Ciri lain dari negara demokrasi adalah adanya peran pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah. Pers sendiri bertindak atas dasar ketidakberpihakan dan mengandalkan netralitas. Selain memegang peranan dalam akses informasi publik, pers juga memiliki fungsi edukasi dan kontrol.
Ketika media tidak memiliki pertanggungjawaban terhadap negara, maka fungsi media terkesan bebas. Ia dapat saja mengontrol pemerintah, namun pada sisi yang lain ia juga dapat menjadi corong pemerintah. Pola pertanggungjawaban sosial yang memberikan keleluasaan kepada media membawa media harus menentukan identitasnya sendiri dengan tetap berlandaskan pada hukum negara yang digunakan seperti perundangan keterbukaan informasi publik dan perundangan pers.
Meski memiliki kebebasan penuh, namun media memiliki social responsibility, pola pertanggungjawaban sosial. Media harus mempertanggungjawabkan apa yang ditulis atau ditayangkan dihadapan publik. Setiap problem atau informasi yang ditampilkan mengandung unsur-unsur yang harus tidak bertentangan dengan etika sosial atau hukum-hukum adat. Dalam hal ini, media meskipun memiliki hal yang tidak terbatas dalam penyajian informasi dan data, namun tetap harus mengindahkan kondisi, hukum dan sistem sosial. Di mana ia tidak memiliki kebebasan dalam menyangkut hal-hal yang sudah menjadi ketentuan dalam kehidupan bermasyarakat, baik itu hukum tertulis maupun hukum-hukum yang tidak dicantumkan dalam literasi.
Termasuk dalam konflik, media yang memiliki kebebasan menampilkan semua persoalan yang terjadi menyangkut konflik tersebut, namun harus tetap melihat hal-hal tersebut di atas. Fenomena sosial harus diperhitungkan karena media harus mempertanggungjawabkannya di hadapan publik.
Johan Galtung, seorang guru besar, ahli pembangunan, pada 1998 menggagas perlunya sebuah sistem jurnalisme yang justru menjadi corong perdamaian. Konsepnya ini sebut sebagai peace jurnalism. Hal yang melatarbelakangi Galtung menulis temuannya ini adalah, latar belakang media yang pada zamannya menuliskan secara hitam putih, kalah-menang. Ia melihat, jurnalis di eranya sangat vulgar dalam memberikan informasi dan lebih mengejar sensasional berita ketimbang berperan dalam konflik itu sendiri (Jake Lynch dan Johan Galtung, 2010).

Saling bersaing untuk mendapatkan berita yang sensasional, membawa sejumlah perusahaan pers kala itu juga bersaing mendapatkan dan membuat berita yang sensasional. Salah satu tolok ukur sensasional adalah bagaimana berita itu mampu menjadi alat provokatif dan intimidatif. Tema-tema seperti kekerasan dan konflik, krisis, kejadian “panas”, dan berita yang menakutkan sengaja ditulis dengan sudut pandang yang didukung diksi yang terlalu berlebih sehingga memunculkan kesan mendramatisir masalah.
Sebagai dampaknya, pembaca mudah terprovokasi menanggapi isi-isi berita yang ditampilkan. Sebagian tanggapan diberikan dengan memberikan cibiran atas berita, sebagian lainnya terpompa adrenalinnya untuk terlibat dalam konflik yang disajikan.
Pihak media sendiri tidak mau dirugikan dengan penurunan oplah apabila menampilkan berita dari sudut pandang yang negatif. Ia selalu memberikan justifikasi atas berita yang ditampilkannya tersebut sebagai kebenaran yang terjadi senyatanya, meskipun pada dasarnya mengandung nilai hiperbolis.
Pola penampilan berita yang demikian inilah yang kemudian oleh Galtung disebut sebagai jurnalisme perang. Disebut demikian karena konsep jurnalisme damai yang ditawarkannya ditolak mentah-mentah dengan berbagai logika bisnis, prinsip kerja jurnalistik, dan berbagai sandaran lainnya.
Sebenarnya Indonesia telah mengalami banyak insiden kekerasan yang berbau SARA sejak 1998, mulai dari kekerasan rasial pada 13-14 Mei 1998 di Jakarta terhadap etnis Tionghoa, pembersihan etnis Madura di Sambas, Kalimantan Barat pada 1999, konflik di Maluku 2000-2001, darurat sipil di Aceh, dan konflik Muslim-Kristen yang kronis di Poso sejak Desember 1998. Mulai dari situlah jurnalisme damai mulai dirasakan penting untuk digunakan dalam kegiatan jurnalistik khususnya dalam pemberitaan konflik. Tujuannya agar media yang sifatnya umum tidak dijadikan alat propaganda dan pemberitaan yang disajikan pun bersifat lebih manusiawi.
Jurnalisme damai hadir di Indonesia juga untuk menghindari apa yang disebut dengan talking journalism atau jurnalisme omongan. Di mana kaidah pers big name big news, no name no news masih berlaku. Pada masa Orde Baru, orang-orang penting seperti pejabat tinggi negara dan militer menjadi narasumber yang omongannya dipercaya dan menjadi sebuah fakta kebenaran. Di mana setiap pejabat dengan pangkat dan nama besarnya dianggap mewakili klaim atas seluruh kejadian dan kebenaran. Setiap terjadi suatu peristiwa, mereka selalu dijadikan narasumber. Sehingga jelas bahwa berita tidak bersifat komprehensif dan berat sebelah.