Bongak

Catatan Perjalanan: Malang, dari Singasari Hingga Freemasonry

Tepat pada 10 Juli 2023, Belanda mengembalikan benda-benda bersejarah milik Indonesia, di antaranya adalah empat arca peninggalan Singasari, yaitu arca Durga, Mahakala, Nandishvara, dan Ganesha. Melansir dari Kompas (2023), keempat arca tersebut merupakan bagian dari 472 artefak berharga dari hasil proses pemulangan kembali atau repatriasi benda sejarah dan budaya dari Belanda ke Indonesia. Pengembalian benda bersejarah tersebut bertujuan untuk meningkatkan semangat nasionalisme dan menambah khazanah ilmu pengetahuan yang mana sejajar dengan semangat Merdeka Belajar dan Merdeka Berbudaya, setidaknya begitu yang diutarakan oleh Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Apa itu Repatriasi? Menurut Rahadian Rundjan (2021), repatriasi merupakan upaya pengembalian benda-benda kuno atau berharga dari suatu bangsa yang diambil oleh bangsa lain dengan beragam motif. Namun, pihak kolonial beranggapan bahwa peradaban merekalah yang lebih tinggi dan unggul yang lantas merasa berhak untuk menjarah dan meneliti peradaban lain. Indonesia sendiri telah mengupayakan repatriasi sejak tahun 1950-an, yang mana pada tahun 2020 lalu sudah ada 1.500 benda bersejarah yang dikembalikan dari Museum Prinsenhof di Delft, Belanda, ke Indonesia. Suatu tuntutan besar bagi Republik ini untuk mengambilnya kembali karena dianggap sebagai bagian dari harta kekayaan dan inspirasi bagi identitas nasionalisme serta jejak intelektualisme.

Sebenarnya masih banyak lagi benda-benda bersejarah lainnya dari masa Hindu-Buddha yang masih berada di museum Belanda, Jerman, Belgia, dan Inggris. Mengapa peninggalan masa Hindu-Buddha banyak diambil? Masih menurut Rundjan, ketika Eropa mendatangi Nusantara sekitar abad ke-16, mereka melihat belum lamanya transformasi gaya hidup dan kepercayaan dari masyarakat yang sebelumnya Hindu-Buddha berubah menjadi Islam. Tentu dalam ajaran Islam segala bentuk pemujaan benda mati termasuk syirik, sehingga hal tersebut menjadi kesempatan bagi Eropa untuk mengambil benda-benda pusaka dengan berbagai tujuan, ada yang untuk diteliti, memperkuat legitimasi kekuasaan, bahkan pencurian.

Anggapan segelintir muslim mengenai arca seperti ada jin di dalamnya, masih menunjukkan minimnya literasi. Bahkan menurut Kepala Museum Singhasari, Yossi Indra, ditemukan salah satu arca asli peninggalan Singasari yang berada di kandang lembu milik warga. Kondisi arca tersebut cukup memprihatinkan dengan gompal pada bagian kepala. Saat ini arca tersebut menjadi koleksi berharga yang bisa dibanggakan dari Museum Singasari.

Situs Bersejarah di Kota Malang

Salah satu situs sejarah yang saya kunjungi di Malang adalah Candi Singasari yang berada di Jalan Kertanegara di Desa Candi Renggo, Kecamatan Singasari, Kabupaten Malang. Pada tahun 1351 M, ditemukan prasasti Gajah Mada yang menunjukkan perkiraan pembangunan Candi Singasari yang memiliki corak Hindu-Buddha, yakni sekitar abad 14 M. Candi Singasari didedikasikan kepada Raja Kertanegara untuk menghormati kematiannya sekaligus statusnya sebagai raja terakhir Singasari.

