Bongak

Bagaimana Menjadi Seorang Muslim yang Baik di Kota Medan?

Islam adalah agama yang mengajarkan tata cara hidup yang baik dan berakhlak mulia. Menjadi seorang muslim yang baik bukanlah hal yang mudah, namun juga bukan hal yang mustahil. Ada banyak faktor yang dapat memengaruhi keberhasilan seseorang dalam mempraktikkan ajaran Islam. Menjadi seorang muslim (baca: beragama Islam) yang baik tentu kewajiban bagi seseorang yang menganut ajaran dan kepercayaan Islam. Islam mengajarkan segala bentuk syariat yang baik untuk menjadi jalan hidup menuju kebahagiaan dengan catatan bahwa syariat Islam harus ditaati dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, pada tataran praktisnya tidak semua orang Islam melaksanakan syariat Islam dengan baik dan sungguh-sungguh. Tentu saja hal tersebut bisa dipahami, bahwa ajaran agama sejatinya mendorong agar para pemeluknya bisa kembali kepada nilai-nilai spiritualitas agama yang terdapat dalam Al-Quran dan hadis. Sehingga selanjutnya adalah menjalankan perintah Allah dengan ibadah, baik ibadah mahdah maupun ghairu mahdah.

Terlepas dari ibadah mahdah kita kepada Allah sebagai sebuah kewajiban dan bentuk komitmen kepada syariat Islam, saya melihat bahwa ada hal sederhana yang justru sangat fundamental yang harus dilakukan oleh seorang muslim di Kota Medan. Terlepas setuju atau tidak, saya melihat ada tiga hal yang bisa menjadi tolok ukur dalam melihat seseorang sebagai muslim yang baik di Kota Medan.

Petama, tidak membuang sampah sembarangan. Sejak dibangku taman kanan-kanak kita selalu dikenalkan dengan sebuah hadis yang sangat populer, yaitu, annadhofatu minal iman, yang artinya ‘kebersihan adalah sebagian dari iman’. Hadis tersebut tidak hanya diajarkan oleh para guru, melainkan juga mewujud menjadi poster yang kerap ditempel di dinding-dinding sekolah, di tingkat SD/ibtidaiyah, SMP/tsanawiyah, hingga SMA/aliyah. Ini membuktikan bahwa hadis tersebut memiliki makna yang mendalam tentang bagaimana kita harus menjaga kebersihan.

Sayangnya, dalam tahap implementasi hadis tersebut, seringkali diabaikan. Tidak jarang kita melihat sampah menumpuk di mana-mana di Kota Medan: di sudut kota, di sudut gang, di tanah kosong, bantaran sungai, pinggiran jalan, semua seolah disulap menjadi tempat pembuangan sampah. Kondisi ini semakin diperparah dengan bau busuk yang ditimbulkan dari tumpukan sampah tersebut yang terkadang mengganggu pengguna jalan.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah membuang sampah sembarangan adalah bagian dari ciri-ciri muslim yang baik? Tentu saja kita sepakat untuk mengatakan tidak! Namun mengapa hal itu bisa terjadi, bahkan berulang-ulang dan menjadi kebiasaan? Kita terkadang membahas agama terlampau abstrak dan melangit. Tetapi untuk hal yang sederhana seperti membuang sampah pada tempatnya, kita sering lupa, mengapa? Karena hal itu tidak dianggap sebagai sikap beragama yang baik dan substansial. Meskipun terkadang kita sadar bahwa membuang sampah sembarangan adalah perbuatan yang tidak baik dan cenderung merugikan.

Kedua, tertib berlalu lintas. Ini juga menjadi hal yang sangat penting ketika kita hidup di Medan. Bagi yang tinggal dan besar di Kota Medan mungkin sudah terbiasa dengan kesemrawutan lalu lintas jalanan. Tetapi bagi orang yang mungkin baru pertama kali datang ke Kota Medan, pasti akan merasakan shock dengan kondisi lalu lintas Kota Medan.

Hal yang paling terlihat jelas adalah ketika menunggu di persimpangan yang diatur oleh lampu lalu lintas (traffict light). Tak jarang ketika sedang menunggu giliran untuk jalan, lampu hijau, kita banyak mendengar suara klakson dari berbagai penjuru, baik dari sepeda motor maupun mobil. Belum lagi ketika ada yang berusaha menerobos lampu merah, yang lantas diikuti pengendara lain. Ada semacam semangat komunal dari sesama pengendara sepeda motor, “dia aja bisa, kenapa aku nggak!

Selanjutnya, sikap ingin selalu duluan saat di jalan tentu akan berdampak pada kelancaran perjalanan. Seandainya kita bersabar sedikit saja, tentu kemacetan tidak separah seperti yang sering terjadi di jalan-jalan Kota Medan. Dalam kondisi macet harusnya kita bersabar untuk bergantian satu dengan yang lainnya. Namun yang sering terjadi, tidak demikian. Jalan berubah menjadi satu arah, baik dari arah yang sama maupun arah yang berlawanan. Bila sudah seperti itu, apa yang terjadi? Tentu kemacetan panjang tak terelakan lagi. Waktu tempuh menjadi lama bahkan bisa dua atau tiga kali lipat. Itu semua terjadi karena kita tidak mau tertib berlalu lintas.

Ketiga, disiplin waktu atau tepat waktu. Menurut saya, disiplin waktu menjadi hal yang sangat penting untuk dijadikan salah satu instrumen menjadi muslim yang baik. Mengapa? Sebab Islam sangat menghargai waktu, wal ashr, demi masa. Pepatah arab mengatakan “waktu adalah pedang”, jika tidak mampu menggunakan waktu dengan baik, maka kita akan terbunuh oleh padang tersebut. Sementara pepatah Inggris mengatakan “time is money“, waktu adalah uang.

Kondisi yang jelas untuk menggambarkan situasi di mana disiplin waktu menjadi sangat penting adalah saat berjanji dalam acara-acara seminar, lokakarya, gelar wicara, dan lain-lain. Komitmen tentang waktu memang tidak mudah, apalagi jika sudah terbiasa dengan keterlambatan.

Suatu kali saya pernah mengikuti sebuah acara di Kota Medan. Di undangan yang saya terima, disebutkan bahwa waktu pelaksanaannya adalah pukul 10.00 WIB. Karena jarak dari rumah ke tempat acara lumayan jauh, maka saya memutuskan untuk berangkat lebih awal. Saya berangkat pukul 09.15 WIB, sebab saya tahu perjalanan membutuhkan waktu 30 menit, artinya ketika jalanan lancar maka saya bisa sampai di sana pukul 09.45 WIB, kalaupun macet, saya pikir bisalah sampai di tempat acara pukul 10.00 WIB. Itu artinya saya bisa hadir tepat waktu.

Namun ketika sampai di tempat acara sekitar pukul 09.55 WIB, saya merasa agak ragu, apakah benar ini tempat acaranya, sebab belum ada tanda-tanda bahwa akan ada acara digelar di tempat ini. Sampai saya memberanikan diri untuk bertanya kepada seorang petugas keamanan tentang acara yang akan saya hadiri, dan ia menjawab bahwa benar acara akan diselenggarakan di tempat tersebut. Lalu saya pun berjalan dengan mantap menuju gedung di tempat acara itu berlangsung.

Begitu sampai di gedung saya terkejut, sebab baru hanya ada 5 orang yang hadir, dan semuanya adalah panitia penyelenggara. Saat saya bertanya mengapa belum ada peserta lain yang hadir padahal waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB, dengan enteng mereka menjawab, “Kau aja sok patan, datang kecepatan.” Gubrakkkk saya jengkel, marah, sekaligus terkekeh. Padahal jelas undangan menyebutkan acara dimulai pukul 10.00 WIB, tapi begitu saya sampai di tempat acara, jam 10.00 WIB justru dianggap kecepatan.

Hal seperti ini telah dianggap biasa, sebab sudah menjadi kebiasaan. Bahwa tidak disiplin waktu adalah hal yang biasa. Kebiasaan yang diulang terus menerus dalam jangka waktu yang lama akan menjadi sebuah kebenaran, dan dalam hal ini terlambat adalah hal yang dibenarkan.

Ketiga hal yang saya sampaikan di atas bukanlah tolok ukur mutlak untuk menjadi seorang muslim yang baik, khususnya di Kota Medan. Ketiganya sekadar hasil pengamatan saya selama hidup dan besar di Kota Para Ketua.

Purjatian Azhar

Pewarta weread.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *