Pada Senin (14/8) lalu Presiden menganugerahkan tanda jasa kepada 18 orang yang dianggap berjasa bagi bangsa dan negara. Di antara 18 nama itu terdapat seorang Hakim Konstitusi yang dianugerahi Bintang Mahaputera Adipradana. Merujuk UU Nomor 20 tahun 2009 Tentang Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan, Bintang Mahaputera Adipradana dianugerahkan kepada mereka yang secara luar biasa menjaga keutuhan, kelangsungan, dan kejayaan NKRI.
Hanya saja, di tengah sorotan publik atas intervensi kekuasaan yang mengganggu independensi MK, ditambah beberapa perkara pengujian undang-undang yang bernuansa oligarkis, dan diperparah dengan skandal pemalsuan putusan setelah drama pencopotan seorang Hakim Konstitusi secara inkonstitusional, pemberian tanda jasa ini layak dipersoalkan dalam bingkai etika penyelenggaraan negara.
Sebuah pertanyaan mendasar tentang mengapa Presiden menganugerahkan tanda jasa kepada Hakim Konstitusi telah dijawab berulang kali oleh pemerintah sesering Presiden menganugerahkannya kepada para Hakim Konstitusi sebelumnya. Bahwa terdapat ketentuan Pasal 15 UUD 1945 dan UU Nomor 20 Tahun 2009 yang memberi hak kepada Presiden sebagai kepala negara untuk memberi tanda jasa kepada mereka yang berhak.
Tetapi aturan hukum itu sangat normatif, dan tidak dapat digunakan untuk menjawab apakah pemberian tanda jasa kepada orang yang bernaung di lembaga penyeimbang tarik-menarik kekuasaan bukanlah suatu bentuk gangguan terhadap independensi. Akibatnya pemberian tanda jasa kepada Hakim Konstitusi dengan mendasarinya pada dua aturan hukum di atas hanya akan membiaskan makna penghargaan, terlepas dari besarnya jasa penerima anugerah tersebut.
Bila kembali ditinjau secara normatif, pemberian tanda jasa memang tidak secara hitam-putih dapat menjadi dasar penilaian bahwa Presiden telah menundukkan Hakim Konstitusi. Akan tetapi, penganugerahan tanda jasa tersebut secara langsung berpotensi membiaskan penilaian kinerja Hakim Konstitusi di mata publik, dan di sinilah permasalahan kian mengeruh karena sifatnya yang nisbi.
Pilih-pilih dan Dalam Masa Jabatan
Berkaca ke belakang, pada tahun 2020 Presiden juga menganugerahkan tanda jasa kepada enam orang Hakim Konstitusi, dengan rincian tiga orang dianugerahi Bintang Mahaputera Adipradana dan tiga orang lainnya dianugerahi Bintang Mahaputera Utama. Pertanyaannya, atas dasar apa pembedaan tanda jasa itu dilakukan karena bila merujuk pada UU Nomor 20 Tahun 2009 dua jenis tanda jasa itu memiliki tingkatan berbeda? Dengan kata lain, secara logika, tiga orang Hakim Konstitusi penerima Bintang Mahaputera Adipradana lebih berjasa ketimbang tiga orang Hakim Konstitusi lainnya yang menerima Bintang Mahaputera Utama. Bahkan kalaulah Presiden hendak menghargai jasa para Hakim Konstitusi melalui penganugerahan tanda jasa, mengapa tidak seluruh majelis Hakim Konstitusi menerimanya pada waktu bersamaan?
Selain itu, dari enam Hakim Konstitusi yang menerima tanda jasa di tahun 2020, seorang di antaranya adalah Aswanto yang dianugerahi Bintang Mahaputera Adipradana. Bahkan Hakim Konstitusi yang menjabat atas usul DPR itu dicopot oleh lembaga pengusulnya karena dinilai tidak loyal dan kerap membatalkan undang-undang. Intervensi yang dilakukan DPR ini senyatanya bertolak belakang dengan pemberian tanda jasa oleh Presiden. Arti kata, terdapat ketakselarasan antara DPR yang menjalankan fungsi pengawasan dengan Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dalam menilai sumbangsih Aswanto kepada negara di balik toga Hakim Konstitusinya. Seharusnya fenomena bertolak belakang itu dapat menjadi pelajaran betapa pemberian tanda jasa oleh Presiden berangkat dari penilaian yang nisbi, terlepas dari perbuatan DPR yang mengangkangi aturan main pemberhentian Hakim Konstitusi.
Berangkat dari beberapa pertanyaan sebelumnya, secara per analogiam, tindakan Presiden bisa saja diterjemahkan bahwa Hakim Konstitusi lainnya yang tidak dianugerahi tanda jasa masih kurang atau belum mampu menjaga keutuhan, kelangsungan dan kejayaan NKRI. Akan tetapi atas dasar apa Presiden diperbolehkan menilai kinerja seorang Hakim Konstitusi? Di sinilah sekali lagi bias pemberian tanda jasa kembali terlihat dan mengakibatkan Presiden terjebak dalam penilaian yang lagi-lagi nisbi.
Selain itu terdapat persoalan serius lainnya, yakni posisi Presiden yang hakikatnya senantiasa merupakan pihak berkepentingan pada tiap perkara yang diadili MK. Karena sekalipun tidak hadir secara fisik, Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan merupakan pihak yang selalu terlibat dalam perkara di MK, terutama dalam hal sengketa konstitusionalitas undang-undang di mana Presiden adalah salah satu pembentuk undang-undang. Padahal terdapat larangan etik bertemunya Hakim Konstitusi dengan pihak berperkara di luar persidangan, sedangkan pemberian tanda jasa itu meniscayakan Hakim Konstitusi datang sebagai tamu yang menerima jamuan Istana di mana Presiden adalah tuan rumahnya.
Jawaban pemerintah dengan merujuk pada peraturan perundang-undangan boleh saja memperoleh pembenaran, namun hal itu bilamana pemberian tanda jasa dilakukan setelah masa jabatan Hakim Konstitusi berakhir. Ketika itulah Presiden setidaknya dapat cuci tangan dari penilaian telah melakukan upaya perundangan terhadap independensi Hakim Konstitusi. Sebenarnya hal ini pernah dilakukan Presiden ketika menganugerahkan tanda jasa kepada Hamdan Zoelva yang menyelesaikan masa jabatannya pada tanggal 7 Januari 2015 dan menerima tanda jasa Bintang Mahaputera Adipradana pada tanggal 13 Agustus 2015.
Lebih elok bilamana penganugerahan tanda jasa itu dilakukan secara merata kepada seluruh Hakim Konstitusi setelah masa jabatannya berakhir, tentunya dengan mengecualikan dua orang yang tersandung kasus suap. Namun demikian akan lebih bijak bilamana Presiden sama sekali tidak memberikan tanda jasa apa pun kepada mantan Hakim Konstitusi. Sebab, bukankah seorang Hakim bahkan lebih mulia bila berbasah badan berjalan di bawah hujan ketimbang sekadar menerima tumpangan payung dari seseorang?