Hal pertama yang perlu dilihat dalam drama as-Syaiṭān fī Khatr adalah informasi apa saja yang bisa didapat. Untuk memperolehnya, pembacaan akan saya dasarkan pada tiga unsur instrinsik dalam as-Syaiṭān fī Khatr, yakni dialog, penokohan dan alur (plot). Pendasaran ini dilakukan secara berjenjang, tak lain guna mendapatkan “keseluruhan” dan kesatuan informasi yang eksplisit, langsung dan pasti. Dialog menjadi jenjang pertama, mengingat dalam drama yang dominan bukanlah deskripsi melainkan dialog antar tokoh [1]. Sementara penokohan menjadi pendasaran kedua, karena penokohan (characters) diekspresikan melalui ucapan tokoh dan apa yang mereka lakukan dalam bertindak (stagedirection). Sehingga melalui dialog-dialog yang ada, penokohan dapat diketahui [2]. Sedang yang menjadi pendasaran terakhir adalah plot (alur). Di pihak lain plot (alur) pada hakikatnya adalah apa yang dilakukan oleh tokoh dan peristiwa apa yang terjadi dan dialami tokoh [3].
Secara eksplisit, persoalan manusia sebagai pusat perang (konflik) telah menjadi pusat perhatian Taufiq al-Hakim dalam dramanya, as-Syaiṭān fī Khatr. Hal ini terindikasi dari serentetan dialog antara tokoh Setan dan Failasuf pada bagian eksposisi hingga complication (rising action) dalam struktur dramatik [4] drama. Dan semakin meruncing pada bagian climax [5]-nya, ketika Istri Failasuf hadir dan turut ambil bagian dalam pembawaan cerita.
Perbincangan mengenai manusia dan perang, diawali ketika Setan datang secara mengejutkan Failasuf di malam hari. Setan yang digambarkan sebagai sosok yang memiliki entitas tersendiri dan menyerupai manusia, mengajukan permohonan pada Failasuf agar mau memikirkan sebuah gagasan yang mampu mencegah perang. Keterangan ini bisa dirujuk dari dialog antara Failasuf dan Setan berikut:

Setan menganggap bahwa seorang failasuf adalah sosok yang bisa dipastikan memiliki kedalaman akal budi dan kejernihan berpikir mengenai segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya. Oleh karena pikiran yang asosiatif inilah, harapan akan solusi mencegah perang diharapkan dapat lahir dari Failasuf.
Dikabarkan melalui Setan, bahwa perang yang akan datang amatlah mengerikan. Bom-bom atom dan peluru-peluru kendali akan serta merta menghancurkan dunia dan membinasakan umat manusia. Hal inilah yang amat ditakuti Setan. Karena binasanya manusia sama halnya dengan kiamat yang akan mengakhiri segalanya, termasuk hidup Setan. Itu berarti Setan akan segera menemui nasibnya seperti yang sudah termaktub dalam kitab suci agama-agama samawi dan yang tidak dapat dielakkan.
Lebih lanjut, ketergantungan Setan pada manusia akhirnya membawanya menyukai ketentraman dan menghendaki perdamaian. Hal ini terlihat dari upayanya yang membisikkan kata-kata perdamaian ke telinga para pemimpin negara-negara besar. Dan tentu, juga sarannya pada Failasuf agar mau memikirkan gagasan mencegah perang. Ini terlihat dari dialog berikut:

Namun kehendak agar terciptanya perdamaian tidaklah berjalan mulus seperti yang dibayangkan Setan, karena Failasuf justru meminta uang jasa pada Setan atas buah pikirnya nanti dalam mencegah perang. Setan terkejut dan memperlihatkan ketidaksetujuannya. Ini sungguh di luar dugaan Setan. Menurut Setan, Failasuf adalah makhluk hidup dari jenis manusia yang seharusnya mau menyelematkan manusia sesamanya tanpa harus berpikir tentang balas jasa. Karena seperti halnya Setan, Failasuf pun akan musnah bersama manusia lainnya jika perang tak segera mungkin dicegah.
Ada beberapa alasan kenapa Failasuf bersikap demikian. Awalnya, Setan menduga bahwa Failasuf berpikir tanpa pamrih, yang artinya hanya memikirkan cita-cita luhur saja, idealistis. Namun ternyata dugaan Setan tidaklah berlaku. Failasuf justru orang yang sangat realistis. Tidak seperti Setan yang belum merasakan dunia pernikahan, Failasuf adalah seorang suami. Ia memiliki Istri, dan harus memenuhi segala kebutuhan keluarganya dengan ‘uang’. Alasan inilah yang menjadi dasar utama Failasuf meminta uang jasa pada Setan.
Bertalian dengan posisi Failasuf sebagai suami, oleh karena mendapat tekanan yang terus-menerus, Failasuf pada akhirnya menjadi cenderung tak berdaya dihadapan istrinya, seolah-olah hilang keberaniannya. Istri Failasuf tidak pernah merasa puas atas pendapatan dari profesi ‘pemikir’ suaminya. Penghasilan Failasuf jauh dari kata cukup. Karena itulah, tuntutan agar Failasuf memperoleh pendapatan lebih, membuat Failasuf sedikit gentar jika berhadapan dengan Istrinya. Pada perkembangan cerita berikutnya, kehadiran Istri Failasuf di bagian tengah cerita, telah menghadirkan perang yang lebih mengerikan, yakni perang dalam rumah tangga antara Failasuf dengan Istrinya. Berikut petikan dialog yang menunjukan keterangan tersebut:

Digambarkan sebagai sosok yang berani dan penentang hebat, Istri Failasuf beranggapan bahwa suaminya tidak hanya tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga, tapi juga sama sekali tak becus memimpin rumah tangga. Supermasi kuasa rumah tangga Failasuf kini hendak direbut oleh Istrinya. Inilah perang yang tidak pernah terbayangkan oleh Setan sebelumnya.
Melalui ketiga tokoh: Setan, Failasuf dan Istri Failasuf, dari awal hingga cerita berakhir, persoalan perang dan perdamaian telah mendominasi cerita. Meski dominan, tidak lantas memberi kesimpulan bahwa as-Syaithan fi Khatr adalah sentilan Taufīq al-Hakīm atas berbagai konflik yang dialami dan ciptakan manusia dalam berbagai agenda, wujud, dan skalanya. Ada hal lain, yang saya rasa lebih menarik untuk dicerna, terkait silang sengkarut konsepsi manusia dan setan, serta bagaimana Taufiq al-Hakim memandang gugatan perempuan serta polarisasinya dengan laki-laki dalam status suami-istri.
Bagian pertama tulisan ini dapat dibaca di Menyitir Perempuan, Menengahkan Setan (Bagian 1)
Bagian ketiga tulisan ini dapat dibaca di Konsepsi Manusia dan Setan (Bagian 3)