Umur saya terbilang pendek di Kalanari Theatre Movement. Sekitar dua tahun saja saya belajar di sana, dan kini ia sudah berumur 10 tahun. Dari para penjaga gawang—Ibed, Andika, Dina—dan kawan-kawan lain yang diperkenankan datang dan pergi, saya belajar banyak hal. Saya belajar tidak hanya persoalan keaktoran atau teater secara umum, tapi juga tentang memanusiakan manusia. Saya kira pelajaran yang kedua ini perlu dan penting, tanpa menampik yang pertama. Sekalipun mungkin, maksim memanusiakan manusia terdengar klise dan retorik bagi sebagian orang.
Bagaimanapun kerja teater (seni) adalah kerja kebudayaan, dan (seni) kebudayaan adalah humaniora. St. Sunardi menyebut di beberapa artikelnya bahwa pada mulanya segala pengetahuan tentang kemanusiaan atau humaniora (humanisme) diajarkan kepada mereka agar lebih manusiawi (humanior) dan tentunya agar mereka dapat memanusiakan manusia lainnya (to humanior, humanisasi). Humaniora dahulu kala diajarkan sebagai studium general, baik pengajaran yang dilakukan oleh orang-orang Yunani, orang-orang Romawi, para scholastici, maupun umanisti di Italia. Melalui studia humaniora atau studia humanitatis, mereka belajar mengolah virtú (keutamaan manusiawi: budaya), bukan veritas (kebenaran). Seorang belajar teater, misalnya, agar menjadi lebih manusiawi lewat teater. Atau dengan kata lain, orang belajar teater karena kepentingan humaniora. Tapi sejak revolusi ilmu pengetahuan pada abad ke-18 dan abad ke-19 di Eropa, dan seiring lahirnya universitas modern, humaniora lantas didisiplinasi menjadi ilmu-ilmu humaniora. Visi to humanior di awal tadi pun berangsur-angur pudar seiring mati surinya studium general. Kini, seorang belajar teater tidak lagi mengutamakan diri untuk menjadi lebih manusiawi, tapi menjadi terbatas karena ingin terampil dan ahli di bidang teater. Kiranya, begitu.
Dalam pengalaman saya di Kalanari, secara tidak berlebihan, saya masih mendapati visi to humanior dalam kerja-kerja teater di sana. Seolah Kalanari sedang berbalik jauh ke masa-masa (gaya) pengajaran humaniora, padahal Kalanari jelas berada di masa kecanggihan pengkotak-kotakan keilmuan (lha wong, Ibed Surgana Yuga, orang nomor satu di Kalanari, adalah produk dari Minat Utama Penyutradaraan, Jurusan Teater, Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Yogyakarta). Di Kalanari, yang lebih utama dan lebih dipentingkan adalah manusia yang terlibat dalam setiap pergerakan (movement). Kalanari menyebut setiap aktifitasnya sebagai pergerakan, dan produk dari pergerakan di sini bisa apa saja: pertunjukan, lokakarya, diskusi, penelitian, dan lain-lain. Jika produknya adalah pertunjukan, maka yang dipentingkan adalah aktor, bukan malah pertunjukan di hari pergelarannya. Atau jika produknya adalah diskusi atau lokakarya, maka notula dan bendel laporan lokakarya atau apa pun bentuk catatannya, masih kalah penting daripada manusia-manusia yang terlibat di diskusi atau lokakarya itu tadi. Mementingkan manusia di Kalanari, saya kira ditekankan pada proses bukan pada produk.
Saya mulai terlibat sebagai aktor di Kalanari saat produksi Panji Amabar Pasir, pada akhir 2013, yang dipentaskan di bangunan yang belum sepenuhnya jadi, Omahkebon Guest House di Nitiprayan, Yogyakarta. Kalanari dikenal konsisten menggelar pertunjukannya di ruang dan tempat yang memang tidak dimaksudkan sebagai panggung pertunjukan. Kalanari lebih memilih pendapa, penginapan, balkon (roof top), gedung bekas bioskop, ketimbang concert hall atau gedung-gedung teater dengan kecanggihan teknologi panggungnya. Pilihan semacam ini jamak dikenal sebagai site-specific theatre. Dan waktu itu, Omahkebon dipilih sebagai site-specific Panji Amabar Pasir.

Umumnya, sebuah pertunjukan teater akan berpatokan pada teks dasar yang akan dikembangkan menjadi sebuah tontonan. Teks dasar dari pertunjukan Panji Amabar Pasir, tentunya kisah Panji dan diasporanya. Sebagai teks dasar, semestinya teks inilah yang diutamakan oleh sutradara, dan sepatutnya menjadi dominan di pertunjukan. Namun, Ibed malah terkesan ‘mengesampingkan’ teks dasar ini. Ibed, dalam opini saya, malah sibuk dengan teks-teks lain yang diungkap oleh para aktornya dari kesejarahan hidup masing-masing.
Aktor memang mempunyai andil besar dalam suatu pertunjukan. Toh ujung-ujungnya aktor juga yang akan mengartikulasikan teks suatu pertunjukan (sekaligus tafsir dan gagasan sutradara). Bahkan ada konsepsi lama yang menyebutkan bahwa teater adalah hasil dari pertemuan antara aktor, cerita (teks), dan tempat (theater)—lalu ada juga yang menambahkan penonton sebagai unsur yang tak kalah penting. Tapi di Kalanari, aktor bukan artikulator semata. Sebagai artikulator, aktor akan jatuh sebagai perangkat pertunjukan. Sebagai perangkat pertunjukan, aktor akan dibebani oleh proyeksi-proyeksi ke depan tentang artistik pementasan. Bagiamana memainkan peran sebagus mungkin seturut pengetahuan teater terkini atau bahkan selera penonton. Di Kalanari, aktor dimaknai tidak berhenti sebagai perangkat pertunjukan semata melainkan pula dimaknai sebagai manusia dengan kesejarahan hidupnya. Dengan memperhatikan kesejarahan itu, aktor akan diajak untuk menengok diri sekarang dan ke belakang, agar tumbuh kesadaran tentang identitasnya. Hemat kata, aktor di sini, di Panji Amabar Pasir, bukan semata entitas manusia tapi juga nilai kemanusiaannya (identitas). Bukan semata manusia dengan keterampilan atau keahliannya dalam melakonkan teks-teks pertunjukan melainkan pula manusia yang mengandung, menyadari, dan mengekspresikan (to express) teks-teks yang menyejarah dalam hidupnya.
Kalanari, melalui Ibed, begitu besar perhatiannya kepada aktor dengan teks-teks yang dimilikinya (termasuk dengan teks yang lahir dari tafsir aktor terhadap arsitektur bangunan tempat pertunjukan dipentaskan). Sekalipun teks-teks yang diungkap aktor tidaklah relevan dan tidak diperlukan bagi pengembangan teks dasar pertunjukan, Ibed tetap menerima itu semua dengan penghargaan yang tinggi.
Dalam pertunjukan Panji Amabar Pasir, ada kisah transmigrasi keluarga Pak Jumadi dari Tanah Jawa ke Kalimantan. Perpindahan ini didasari oleh harapan terbebas dari kemiskinan. Dengan tegas, Ibed mengatakan bahwa perpindahan ini sejajar dengan intrinsik kisah pengembaraan Panji sekaligus sejajar sebagai resepsi kisah Panji oleh beragam kebudayaan di banyak tempat yang menerimanya. Kalau saya tidak salah ingat, teks Pak Jumadi ini muncul dari improvisasi Andika Ananda, yang juga aktor di Panji Ambar Pasir. Saya tidak tahu persis latar belakang atau motivasi kehadiran teks ini, tapi yang saya tahu pasti, semua aktor yang terlibat di Panji Amabar Pasir adalah aktor yang dalam sejarah hidupnya pernah dan sedang mengalami migrasi; baik itu bermigrasi tempat maupun bermigrasi secara sosial-kultural. Sejarah hidup aktor disusun tidak hanya di satu tempat tertentu melainkan di banyak tempat dan bersinggungan dengan banyak orang dan kebudayaannya. Identitas diri aktor di sini dibangun oleh perpidahannya dari tempat kelahirannya ke tempat-tempat yang lain. Konsekuensi logis dari perpindahan ini juga akan membawa diri aktor untuk bertemu pada ruang sosial dan kultural yang berbeda dari tempat asalnya. Aktor akan terus bermigrasi, berkelindan, menjadi cair, dan dinamis. Sulit didefinisikan identitas aktor yang tunggal dan final. Dan kesadaran inilah yang tumbuh dalam proses penggarapan Panji Amabar Pasir yang kemudian terungkap melalui improvisasi, sebagai salah satu metode keaktoran yang diminati Kalanari.
Dengan sadar, Ibed yang punya otoritas lebih di pertunjukan ini memilih memberi lebih banyak ruang kepada teks Pak Jumadi untuk lebih berkembang. Aktor diberikan keleluasaan bereksplorasi terhadap teks-teks dari dirinya. Aktor menjadi lebih ‘terbebaskan’ dari patokan-patokan (standar) pertunjukan, termasuk yang berkaitan dengan teks Panji. Teks Panji kemudian ‘dikesampingkan’, dan atas ‘pengesampingan’ ini, beberapa penonton Panji Amabar Pasir dalam ulasannya menyebut kisah Panji hanya tempelan belaka di pertunjukan ini. Sekadar topeng pertunjukan, katanya. Dengan kata lain, teks Panji menjadi samar dalam pertunjukan Panji Amabar Pasir; kadang terlihat dan lebih sering tertutup oleh teks-teks yang menyejarah dalam diri para aktornya. Pilihan ini juga bisa saja dinilai sebagai kelemahan dalam praktik penyutradaraan dan keaktoran di Kalanari. Tapi di sisi lain, dengan lebih mementingkan aktor dan teks-teks hidupnya yang menyejarah dan dengan pertumbuhan identitasnya, Kalanari justru telah mempraktikkan visi to humanior—seperti yang dimaksud di awal tadi—dalam penggarapan Panji Amabar Pasir. Kalanari mengajak aktornya untuk mengalami nilai kemanusiaannya (sejarah diri) lewat teater. Kalanari mengugah aktornya untuk merealisasikan dirinya melalui latihan-latihan teater yang ia selenggarakan.

Persoalan lebih mementingkan aktor semacam ini kemudian semakin ketara saat saya terlibat dalam produksi berikutnya pada tahun 2015: Kapai-Kapai (atawa Gayuh). Pertunjukan ini digarap ulang setelah sebelumnya dipentaskan pada tahun 2013 di Solo dan Yogyakarta. Kita tahu, hanya ada satu tokoh Iyem di Kapai-Kapai yang ditulis oleh Arifin C. Noer. Tapi oleh Ibed, tokoh Iyem yang satu itu dibiakkan menjadi dua dan diperankan oleh dua aktor. Iyem diperankan oleh Dayu Prismawati dan juga oleh Vivin L. Prinka. Di awal-awal penggarapan, hanya Dayu yang memainkan Iyem. Tapi seiring waktu, datanglah Vivin di akhir-akhir penggarapan. Vivin datang dengan niatan terlibat sebagai aktor di Kapai-Kapai (Atawa Gayuh). Karena pos tokoh perempuan sudah terpenuhi: Iyem, Emak (ditransformasi menjadi Ki Dhalang dan diperankan oleh Untung Basuki dari Sanggar Bangun Budaya), dan Bulan (diperankan oleh Gandez Sholeekah), maka penambahan aktor perempuan dirasa tidak lagi diperlukan. Toh, Kapai-Kapai (Atawa Gayuh) juga sudah menemukan bentuknya: sudah jadi. Tapi Ibed, dengan besar hati dan kecerdikannya menerima Vivin menjadi bagian dari Kapai-Kapai (atawa Gayuh). Bangunan pertunjukan ini kemudian mengalami beberapa penyesuaian besar. Vivin yang kemudian bermain lebih memelas menjadi warna tersendiri yang berbeda dari ketokohan Iyem ala Dayu yang mencak-mencak. Ini seperti menandakan dualitas ekspresi kemiskinan, sekaligus menyiratkan bahwa kemiskinan bisa menempel lebih di satu subjek, sebab kemiskinan adalah pengalaman kekurangan setiap orang di mana akan selalu ada hasrat untuk menutupinya.

Saya merasa, Ibed memiliki tabiat untuk tidak menolak siapa pun yang hendak bergabung berproses teater bersama, sekalipun ia datang terlambat. Ibed akan cenderung mendahulukan keberadaan aktor-aktornya ketimbang tokoh-tokoh yang tertulis di dalam naskah lakon yang ia angkat. Dalam pengalaman saya yang miskin bersama sedikit sutradara teater di Yogyakarta, Ibed begitu to humanior kepada aktor-aktornya. Alih-alih mengkhawatirkan (produk) pertunjukannya, Ibed malah khawatir dengan perasaan aktornya (mengecewakan yang telah datang menawarkan diri bergabung). Karena itu saya menjura kepada Ibed, kepada Kalanari Theatre Movement.
Visi to humanior Kalanari lainnya juga tampak pada pertunjukan In Situ#1: Pertama. Mengambil tempat di bekas gedung bioskop Permata di Yogyakarta, Kalanari menginterpretasi narasi-narasi yang dimiliki bioskop tersebut, dimulai saat bioskop masih beroperasi dengan menayangkan film-film yang digemari di masa 1970-1980-an, hingga saat bioskop mencapai kejayaannya, dan pada akhirnya kemudian ditinggalkan para penontonya, bangkrut dan tutup. Dalam penggarapan In Situ#1: Pertama, aktor dihadapkan pada gedung yang terbengkalai, tak terurus bertahun-tahun, dengan kondisi fisik yang sangat berdebu. Satu jam saja berada di sana, maka bulu hidung bisa dipenuhi oleh debu, dan membersihkannya dengan tisu akan mengubah warnanya dari putih menjadi coklat kehitaman, sekalipun telah memakai masker medis. Belum lagi langit-langit gedung yang keropos serta pecahan kaca dan serakan kayu di mana-mana, ditambah minimnya cahaya di dalam gedung, yang semuanya jelas bisa membahayakan orang-orang yang berlatih. Di sini, aktor mesti hati-hati dan tentunya siap untuk sakit—paling tidak, sesak pernafasannya.

Ibed menyadari konsekuensi dari kondisi semua itu. Ia tidak banyak menuntut pada aktor-aktornya untuk menjelajahi-mengeksplorasi fisik (place) Bioskop Permata. Meski pada akhirnya, saat berpentas, nyaris setiap sudut gedung tersebut, luar dan dalam, turut diekspos. Lobi bioskop, ruang tiket, etalase poster film, ruang proyektor, toilet, hingga ruang sinema, semua menjadi spot berpentas dan bercerita. Kalanari dengan site-specific theatre-nya akan selalu berupaya mengangkat teks pada ruang (fisik dan abstrak). Setiap ruang dipercaya mengandung teks yang dapat bercerita (tell a story) dan akan dapat memberi persepsi serta intensi tertentu pada proses penciptaan teater di ruang tersebut. Dan teks pada setiap ruang tidaklah mandek sekalipun ruang (secara fungsional) sudah tak terurus seperti halnya Bisokop Permata. Teks ruang akan selalu tumbuh, ia dinamis seiring waktu. Keyakinan inilah yang juga dipegang Kalanari. Maka Kalanari pun bereksperimen dengan teks yang melekat pada segala sesuatu, termasuk pada ruang. Atas keyakinan ini pula, Ibed akan selalu memantik aktornya untuk menjelajahi setiap sudut ruang yang akan dijadikan arena berpentas, seperti yang ia pernah lakukan di Panji Amabar Pasir dan Kapai-Kapai (Atawa Gayuh). Tapi untuk In Situ #1: Permata, Ibed justru bersikap sebaliknya. Ia akan menahan aktornya untuk tidak bermain di area yang dianggapnya berbahaya, sekalipun aktor berpandangan lain.
Atas sikap semacam ini, selain membebaskan aktornya, Ibed juga tidak mau aktornya menjadi konyol hanya karena teater dengan visi artistiknya yang dipaksakan (tidak kontekstual dengan ruang).
*****
Gramsci mencita-citakan intelektual organik sebagai lawan dari intelektual tradisional. Intelektual organik adalah mereka yang progresif, yang mendayagunakan pengetahuannya untuk berpihak pada masyarakat (narasi alternatif). Keterlibatan ini akan mengikat mereka, para intelektual organik, dengan masyarakatnya. Sedangkan intelektual tradisional adalah benalu bagi gerakan masyarakat sipil. Intelektual tradisional akan selalu mengembek pada kuasa pengetahuan dan lupa pada masyarakat.
Meski berbeda konteksnya, konsepsi ini mirip-mirip dengan kalimat Ibed yang sering dikatakan di setiap pertemuan atau saat latihan. Ibed mengatakan, “Manusia dulu, baru seniman.” Saya hanya bisa menerka maksud dari kalimat Ibed ini. Tampaknya, Ibed lebih mencita-citakan ‘menjadi manusia’ daripada ‘menjadi seniman’. Manusia adalah yang ‘organik’, sedangkan seniman adalah yang ‘tradisional’. Mengangankan menjadi seniman dalam pengertian di sini berarti cenderung menipu diri sendiri oleh karena berbagai tendensi politik artistik yang ingin dicapai. Seniman akan mengestetikisasi diri (dan karyanya) atau berupaya memoles diri agar tampil indah, tampil nyeni, terutama saat berpentas. Ukuran indah di sini tentu berdasarkan standar atau ukuran dalam ilmu-ilmu teater yang dipelajarinya dan ideologi teater yang diyakininya—bahkan bisa pula seturut selera penonton pada zamannya. Seniman akan berlatih agar bisa memenuhi tampilan nyeni itu. Seniman macam ini bukan mereka yang mempelajari kemanusiaannya lewat seni, tapi lebih tepat yang semata mempelajari ilmu-ilmu tentang seni agar terampil akan seni. Pada titik ini, Seniman memiliki kesamaan dengan intelektual tradisional: yang dipentingkannya adalah ‘apa kata ilmu seni’; atau dalam bahasa Gramsci, ‘ia mengambang terisolasi oleh pengetahuan’.
Sementara menjadi manusia dalam konteks berteater dengan Kalanari, belakangan ini saya pahami sebagai proses intelektual yang akan mematangkan kemanusiaan seorang seniman agar tidak lupa pada dirinya, masyarakatnya, pada penontonnya. Berkesenian adalah salah satu cara untuk mencapai tujuan to humanior itu tadi, bukan berhenti pada capaian akan kebaikan pentas atau menjadi ahli ilmu teater.
Di Kalanari, saya diajak untuk menjadi manusia ketimbang seniman. Meskipun saya yakin, saya tidak pernah sampai pada taraf manusia sebagaimana yang saya baca dari Kalanari.
Panjang umur, Kalanari Theatre Movement.