Bongak

Setan dalam Bahaya: Konsepsi Manusia dan Setan (Bagian 3)

Melalui tokoh Failasuf dan Istri Failasuf, manusia direpresentasikan sebagai sosok yang berperangai buruk, doyan berseteru, bermusuhan, dan hanya sibuk dengan kepentingan pribadi. Hal ini teridentifikasi melalui dialog-dialog Setan yang ditujukan pada Failasuf—atau sebaliknya, di beberapa fragmen.

Aforisme bahwa ‘manusia adalah sebaik-baiknya makhluk hidup’ seakan tidak bermakna apa-apa dalam drama ini. Manusia yang direpresentasikan melalui tokoh Failasuf dan Istri Failasuf justru digambarkan secara bertentangan atau berkebalikan dengan aforisme (noramtif) di atas. Dalam drama as-Syaiṭān fī Khatr, manusia digambarkan sebagai makhluk hidup yang mengalami degradasi sifat dan batin yang kemudian menjalar ke segenap pikiran serta perbuatan. Sebaliknya, setan yang dalam pengetahuan bersama (commons) dianggap sebagai makhluk sebermula segala kejahatan, justru tidak terlukiskan dalam as-Syaiṭān fī Khatr. Tokoh Setan malah digambarkan sebagi tokoh yang sopan, mencintai perdamaian sekaligus menjunjung nilai-nilai luhur atau tanpa pamrih. Dengan kata lain, tokoh Setan adalah tokoh yang merujuk pada sebuah konsepsi yang mengejawantahkan norma-norma dan nilai-nilai ideal bagi masyarakat umumnya.

Manusia yang seharusnya makhluk ‘baik’ justru digambarkan sebagai makhluk ‘jahat’, sementara setan yang seharusnya makhluk ‘jahat’ malah digambarkan sebagai makhluk yang ‘baik’. Tampaknya ini adalah kesengajaan menukar representasi, tak lain untuk semakin menegaskan interpretasi pengarang tentang sifat manusia yang kini (atau tepatnya pada saat naskah ditulis atau dipublikasikan) semakin menyerupai ‘setan’. Perolehan kesimpulan yang demikian setidaknya dapat dirujuk pada dialog berikut ini:

Terjemah Indonesia oleh Ali Audah atas as-Syaiṭān fī Khatr dalam antologi  Sir al-Muntahirah Jilid IV, (Darr Misr Littbā’ah, 1969), hal. 91-92.

Perang yang juga permusuhan, pertikaian, dan pembunuhan telah dilahirkan manusia untuk ditujukan pula pada manusia lainnya. Ketakutan Setan terhadap perang adalah sebuah potret yang paling destruktif atas aforisme tentang manusia, di mana diperlihatkan betapa manusia jauh lebih kejam dari jenis-jenis makhluk lain di bumi ini. Di samping itu, perang juga wujud dari keinginan manusia yang tak terkontrol.

Di fragmen lain, ketika seorang manusia, yakni Failasuf yang dianggap memiliki kemampuan berpikir untuk menghentikan perang, malah meminta bayaran atas jasa yang ia berikan. Inilah gambaran dari sikap tamak dan rakus yang telah mengakar kuat dalam diri manusia. Padahal dalam skala besar, solusi mencegah perang dari Failasuf nantinya juga menyangkut upaya penyelamatan dunia serta makhluk hidup di dalamnya, tempat di mana Failasuf hidup bersama manusia lainnya (yang juga makhluk hidup sejenis Failasuf). Singkat kata, drama ini coba mengajukan beberapa pertanyaan mendasar: siapakah setan dan siapakah manusia? Sebuah pertanyaan yang sangat eksistensial, ketika perang, permusuhan, pertikaian dan kekejaman telah benar-benar melekat dalam kehidupan di muka bumi. Sebuah pertanyaan yang juga menyeret manusia untuk merekonstruksi ulang konsepsi dirinya yang diklaim sebagai makhluk paling sempurna? Sebuah pertanyaan yang berkaitan tentang kritik atas perangai manusia.


Bagian pertama tulisan ini dapat dibaca di Menyitir Perempuan, Menengahkan Setan (Bagian 1)

Bagian kedua tulisan ini dapat dibaca di Setan dalam Bahaya: Perang dan Perdamaian (Bagian 2)

Bagian keempat tulisan ini dapat di baca di Setan dalam Bahaya: Gugatan Perempuan sebagai Istri (Bagian 4).

Okta Firmansyah

Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *