Saya kira yang menjadi perhatian dalam Djataju, cerpen karya Nh. Dini, ada pada Jatayu, tokoh wayang dari wiracarita Ramayana, putra Arjuna dan keponakan Garuda. Jatayu, seekor burung yang berupaya menyelamatkan Dewi Sita yang diculik Rawana, namun gagal. Selain pada Jatayu, perhatian juga ada pada tokoh Prita, anak seorang dhalang wayang yang terobsesi bisa terbang sebagaimana Jatayu dalam jagad pewayangan. Kedua tokoh dan narasinya ini, Jatayu dan Prita, oleh Nh. Dini lantas ditautkan, disandingkan dalam lanskap peristiwa fiksi yang dituturkan secara bersamaan, Djataju. Djataju dimuat dalam kumpulan cerpen Nh. Dini yang berjudul, Dua Dunia (2002).

Pada cerpen Djataju, saya menangkap ada gugatan Nh. Dini atas nasib perempuan Jawa yang ia ketahui. Perempuan Jawa yang menanggung hidup di bawah ketiak laki-laki. Diperlihatkan melalui tokoh Prita, anak perempuan yang hidup dalam bias kultur patriarkis masyarakat Jawa. Anak perempuan, jenis kelamin sebagaimana yang diharapkan ayah Prita, yang terkabul berkat kebaikan dewa-dewa dalam cerita wayang. Diharapkan sang ayah, tapi tidak oleh masyarakatnya. Jika perempuan Jawa tampil dalam ‘keagungan’, maka sungguh tidak layak. Nh. Dini menggambarkan hal ini melalui, dua di antaranya, pesakitan Prita dan cita-cita yang gagal. Saat Prita berumur 16 tahun, Prita sakit keras. Ia menderita malaria tropika. Penyakit ini lantas mengganggu kerja otak dan syaraf Prita. Prita dianggap sebagai anak yang ‘tidak lagi dihuni jiwa yang sempurna’. Oleh keadaan ini, desas-desus pun beredar. Orang-orang mengganggap bahwa dewa-dewa wayang telah marah kepada Prita, sebab telah memakai nama yang begitu agung. Prita ‘tampil’ dalam nama yang diambil dari nama Ibu Pandawa dalam cerita wayang. Harapannya, penamaan ini akan menjadikan Prita sebagai manusia yang baik sebagaimana Prita, Ibu Pandawa. Namun sayang, nama ini justru membawa Prita pada derita sakit. Prita dipandang tidak pantas menyandang nama agung, hingga ia pun pantas sakit-sakitan.
Sementara dalam hal cita-cita, Prita bermimpi menjadi seorang penerbang. Mimpi, yang ‘dikritisi’ oleh Nh. Dini kelewat tinggi, karena jenis kelamin Prita adalah perempuan, dan ia berdarah Jawa. Prita tidak pantas bercita-cita setinggi itu. Oleh penyakit yang dideritanya, Prita tak boleh terus sekolah, eufemisme dari drop out. Cita-citanya pun pupus. Meski kegagalan Prita di sekolah tidak eksplisit disebutkan karena jenis kelaminnya, tetapi lebih karena penyakitnya. Tetap saja penyakit ini disebabkan, secara paralel, karena perempuan yang dipandang tidak layak memakai nama yang agung.
Melalui kondisi Prita, Nh. Dini seolah memperlihatkan begitu tragisnya nasib perempuan Jawa. Semakin tragis, saat kemiskinan turut serta menerpa. Prita merepresentasikan perempuan Jawa yang miskin. Ayah Prita, sang dhalang, akan menjual seperangkat wayang miliknya, termasuk Jatayu, kepada orang lain guna membiayai sekolah anak sulungnya yang meninggal beberapa waktu lalu. Prita dengan tegas menolak hal ini. Kemiskinan tidak boleh menjadi alasan Jatayu dijual. Prita marah. Kemarahan Prita membuat ayahnya mengalah. Ayahnya pun tidak tega dan menyisakan satu-satunya koleksi wayang, yakni Jatayu untuk Prita. Sementara koleksi yang lain, mau tidak mau terpaksa dijual. Jatayu kemudian dipajang oleh Prita di kamarnya.
Yang lebih tragis selain kemiskinan adalah saat angan perempuan Jawa pupus karena kematian. Penggambaran terlihat saat Prita mendapat kesempatan mengendarai skuter yang ia lihat di depan rumahnya, sementara ia telah lama membayangkan mengendarainya. Saat itulah, obsesi Prita akan Jatayu yang bisa terbang di angkasa, hadir. Mengendarai skuter memberikan sensasi bagi Prita seolah ia sedang terbang persis seperti Jatayu. Obsesi ini pula yang mendorong Prita untuk mengambil diam-diam skuter milik kawan ayahnya yang datang berkunjung. Skuter itu dikendarai Prita sesuka hatinya saat hujan gerimis. Prita melepas kedua tangannya dari pegangan kemudi skuter. Akibatnya, Prita tergelincir, kecelakaan, hingga akhirnya diceritakan meninggal. Prita meninggal saat ia menikmati khayalan terbang serupa Jatayu. Di sini, Nh. Dini seakan mengabarkan posisi perempuan Jawa yang malang, yang hanya boleh berkhayal saat berupaya menggantungkan cita-cita yang tinggi.
Khayalan yang seakan merujuk pada fakta hidup Nh. Dini. Nh. Dini sempat bekerja sebagai pramugari di Garuda Indonesia Airways (GIA) pada tahun 1956, tahun yang tak jauh dari tahun kepenulisan cerpen Djataju, 1953. Saat itu Nh. Dini baru berusia 17 tahun. Nh. Dini juga pernah ingin menjadi masinis tapi gagal, sebab tak adanya sekolah masinis waktu itu. Dan yang lebih penting dari itu adalah, Djataju seolah mendapat rujukan pada Nh. Dini, seorang perempuan Jawa yang feminis.