Dinas Purbakala Hindia memugar Candi Singasari pada tahun 1934-1937. Candi ini memiliki arsitektur yang cukup unik, dengan bangunan yang bergaya menara dan tersusun atas batuan andesit. Pada kaki candi memiliki relung yang berfungsi sebagai penempatan arca keluarga Siwa, sementara tubuh dan atap candi merupakan bagian yang kosong. Candi ini dianggap belum selesai pembangunannya, diindikasikan pada bagian atas bangunan yang telah dipahat motif hias, sedangkan bagian bawah masih berupa komponen dasar tanpa motif hias. Nicolaus Engelhardt adalah orang pertama yang melaporkan penemuan candi tersebut pada tahun 1803. Kemudian pada tahun 1804, arca-arca di sekitar candi tersebut dibawa ke Museum Leiden (Safitri dan Sulistyorini, 2023).

Menurut Eni dan Tsabit, candi yang berada di Jawa Timur menggunakan batu andesit sebagai bahan bangunan. Batu andesit tersebut ditambang, kemudian bongkahan batu dibentuk balok dengan permukaan segi empat lalu dipahat dan disusun menjadi candi. Pada umumnya keberadaan candi di Jawa Timur memiliki atap dengan banyak tingkatan dan membentuk kurva limas, dan jika dilihat ukurannya semakin ke atas semakin kecil serta terdapat mahkota seperti kubus di ujung atap (Wulandari dan Budiarto, 2020).

Konsep Pengenalan Sejarah Lokal Pada Museum Singhasari

Ketika saya berkunjung ke Museum Singhasari, terdapat riwayat Ken Arok (atau nama lainnya adalah Ken Angrok) yang menjadi ketertarikan tersendiri bagi para sejarawan untuk mengetahui lika-liku kehidupannya, karena ia merupakan tokoh yang fenomenal. Penulisan mengenai tokoh ini dijelaskan begitu baik dan rinci dalam Kitab Pararaton yang menjadi sumber primer.

Awal kehidupan Ken Arok cukup buruk. Dalam Kitab Pararaton dijelaskan bahwa ia merupakan anak dari Ken Endong dan Sri Maharaja Girindra, penguasa Jenggala. Namun, ayahnya yang merupakan penguasa Jenggala takluk dari Senapati Tunggul Ametung. Semenjak kecil Ken Arok telah ditinggal oleh ayahnya dan hidup sebagai rakyat biasa. Ia pun memilih untuk meninggalkan ibunya dan mencari keberadaan ayahnya. Kemudian, Ken Arok pun diangkat sebagai anak oleh Lembong yang merupakan seorang pencuri. Hal tersebut membuat Ken Arok tumbuh menjadi seorang pencuri. Namun tidak selamanya ia menjadi seorang pencuri, karena suatu waktu ia bertemu dengan seorang Brahma bernama Lohgawe. Lohgawe menganggap bahwa Ken Arok merupakan titisan dari Dewa Wisnu (Susilo dan Sarkowi, 2021).

Kitab Pararaton juga menjelaskan bahwa Lohgawe membimbing Ken Arok menjadi seorang Raja Jawadwipa. Ken Arok pun mengabdi kepada Bupati Tumapel yaitu Tunggul Ametung, yang sangat disambut dengan baik. Namun, karena Ken Arok haus kekuasaan, ia pun merancang rencana untuk menumbangkan kekuasaan Tunggul Ametung dengan memesan keris sakti dari Mpu Gandring. Konon keris tersebut ia lihat melalui mimpinya. Akan tetapi, karena Ken Arok tidak sabar, karena keris tersebut harus benar-benar diasah agar sakti mandraguna, ia pun akhirnya mengambil paksa keris tersebut dari tangan Mpu Gandring dan membunuhnya. Sebelum mati, Mpu Gandring bersumpah bahwa ketujuh turunan Ken Arok akan mati di tangan keris tersebut. Namun, Ken Arok tidak menghiraukannya dan pergi untuk mengambil kekuasaan Tunggul Ametung dan berhasil. Bahkan di akhir riwayatnya, Ken Arok memperistri Ken Dedes yang sebelumnya merupakan istri dari Tunggul Ametung. Cerita ini bisa pengunjung lihat lewat miniatur sebagai strategi belajar sejarah agar lebih menarik dan menyenangkan (Salindri, 2019).  

Selain itu, terdapat karikatur yang menggambarkan kisah perjalanan dan silsilah dari Panji Margasmara. Kisah Panji Margasmara sangat terkenal bahkan sering dipertunjukkan dalam pementasan wayang di Malang. Tokoh sentralnya adalah Ken Candrasari dan Panji Margasmara yang merupakan keturunan dari Arya Gagelang. Pengisahannya dimulai dari masa akhir Majapahit ketika raja yang berkuasa adalah Rajasawardha Dyah Wijayakumara. Ken Candrasari merupakan putri dari Arya Singhasari yang menjadi kekasih Panji Margasmara. Menurut penuturan Yossi Indra, karikatur yang menceritakan tentang panji Margasmara diambil dari beberapa sumber, seperti naskah, kesusasteraan, maupun relief-relief candi (Andalas dan Iswatiningsih, 2020).

Arca-arca peninggalan Singasari juga diperlihatkan dan dijelaskan bahwa terdapat perbedaan yang mencolok. Seperti arca Ganesha yang wujud aslinya adalah seekor gajah dengan kaki yang lumpuh, tapi berbeda dengan Kerajaan Singasari yang membuat arca Ganesha bisa berdiri dengan kedua kakinya. Lalu, ada kumpulan senjata seperti keris, tombak, dan sebagainya. Replika pemujaan Hindu-Buddha pada masa Kerajaan Singasari menjadi memori kolektif bagi kita, khususnya para sejarawan yang tertarik untuk mengkajinya atau pun hanya sekadar mengetahuinya saja.

Kehadiran Freemasonry di Malang

Sebelum berkunjung ke UIN Maulana Malik Ibrahim, saya menyempatkan diri untuk berkunjung ke sebuah pemakaman umum yang dari beberapa cerita menyebut sebagai tempat dikuburkannya para pengikut Freemasonry (Tarekat Mason Bebas). Batu nisan para pengikut Freemasonry memiliki gambar jangka dan mistar sebagai pembeda dengan kuburan lainnya. Namun, entah mengapa sulit sekali mencarinya karena area pemakaman yang cukup luas. Arek Malang menyebut tempat pemakaman tersebut Bong Londo Soekoen.

Apa itu Freemasonry? Jika kita pernah mendengar nama Voltaire, Mozart, Benjamin Franklin, Deandels, atau Raden Saleh, maka mereka ini adalah pengikut Freemasonry. Sebagian ahli menganggap bahwa Freemasonry berhubungan dengan teosofi yang merupakan sebuah aliran kebatinan. Dalam Bahasa Belanda kata Freemasonry disebut Vrimetsalarij. Kedatangan Freemasonry di Indonesia bersamaan dengan hadirnya VOC di Nusantara. Salah satu loji Freemasonry pada masa pemerintahan Hindia-Belanda bernama La Choisie (1762) yang dipimpin oleh Jacob Cornelis Mattheus Radermacher.

Sulit untuk melacak kegiatan yang dilakukan oleh para pengikut Freemasonry, dikarenakan bersifat sangat rahasia. Namun, mereka memiliki beberapa lembaga yang bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan budaya. Pada bidang pendidikan, Freemasonry mendirikan sekolah khusus bagi orang Eropa. Tapi, beberapa loji-loji kecil yang berada di Yogyakarta, Malang, dan Padang, tetap menerima siswa keturunan pribumi. Pada 1930-an, pemerintah Hindia-Belanda membuat salah satu tempat pertemuan bagi para anggota Freemasonry, yaitu di hotel Shalimar yang berada di Malang.

Saat ini hotel Shalimar merupakan hotel bintang lima dan masih beroperasi dengan baik. Dari cerita orang-orang sekitar di hotel ini masih terdapat ruangan rahasia yang menjadi tempat perkumpulan bagi para anggota Freemasonry. Terlepas dari banyaknya konspirasi dan anggapan yang nyeleneh tentang Freemasonry, sebagai seorang sejarawan, menjaga situs-situs bersejarah adalah suatu keharusan, baik rekam jejak bagi individu maupun suatu bangsa.

Fachri Syauqii

Pewarta weread.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *