Meminjam istilah Prof. Musa Asy’arie, bahwa berpikir radikal dengan bertindak radikal adalah dua hal yang berbeda. Manusia diberi seperangkat akal dan pikiran harusnya menggunakan kerja akalnya secara radikal dengan berpikir kritis sehingga dapat membedakan antara yang baik, rasional, dan empiris, dengan sesuatu yang taklid dan cendrung truth claim. Bila melihat arti dari kata radikal itu sendiri, radikal berasal dari bahasa latin yaitu radix yang artinya akar. Jadi ciri berpikir yang radikal adalah berpikir secara mengakar.
Sementara itu bertindak secara radikal adalah sebuah tindakan yang berupaya menghilangkan, menghancurkan, dan mengganggu sebuah sistem yang sudah mapan dalam kehidupan sosial dan bernegara. Biasanya tindakan radikal dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu yang berusaha mengubah sistem dan aturan yang sudah mapan dalam kehidupan sosial dan bernegara serta berusaha untuk menggantikan dengan sistem yang mereka usung. Tindakan radikal mengupayakan dan membolehkan apa pun itu untuk tujuan yang mereka perjuangkan.
Tindakan radikal biasa dilakukan oleh mereka yang sebenarnya justru tidak berpikir secara radikal apalagi beragama secara radikal. Beragama secara radikal harusnya tidak menjadi satu konsep yang negatif. Sebab, dengan cara beragama yang radikal atau mengakar maka kita tidak akan terjebak pada konsep dan pemahaman yang buta dan suka menyalahkan pemahaman orang lain, karena beragama secara radikal justru membuat pemahaman agama kita semakin mengakar, kuat, dan bisa dipertanggungjawabkan.
Oleh karena itu tindakan-tindakan kekerasan yang terjadi belakangan ini di Indonesia, seperti aksi terorisme, pengeboman rumah ibadah, dan fasilitas publik itu diakibatkan karena mereka lebih bertindak radikal daripada berpikir radikal dan beragama secara radikal. Maka dapat kita lihat bagaimana filsuf-filsuf Islam maupun Barat justru tidak pernah bertindak secara radikal, melainkan mereka berpikir secara radikal sehingga mereka dapat melahirkan konsep-konsep dasar dalam filsafat dan kehidupan.
Pada perkembangannya, radikal menjadi sebuah konsep gerakan yang disebut radikalisme. Radikalisme adalah sebuah gerakan yang mengupayakan sebuah perubahan yang mendasar pada suatu sistem yang sudah mapan dan sistem sosial dan negara. Radikalisme menyasar kelompok agama dan memaksakan konsep pemahaman keagamaan yang mereka yakini menjadi satu-satunya keyakinan yang mutlak kebenarannya. Meminjam istilah Prof. Noorhaidi Hasan, radikalisme tidak otomatis menjadi tindakan terorisme, tetapi radikalisme adalah kondisi pra terjadinya aksi terorisme. Tak heran dapat kita lihat aksi-aksi teror seperti peledakan bom di rumah ibadah, gedung sekolah, pasar, dan ruang publik lainnya dianggap sebagai kebenaran yang harus dilakukan karena bagian dari pemahaman keagamaan mereka. Pemahaman yang seperti itu menjadikan kelompok-kelompok radikalisme seolah-olah menjadi kelompok yang paling benar dalam beragama.
Pentingnya Moderasi Beragama dan Bernegara dalam Konteks ke-Indonesia-an
Kata moderasi dalam bahasa Arab diartikan al-wasathiyyah, dengan dari kata dasar wasath. Al-Asfahaniy mendefenisikan wasathan sebagai sawaun, yaitu tengah-tengah di antara dua batas; keadilan; atau yang standar dan yang biasa-biasa saja. Wasathan juga bermakna menjaga dari sikap tanpa kompromi, bahkan meninggalkan garis kebenaran agama.
Pada tataran praksisnya, wujud moderat atau jalan tengah dalam Islam dapat diklasifikasikan menjadi empat wilayah pembahasan, yaitu:
- Moderat dalam persoalan akidah
- Moderat dalam persoalan ibadah
- Moderat dalam persoalan perangai dan budi pekerti
- Moderat dalam persoalan tasyri’ (pembentukan syariat).
Menurut Prof. Quraish Shihab dalam moderasi (wasathiyyah) terdapat pilar-pilar penting yakni: pertama, pilar keadilan. Pilar ini sangat utama. beberapa makna keadilan yang dipaparkan adalah: pertama, adil dalam arti sama yakni persamaan dalam hak. Seseorang yang berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. Persamaan itulah yang menjadikan seseorang yang adil tidak berpihak kepada salah seorang yang berselisih. Adil juga berarti penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya. Ini mengantar pada persamaan, walau dalam ukuran kuantitas boleh jadi tidak sama. Adil adalah memberikan kepada pemilik hak-haknya melalui jalan yang terdekat. Ini bukan menuntut seseorang memberikan haknya kepada pihak lain tanpa menunda-nunda. Adil juga berarti moderasi ‘tidak mengurangi tidak juga melebihkan’.
Kedua, pilar keseimbangan. Kembali pada pendapat Prof. Quraish Shihab, keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian. Dengan terhimpunnya syarat ini, kelompok itu dapat bertahan dan berjalan memenuhi tujuan kehadirannya. Keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar dan syarat bagi semua bagian unit agar seimbang. Bisa saja satu bagian berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil dan besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya. Dalam penafsirannya, keseimbangan adalah prinsip yang pokok dalam wasathiyyah. Karena tanpa adanya keseimbangan tak mungkin terwujud keadilan. Keseimbangan dalam penciptaan misalnya, Allah menciptakan segala sesuatu menurut ukurannya, sesuai dengan kuantitasnya, dan sesuai kebutuhan makhluk hidup. Allah juga mengatur sistem alam raya sehingga masing-masing beredar secara seimbang sesuai kadar sehingga langit dan benda-benda angkasa tidak saling bertabrakan.
Ketiga, pilar toleransi. Prof. Quraish Shihab juga memaparkan bahwa toleransi adalah batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih bisa diterima. Toleransi adalah penyimpangan yang tadinya harus dilakukan menjadi tidak dilakukan, singkatnya adalah penyimpangan yang dapat dibenarkan.
Dalam konteks Indonesia, Islam moderat yang mengimplementasikan Ummatan Wasathan, oleh Masdar Hilmy diklaim terdapat pada dua golongan yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Keduanya mencerminkan ajaran Ahlussunnah wa al-Jama’ah yang mengakui toleransi serta kedamaian dalam berdakwah.
Dalam konteks pemikiran keislaman di Indonesia, konsep moderatisme Islam memiliki sekurang-kurangnya lima karakteristik berikut ini. Pertama, ideologi non-kekerasan dalam mendakwahkan Islam. Kedua, mengadopsi pola kehidupan modern beserta seluruh derivasinya, seperti sains dan teknologi, demokrasi, HAM, dan semacamnya. Ketiga, penggunaan pemikiran rasional dalam mendekati dan memahami ajaran Islam. Keempat, menggunakan pendekatan kontekstual dalam memahami sumber-sumber ajaran Islam. Kelima, penggunaan ijtihad dalam menetapkan hukum Islam (istinbat). Namun demikian, kelima karakteristik tersebut dapat diperluas menjadi beberapa karakteristik lagi seperti toleransi, harmoni dan kerjasama antar kelompok agama yang berbeda.