Bongak

Dilahirkan Reformasi, Diadopsi Oligarki

Pemberian kewenangan menafsirkan konstitusi dan membatalkan undang-undang kepada lembaga pengadilan yang merdeka dari pengaruh legislatif dan eksekutif merupakan sebuah konsekuensi besar. Menyadari hal itu, amandemen yang bergulir setelah tragedi reformasi berupaya mengunci MK dalam ruang aman setelah membangun sekat pembatas untuk menjauhkannya dari jamah kekuasaan. Kendati demikian, pemisahan kekuasaan tetap saja menyisakan celah sebagai pintu masuk bagi upaya intervensi kepada MK melalui para Hakim Konstitusi.

Bersalin Asuh

Reformasi adalah ibu kandung MK dengan UUD 1945 hasil amandemen sebagai rahimnya. Secara ideal MK memang hadir sebagai aktor tunggal dalam rekonsiliasi konstitusional, namun kuatnya arus kekuasaan rentan mengakibatkan MK terjebak dalam pusaran politik kepentingan. Kecenderungan itu terlihat dari setidaknya dua putusan MK dan sebuah isu krusial di mana MK selalu bermain aman ditimang lengan oligarki; ambang batas pencalonan Presiden.

Putusan pertama adalah Putusan MK Nomor 79/PUU-XVII/2019 atas uji formil revisi UU KPK. Putusan yang membunuh geliat pemberantasan korupsi ini meninggalkan jejak yang memperlihatkan posisi moril MK. Dalam putusan itu MK mengabaikan keanehan pada proses legislasi revisi UU KPK yang seolah bergelinding di atas jalan bebas hambatan. Bahkan MK tidak ambil pusing pada kualitas partisipasi publik yang semata formalitas belaka dan tidak mempertimbangkan masifnya penolakan atas revisi UU KPK. Bahkan MK tidak mempermasalahkan revisi UU KPK yang dilakukan dengan menggunakan Naskah Akademik fiktif. Menariknya, dari sembilan Hakim Konstitusi, hanya Wahidudin Adams yang mengajukan pendapat berbeda dengan penilaian adanya persoalan konstitusionalitas dan moralitas serius di balik revisi UU KPK.

Putusan kedua adalah Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 atas pengujian UU Cipta Kerja yang merupakan kali pertama MK mengabulkan permohonan uji formil. Sayangnya MK kehilangan nyali untuk membatalkan keseluruhan UU Cipta Kerja meski mengamini adanya cacat prosedur dalam tahapan pembentukannya. Putusan itu justru menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan harus diperbaiki dalam tempo 2 tahun. Padahal dalam konteks uji formil hal pokok yang harus dibuktikan adalah persoalan prosedur pembentukan undang-undang, sehingga putusan MK hanya berkisar di antara konstitusional atau tidaknya proses legislasi. Dengan kata lain, uji formil sewajarnya tidak menghasilkan putusan berkelit sebagaimana yang dilakukan MK. Ketakberanian MK inilah yang kemudian dikangkangi pemerintah dengan menerbitkan Perppu Cipta Kerja yang kembali menyalahi aturan main penerbitan perppu.

Kemudian ambang batas pencalonan Presiden yang krusial dan MK yang selalu bermain aman di balik alasan kebijakan hukum terbuka bagi pembentuk undang-undang. Singkat kata, MK menahan diri untuk tidak melangkah ke wilayah yang menurutnya merupakan domain pembentuk undang-undang karena membutuhkan partispasi publik untuk mengubah aturan main pencalonan Presiden. Terganjalnya pengujian ambang batas pencalonan Presiden ditambah dengan syarat legal standing Pemohon yang harus merupakan partai politik atau gabungan partai politik yang telah terdaftar sebagai peserta pemilu.

Di balik dua alasan inilah MK kerap menutup mata pada kenyataan pertentangan ketentuan ambang batas pencalonan Presiden di Pasal 222 UU Pemilu dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 yang hanya mensyaratkan Capres dan Cawapres diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik tanpa embel-embel persentase suara minimal yang dikantongi pada pemilu sebelumnya.

Pulanglah Dia si Anak Hilang

Bila dirunut ke pangkal, terjebaknya MK dalam dekapan oligarki sangat dipengaruhi oleh ketentuan Pasal 222 UU Pemilu, karena besaran persentase pencalonan Presiden mengharuskan partai-partai berkoalisi dan di saat bersamaan koalisi pemenang pemilu selalu menjadi magnet bagi partai-partai yang seharusnya bertahan sebagai oposisi.

Menariknya dua batu sandungan itu kini mendapat tantangan sebagai akibat MK yang melangkah ke wilayah kebijakan hukum terbuka pada Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022 yang memperlebar syarat dan masa jabatan Pimpinan KPK. Putusan itu dapat dijadikan dasar argumentasi hukum untuk bagi Partai Buruh yang telah memperoleh status sebagai peserta pemilu sekaligus tampil sebagai Pemohon pengujian Pasal 222 UU Pemilu melalui Perkara Nomor 80/PUU-XXI/2023. Artinya Partai Buruh telah memenuhi legal standing sebagai Pemohon dan memiliki bekal alasan permohonan yang memadai untuk melaju dalam pengujian ambang batas pencalonan Presiden yang jelas-jelas inkonstitusional itu.

Di sinilah MK dihadapkan pada sebuah pilihan; membatalkan Pasal 222 UU Pemilu, atau kembali bermain aman karena nyaman ditimang oligarki.

Dalam langgam perjalanan, kerap disebut bahwa sejauh-jauh pergi, pulang akan selalu menjadi ujung jalan para tualang. Adakah MK akan kembali menjadi anak kandung Reformasi? Usianya sudah matang, MK sudah dapat membuat keputusan.

Ilhamdi Putra

Dosen Departemen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Andalas; Manajer Riset LBH Pers Padang; dan Peneliti di Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Andalas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *