Bongak

Slow Living: Hidup pada Kecepatan Sendiri

Perkembangan zaman menuntut manusia untuk lebih produktif dan kompetitif dalam segala aspek kehidupan. Keadaan tersebut seringkali membuat manusia terjebak dalam rutinitas yang melelahkan dan stress berkepanjangan. Psikolog bernama Dr. Stephanie Brown mengungkapkan bahwa masyarakat modern cenderung mengukur kesuksesan dengan kecepatan. Pengukuran tersebut justru memunculkan adiksi yang bisa menghantarkan mereka pada kelelahan fisik maupun mental berkepanjangan. Upaya melarikan diri dari tekanan dan tuntutan masyarakat memunculkan konsep slow living sebagai alternatif yang menarik.

Slow living, gerakan hidup yang lebih lambat mulai diperkenalkan pada tahun 1986 di Italia oleh Carlo Petrini. Kala itu, Petrini memprotes pembukaan gerai makanan sajian instan di Italia, atau yang lebih dikenal sebagai gerakan slow food. Seiring waktu gerakan ini berkembang dan menjadi subkultur di berbagai area hidup, sehingga memicu gerakan slow living yang lebih luas seperti yang kita kenal sekarang, Menurut Dinda Aprilia (2018) mengatakan bahwa slow living bukan berarti melakukan segala sesuatu dengan kecepatan seekor siput, melainkan melakukan sesuatu dengan kecepatan yang benar. Menikmati setiap jam dan menit daripada hanya menghitungnya. Melakukan segala hal sebaik mungkin untuk tingkatkan produktivitas kerja, bukan secepat mungkin.

Slow living dianggap sebagai gerakan yang bukan mengurangi atau mengabaikan tanggung jawab, melainkan mengajarkan manusia untuk lebih selektif dalam memilih apa yang benar-benar penting dalam hidup. Slow living membantu untuk memfokuskan energi dan waktu pada hal-hal yang memberikan kepuasan dan makna. Menghindari perasaan terburu-buru dan kesibukan yang berlebihan dapat memberikan ruang untuk menikmati setiap momen dan memprioritaskan apa yang benar-benar penting dalam kehidupan. Carl Honore (2005) menyebutkan bahwa slow living merupakan seni menikmati hidup dengan berani menggunakan dan menikmati waktu agar dapat melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin. 

Hidup di kecepatan sendiri digambarkan sebagai kehidupan yang tidak lagi memprioritaskan rutinitas dan kebiasaan, yang mengharuskan untuk terus berlari tanpa henti. Individu yang menerapkan slow living dalam kehidupannya menjadi lebih perhatian terhadap kebutuhannya sendiri dan menyediakan waktu untuk istirahat dan pemulihan. Individu yang mengutamakan kecepatan dalam kehidupan sering kali kehilangan kreativitas dan inspirasi. Pegiat slow living beranggapan bahwa gaya hidup seperti ini membantu mereka menghormati proses alami dari segala sesuatu yang dilakukan, dan memberikan ruang untuk refleksi dan eksplorasi. Melalui proses tersebut, diharapkan dapat memunculkan ide-ide baru dan gagasan yang segar. Selain itu, slow living juga terkait dengan cara pandang yang berbeda terhadap waktu. Daripada melihat waktu sebagai musuh yang harus dikalahkan, pada slow living waktu dianggap sebagai sekutu yang membantu dalam upaya menghargai setiap momen.

Konsep slow living telah menyebar ke seluruh dunia, salah satunya adalah di Jepang. Faktor yang mendorong konsep slow living mulai dilirik di Jepang adalah karena budaya kerja yang intensif. Jepang terkenal dengan kebiasaan lembur yang berlebihan dan tekanan yang tinggi di tempat kerja. Banyak pekerja merasa tertekan oleh tuntutan jam kerja yang panjang sehingga kualitas hidup yang terabaikan. Slow living digadang-gadang menawarkan alternatif untuk mencapai keseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional, dengan memperlambat ritme hidup dan mengurangi stres. Selain itu, konsep slow living juga sejalan dengan nilai-nilai budaya tradisional Jepang yang mementingkan kesadaran dan ketenangan, seperti ikebana (seni merangkai bunga) dan upacara minum teh (sadō) yang mengajarkan tentang keindahan dalam kesederhanaan dan kehadiran sepenuh hati. Aspek ekologi juga memainkan peran penting dalam fenomena slow living di Jepang. Di tengah kekhawatiran terhadap perubahan iklim dan isu lingkungan, semakin banyak orang yang mencari cara untuk hidup secara lebih berkelanjutan. Slow living mendorong konsumsi yang bijaksana, penggunaan barang-barang berkualitas yang tahan lama, dan pengurangan limbah.

Di Indonesia, slow living juga lebih mengarah kepada kesadaran akan pentingnya keseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional. Masyarakat sering kali terjebak dalam budaya kerja yang mengorbankan waktu untuk diri sendiri, keluarga, atau hubungan sosial. Dengan mengadopsi slow living, masyarakat berusaha menciptakan batasan yang sehat antara pekerjaan dan waktu luang, mengoptimalkan produktivitas, dan meningkatkan kualitas hidup. Selain itu, perkembangan teknologi dan media sosial juga telah mempengaruhi cara generasi muda Indonesia melihat slow living. Teknologi memungkinkan masyarakat, khususnya generasi muda, untuk terhubung dengan informasi, inspirasi, dan komunitas slow living di seluruh dunia. Mereka dapat mengakses sumber daya online, mengikuti blog, atau mengikuti akun media sosial yang mempromosikan nilai-nilai slow living.

Namun, seperti halnya setiap tren atau gaya hidup, ada juga perbedaan pandangan di kalangan generasi muda Indonesia terkait dengan slow living. Ada yang merasa bahwa slow living terlalu santai dan tidak sesuai dengan ambisi mereka dalam mencapai kesuksesan karier, dan mungkin lebih memilih mengadopsi pendekatan yang lebih cepat dan intens dalam menjalani kehidupan mereka. Hal ini memperlihatkan bahwa tidak semua masyarakat Indonesia dapat menerima slow living, karena tergantung pada pemikiran dan capaian hidup dari masing-masing individu.

Fakhria Nesa

Dosen Program Studi Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *