Bongak

Kaum Sofis: Asal Muasal Retorika dan Skeptisisme

Sebelum pecinta kebijaksanaan sejati, Socrates, membawa perubahan besar di Athena dan menandai kemajuan peradaban filsafat Yunani, sungguh telah populer terlebih dahulu kaum Sofis, yaitu kaum jemawa dan motivator cuan yang cenderung mengklaim diri paling bijaksana dan paling ahli dalam memutar lidah serta menolak adanya realitas.

Kepandaian mereka tidak jauh berbeda dengan Anaxagoras, filsuf yang masyhur di Athena. Kaum Sofis berkeliling Athena untuk menjual keahlian retorika mereka dengan menerima imbalan uang. Mereka memberikan banyak keterampilan dan bertindak sebagai konsultan dalam berbagai topik pengetahuan (Kenny, 2019).

Karena tidak ada sistem pendidikan tinggi umum di Athena saat itu, maka tugas kaum Sofis adalah mengajar para pemuda yang mampu membayar layanan mereka dalam seni dan informasi yang diperlukan dalam kehidupan.

Kaum Sofis jika diterjemahkan hari ini mirip dengan kelas public speaking di kota-kota besar. Jika ingin pintar public speaking, harus merogoh kocek dulu. Tentu, biayanya hari ini lebih mahal dibandingkan kaum Sofis yang sekadar mencari imbalan uang dari keahliannya untuk hidup.

Keterampilan retorika tentu sangat penting saat itu karena populer digunakan dalam perdebatan di majelis dan di pengadilan sehingga keahlian kaum Sofis ini sangat diminati untuk menyajikan dan menyelesaikan kasus secara maksimal. Keahlian kaum Sofis saat itu sama bergengsinya dengan keahlian pengacara bayaran hari ini.

Di titik inilah kaum Sofis dianggap filsuf palsu karena mereka tidak hanya menerima imbalan uang tetapi juga lebih mendahulukan kemenangan dalam perdebatan dan penyelesaian kasus daripada memperjuangkan dan menemukan kebenaran. Walaupun, pasti ada salah satu di antara kaum Sofis yang benar-benar tulus dan pandai berargumen filosofis.

Salah satu tokoh kaum Sofis yang terkenal saat itu adalah Protagoras dari Abdera. Ia beberapa kali mengunjungi Athena pada pertengahan abad kelima dan dipekerjakan oleh Pericles untuk menyusun konstitusi bagi koloni Athena.

Informasi tentang Protagoras berasal dari tulisan-tulisan Plato yang tidak setuju dengan pandangan kaum Sofis. Plato menganggap kaum Sofis memberikan pengaruh buruk kepada para pemuda karena mengajarkan orientasi cuan, mendorong sikap skeptis, relatif, dan sinis. Namun, Plato tetap mengapresiasi Protagoras dan berusaha memberikan jawaban terhadap argumennya.

Protagoras adalah seorang agnostik dalam beragama. Ia tidak yakin dengan keberadaan para dewa. Menurut Protagoras, terlalu banyak hal yang menghalangi pengetahuan manusia tentang mereka, baik ketidakjelasan subjek maupun singkatnya kehidupan manusia. Intinya, dewa tidak dapat diketahui dan dipahami oleh manusia.

Namun, Protagoras sebenarnya cenderung terlihat sebagai seorang humanis daripada teis. Ia mengatakan bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu. Ukuran tentang hal-hal yang ada bahwa mereka ada, maupun tentang hal-hal yang tidak ada bahwa mereka tidak ada. Hal inilah yang mempengaruhi cara pandang ketuhanan Protagoras.

Manusia adalah ukuran segala sesuatu juga bisa berarti ketika pandangan, persepsi, dan pemikiran setiap orang cenderung terlihat subjektif, maka kebenaran juga bersifat subjektif. Tidak ada yang benar secara mutlak, tetapi hanya benar secara relatif bagi setiap individu. Ketika orang berbeda dalam keyakinan, tidak ada cara di mana salah satunya benar dan yang lain salah.

Demokritus dan Plato mengeritik doktrin Protagoras bahwa jika semua keyakinan itu benar maka di antara keyakinan yang benar adalah keyakinan bahwa tidak semua keyakinan itu benar.

Tokoh kaum Sofis lainnya adalah Gorgias dari Leontini. Ia adalah murid Empedokles. Ia pertama-tama seorang guru retorika yang esainya tentang penyempurnaan gaya mempengaruhi sejarah pidato Yunani. Gorgias adalah filsuf yang lebih skeptis daripada Protagoras. Ia memiliki asumsi filosofis yang naif.

Gorgias berkata bahwa tidak ada realitas dan kebenaran yang mutlak. Jika ada realitas dan kebenaran mutlak, maka mereka tidak dapat diketahui. Bahkan, jika mereka dapat diketahui, mereka tidak dapat dikomunikasikan oleh satu orang kepada orang lain. Dengan kata lain, tidak ada satu pun pengetahuan dan realitas yang objektif. Semuanya absurd dan tak dapat dijelaskan. Inilah skeptisisme awal yang menutup era pra-Socrates.

Ketika Gorgias mengunjungi Athena pada tahun 427, perang telah pecah antara Athena dan Sparta yang dikenal sebagai Perang Peloponnesus. Tak lama setelah pecah perang, Pericles akhirnya meninggal dan kampanye demi kampanye berakhir buruk bagi Athena.

Kekalahan dan wabah penyakit juga membuat penduduk Athena menjadi demikian kejam dan tidak lagi memegang prinsip etika dalam berperang. Mereka merebut semua klaim atas keagungan moral pada tahun 416 ketika mereka menduduki pulau Melos, membantai semua pria dewasa dan mengubur perempuan dan anak-anak tanpa belas kasihan.

Euripides dan Aristophanes menyuarakan protes tegas terhadap perilaku Athena selama perang. Perang pun berakhir dengan kekalahan telak di Aegospotami pada tahun 405 SM. Kekaisaran Athena pun berakhir, dan kepemimpinan Yunani beralih ke Sparta.

Namun, masa keemasan filsafat Athena belum berakhir. Tentu saja, Athena masih menunggu kedatangan filsuf sejati yaitu Socrates, Plato, dan Aristoteles. Masa keemasan filsafat pasca kaum Sofis baru saja akan bersemi dan kelak menginspirasi sepanjang sejarah manusia dari era kuno Athena hingga era kontemporer digital hari ini.

Muhammad Thaufan Arifuddin

Pengamat Media, Politik dan Demokrasi. Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *