begitu pendek itu tadi. Sebagai gantinya, wacana orientalisme menciptakan kanon ‘seni Islam’ dengan rujukan sebagaimana imaji mereka sendiri atas Arab-Islam. Di mana dalam bayangannya itu, ‘masyarakat Islam’ dan kebudayaannya dilokalisir menjadi sebatas yang bermukim di tanah Arab. Mereka juga dikonstruksi sebagai masyarakat yang serba fiqh-minded. Hasilnya, hakikat dan hikmah yang mengiringi fikih pun seolah tidak menjadi bagian dalam ‘masyarakat Islam’, dinegasikan. Fikih hanya dipahami dan dijalankan sebatas formal agama (syari’at). Yang bisa masuk ke dalam daftar seni Islam hanya yang bisa sejalan persis dengan hukum Islam dan memiliki kemiripan bahkan kesamaan dengan yang berkembang di Jazirah Arab. Dengan kata lain, konsepsi dan praktik ala orientalismeinilah yang kemudian menjadikan seni Islam serba seragam, terbatas praktiknya. Seolah-olah seni Islam adalah seni yang mandeg, tidak kreatif. Bahkan ekstremnya, seolah-olah seni Islam tidak memiliki ciri dan karakter, sebab yang itu-itu saja didengungkan dan diwariskan dari masa ke masa, ke berbagai wilayah.

Mengapa identitas seni Islam seperti ini begitu ampuh dan lama diterima? Sebab, kata Said, orientalisme telah dijalankan dengan begitu ketat dan sistematis guna mengkonstruksi dan mengatur identitas Timur (Arab-Islam) oleh Barat. Di mana budaya Eropa/Barat memperoleh kekuatan dan identitasnya dengan cara menyandarkan diri kepada dunia Timur sebagai semacam wali atau pelindung, bahkan ‘diri’ yang tersembunyi.[3] Termasuk di dalamnya identitas seni. Selain itu, konstruksi ini juga dimaksudkan untuk membentuk hierarki identitas, bahwa seni Islam adalah seni yang tidak bisa lari dari keberislaman (fiqh-minded tadi), yang tidak bisa berkembang pesat, yang sempit wujudnya. Seni Islam adalah seni yang berbeda dari seni non-Islam (seperti yang ada di Barat) yang diasumsikan lebih tinggi kreatifitasnya, lebih beragam eskpresinya, lebih luas konsepsinya, dan bahkan yang paling adilihung. Bahwa dengan wacana orientalisme ini, Barat telah berupaya memonopoli kesenian dengan mendasarkan seni pada latar belakang agama dan geografis. Padahal, bukankah sudah menjadi sunnatullah bahwa setiap orang berhak akan daya artistik dan kualitas estetis yang dimilikinya, apa pun agama dan bangsanya?

//3

Bila penyebutan seni Islam diterangkan (ala kadarnya) sebagai praktik politik pengetahuan yang dilancarkan oleh para orientalis guna mengerdilkan serta meneguhkan kuasa-hegemoni Barat atas Timur dengan cara menarik garis demarkasi, lantas bagaimana sejatinya ekpresi seni bagi pemeluk Islam? Seperti apa dan bagaimana mengidentifikasinya?

Seperti yang disinggung Hasan juga di bagian akhir esainya, KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sudah mengantisipasi pertanyaan-pertanyaan tadi. Meski pembahasan Islam dan seni oleh Gus Dur tidak secara langsung menyinggung wacana orientalisme, setidaknya pembahasan Gus Dur merupakan upaya serius untuk memperluas cakrawala Islam dan seni dalam konteks Indonesia. Pembahasan yang dimaksud bisa dibaca dalam esai Gus Dur, Islam, Seni dan Kehidupan Beragama dan Islam dan Seni: Persepsi Sebuah Agama akan Kehidupan Idamannya. Kedua esai ini terbit pertama kali tahun 1983, dan kemudian dikumpulkan dalam buku Gus Dur, Pergulatan Negara, Agama, dan Budaya (2001).

Di esai pertama, Gus Dur menyebutkan dua alat ukur yang utama untuk mengetahui kadar ke-Islaman dari ekspresi kesenian: 1) ketaatan asas/konsistensi ekspresi itu sendiri dalam panjang nafas keislaman, dan 2) kesungguhan isi pesan yang dibawakan itu sendiri. [4]

Melalui dua alat ukur ini, Gus Dur menggugah kita untuk melakukan pembacaan yang lebih matang dan mendalam, alias tidak dangkal. Pembacaan dengan dua alat ukur ini susah-susah gampang. Sebab kata Gus Dur, kedua hal itu terkadang begitu subtil dan tersembunyi dalam ekspresi yang biasanya digolongkan ke dalam seni non-agama (Islam). Gus Dur mencontohkan kesenian Ludruk.

“[…] Kasus kesenian ludruk di Jawa Timur, dengan pesan utamanya tentang demokrasi yang mempertimbangkan realitas kehidupan, dapat dikemukakan sebagai contoh. Tidak akan pernah ada pesan agama yang langsung dapat ditemui dalam pementasan ludruk. Tetapi bukankah demokrasi adalah esensi kehidupan menurut konsep kenegaraan Islam? Mengapakah kita tidak mampu memahami ‘pesan keagamaan’ ludruk sebagai eskpresi seni yang bernafaskan Islam? Hambatan psikologis yang timbul dari warisan masa lampau jelas tidak mudah untuk diatasi dalam menerima beberapa kesenian lokal maupun nasional yang sudah terlanjur dianggap bukan ‘kesenian Islam’. Tetapi rasanya sikap untuk menyerah kepada keadaan yang pincang ini jelas tidak akan mendukung perluasan pengaruh kesenian Islam atas  kehidupan beragama kita […] [5]

Gus Dur mencoba memperluas pemaknaan seni Islam dengan lebih meninjau inti pesan dan semangat dari seni itu sendiri. Bila Islam (dalam keluasannya—tidak sebatas fikih) adalah bagian dari pesan dan semangat itu, maka tidak menutup kemungkinan untuk mengatakannya sebagai bagian dari seni Islam. Oleh Gus Dur, pemahaman seni Islam disarankan diperluas dengan tidak terbatas pada ekspresi formal-legalnya saja. Dengan perluasan ini, maka peluang seni Islam baik dalam format lain atau yang telah bernegoisasi (hibrid) dengan lokalitas kultural di banyak bangsa, lantas menjadi terbuka. Bukankah seni Islam dalam tradisi Arab juga menyandarkan diri pada lokalitas setempat?

Toh juga, seperti di esai kedua Gus Dur, bila seni didudukkan dan diperlakukan sama dengan ketaatan kepada sendi-sendi keimanan dan tercapainya ketuntasan pengalaman spiritual, pada akhirnya seni itu akan memantulkan keagungan Allah dan kebesaran-Nya. Dengan kata lain, baiknya seni diberikan hak otonominya secara penuh sebagai bidang kehidupan yang akan membawa manusia pada kesadaran akan kebenaran Allah, karena Ia-lah sumber inspirasi para seniman. [6]

//4

Mengingat konsep seni Islam adalah hasil interpretasi para orientalis (menjadi praktik kolonial) maka seni Islam dari dahulu hingga sekarang tidak pernah menjadi obyek pemikiran atau ekspresi yang bebas, karena selalu ditempatkan pada konteks seperti yang dibayangkan Barat atas Timur. Menjadi entitas tunggal dengan pusat yang mengarah ke Arab versi Barat (yang fiqh-minded)—diidentikkan dengan seni Arab (Arab sentris). Sebuah patologi pascakolonial, bisa dibilang. Di mana label seni Islam ditujukan untuk memperkokoh hierarki hegemonik Barat atas Timur.

Dan Gus Dur menolak penyempitan seni Islam ini—meski tidak secara langsung menyerang orientalisme. Dengan tegas, Gus Dur mengatakan bahwa yang telah menjadi kekayaan Nusantara ini pun, seperti: teks-teks sastra Melayu lama yang ditulis para pujangga sufi; tembang Jawa (suluk, macapat, hingga lagu-lagu dolanan bocah); kitab-kitab kuning yang sering dideras di pesantren-pesantren dari Aceh hingga Ternate; arsitektur atap tumpang di tanah Jawa; pergelaran Wayang; Tari Topeng Panji; dan berbagai festival hingga ritual-ritual keagamaan lainnya di belahan Nusantara yang tak terhitung jumlahnya adalah bagian dari seni Islam.

Okta Firmansyah

Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *