Bongak

Menyoal Masyarakat Tanpa Tuhan di Indonesia

Tulisan ini berangkat dari diskusi saya dengan seorang senior yang berada di Malang. Ia bercerita mengenai seorang komika yang mengusung genre dark jokes, yang begitu mengagungkan sains dan terkesan seorang ateis. Pertanyaan pun muncul, sebenarnya untuk apa dibuat data mengenai orang-orang ateis di Indonesia? Jawabannya sederhana saja, untuk mengetahui seberapa besar jumlah orang-orang ateis yang ada di Indonesia.

Ada tiga kajian ilmiah yang saya temukan terkait perkembangan kelompok ateis di Indonesia. Pertama, skripsi yang ditulis oleh Burhanuddin (2014), yang berjudul Sejarah dan Perkembangan Komunitas Indonesian Atheist Tahun 2008-2013 (Studi Kasus Keberadaan Komunitas Ateis pada Media Internet). Kedua, skripsi yang ditulis oleh Michaela Sandra (2019) yang berjudul Kajian Terhadap Agnostisisme dan Ateisme di Indonesia. Ketiga, tesis yang ditulis oleh Fajar Azis Ahdika (2017) berjudul Makna Hidup Pada Orang Ateis.

Sementara buku-buku mengenai keberadaan ateis di Indonesia, sejauh ini hanya ada novel Atheis (1949) yang ditulis oleh Achdiat K. Mihardja. Tidak ada sama sekali buku yang membahas, mendeskripsikan, mengobservasi, dan menganalisis bagaimana keberadaan dan perkembangan kelompok ateis di Indonesia. Patutnya kajian tentang ateis di Indonesia mendapat perhatian yang besar, mengingat maraknya ‘impor’ buku-buku ilmiah yang ditulis oleh Richard Dawkins, Sam Harris, dan Christopher Hitchens, yang sedikit banyak mampu mengubah pola pikir pembaca Indonesia, atau lebih ekstrimnya membuat pembaca tidak percaya akan keberadaan Tuhan. Pada titik ini, timbul pertanyaan penting, apakah para ateis menyembunyikan keberadaan mereka karena ketakutan tertentu atau hanya sekadar mencari jati diri?   

Judul Masyarakat Tanpa Tuhan sebenarnya saya ambil dari salah satu buku yang ditulis oleh Phil. Zuckerman, peneliti yang melihat bagaimana tanggapan masyarakat Swedia dan Denmark mengenai agama, keberadaan Tuhan, keberadaan akhirat, dan yang berkaitan dengan keimanan. Dalam bukunya, ia mengobrol santai dengan para narasumbernya. Obrolan yang terlihat begitu alami dan mengalir begitu saja, terlebih saat obrolan menyentuh topik pekerjaan, kehidupan rumah tangga, dan sepak bola. Sungguh terkesan begitu tenang, lancar, tanpa ada gangguan. Meski begitu, Zuckerman mengakui bahwa ia kesulitan ketika akan membahas agama dan keberadaan Tuhan dengan para narasumbernya. Jika sampai pada topik tersebut, maka para narasumbernya akan menjadi kaku.

Bagi masyarakat Swedia dan Denmark (khususnya mereka yang diwawancarai oleh Zuckerman) membicarakan tentang kenapa Maguire selalu melakukan blunder lebih mengasyikkan daripada berbicara tentang kehidupan yang akan kita hadapi setelah kematian, entah itu surga atau neraka. Sangat berbeda dengan masyarakat Indonesia yang selalu disuguhkan ceramah-ceramah agama, sinetron yang menceritakan tentang azab, dan lainnya, yang dipandang dapat meningkatkan kadar keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan.

Menjadi Ateis di Indonesia

Adalah hal yang tabu untuk menjadi ateis di Indonesia. Jangankan menjadi ateis, mengenal buku-buku yang berbau ateis saja, seperti buku karangan Richard Dawkins, yang berjudul God Delusion, akan menjadi hal yang sangat tabu. Dilansir dari Tirto.id, beberapa warga Jakarta yang diwawancarai tentang keberadaan ateis di Jakarta dan bagaimana mereka mau menjalin hubungan pertemanan, memberikan jawaban yang didominasi penolakan. Hanya segelintir saja yang menerima maupun tetap melanjutkan hubungan pertemanan dengan orang ateis.

Dalam tesis Fajar Azis (2017), orang-orang ateis di Indonesia berjumlah 1158. Saya juga tidak menemukan keterangan tahun perolehan data tersebut secara pasti, dan ada kemungkinan jumlahnya bertambah.

Menurut Zuckerman, ateis adalah bongkahan manusia yang dilupakan dan diabaikan. Bahkan bongkahan ini, dari data yang telah dikumpulkan di tiap negara, ditemukan jumlah sekitar 500-700 juta ateis, agnostik, maupun umat non-beriman di dunia saat ini. Sungguh bongkahan yang lumayan besar. Apa yang menyebabkan masyarakat Skandinavia, yaitu Denmark dan Swedia, mayoritas adalah non-beriman? Zuckerman mengambil teori Rodney Stark bahwa ketika di suatu negara hanya memiliki satu organisasi religius yang hegemonik yang disubsidi negara, dan tanpa adanya persaingan dengan organisasi religius lainnya, maka akan tumbuh kemalasan. Dengan kata lain, masyarakat akan merasa bosan dengan agama, menganggapnya basi, bahkan menjadikan agama sama sekali tidak menarik.

Lantas mengapa Indonesia, negara yang mengakui 6 agama resmi, dengan tingkat kreativitas para misionaris masing-masing agama, tetap saja ada ateis, yang perkembangannya bahkan tidak bisa dipungkiri? Apa yang salah? Kemiskinan? Kekecewaan terhadap politik? Atau intoleransi? Kiranya tulisan ini dapat memantik diskusi yang berkelanjutan, khususnya bagi akademisi yang berminat mengkaji ateis di Indonesia secara mendalam, dan tentunya yang bisa dibukukan. Bukan malah ‘menghabisi’ keberadaan ateis di Indonesia.

Fachri Syauqii

Pewarta weread.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *