Bongak

Menyitir Perempuan, Menengahkan Setan (Bagian 1)

Dari sekian drama karya Taufīq al-Hakīm; Ahlu al-Kahfi (1933), Syahrazād (1934), Sulaimān al-Hakīm (1942), Syamsu an-Nahār (1965), dan lain sebagainya, as-Syaiṭān fī Khatr adalah drama yang paling sering dialihwahanakan ke dalam panggung teater Indonesia. Terlebih sejak diterjemahkan oleh Ali Audah [1] ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “Setan dalam Bahaya” pada tahun 1978. Sebut saja Sanggar Nuun UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1998), Teater Jejak ISI Surakarta (2011), dan Teater Populer Jakarta (2013) [2], adalah sebagian kecil kelompok teater yang telah memainkan naskah drama as-Syaiṭān fī Khatr dengan berbagai pemaknaan, pola ungkap pertunjukan, serta capaian artistik masing-masing pertunjukan teater mereka.

Fenomena ini cukup unik, sebab dalam pengalaman kepenontonan saya, amat jarang saya temui drama Arab yang dijadikan basis pertunjukan teater oleh kelompok teater yang bergiat di Yogyakarta, maupun yang menggelar pertunjukannya di Yogyakarta. Ada banyak argumen yang spekulatif yang bisa muncul terkait mengapa drama-drama Arab jarang dilirik publik teater Indonesia [3]. Yang paling dekat, mungkin karena praktik penerjemahan drama Arab ke bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia langsung yang kalah deras dibanding drama-drama Rusia, Perancis, Inggris, dan seterusnya. Faktor bahasa ini lantas menjadikan proses perkenalan drama Arab kepada publik teater di Indonesia menjadi macet. Atau spekulasi yang amat jauh yang terkait dengan persoalan sejarah dan kolonialisme Eropa. Bahwa drama dan tradisi teater Arab dalam pengertian formal Barat telah kalah panjang dibanding tradisi Yunani, Romawi, atau Eropa secara umum. Hal ini lantas mengkontruksi cara pandang pada drama dan teater Arab sebagai praktik pewarisan sejarah, yang tentunya diringi dengan penahbisan bahwa para pewaris sebagai bangsa-bangsa yang lebih tinggi pencapaiannya akan drama dan teater. Disposisi ini semakin menguat dengan praktik kolonialisme Eropa dan orientalisme di dalamnya yang menafikan keragaman ekspresi seni bangsa Arab.

Namanya spekulasi, tentu saja argumen ini perlu diuji keabsahan dan ketahanannya. Akan tetapi tulisan ini tidak dimaksudkan menguji argumen tersebut ataupun mengeksplorasi sebab-sebab lain atas ketidaktertarikan pada drama-drama Arab ini oleh publik teater di Indonesia. Tulisan ini hanya hendak menengahkan, bahwa di tengah situasi tersebut ada satu drama Arab yang menyita perhatian berbagai publik teater di Indonesia, yakni as-Syaiṭān fī Khatr karya Taufīq al-Hakīm. Mengapa demikian? Alih-alih melihat alasan ketertarikan, atau bagaimana tanggapan dan proses resepsi drama as-Syaiṭān fī Khatr oleh publik teater Indonesia,tulisan ini justru berambisi menelaah drama tersebut, untuk menengahkan pembacaan alternatif di antara berbagai tuduhan bahwa as-Syaiṭān fī Khatr adalah drama yang tidak berpihak pada perempuan.

as-Syaiṭān fī Khatr dan Taufīq al-Hakīm

Taufīq al-Hakīm adalah salah satu pengarang Mesir modern terkemuka, yang sering kali dianggap sebagai puncak representasi realisme dalam karya sastra Mesir. Sebagaimana sastrawan kontroversial Arab lainnya, tokoh yang dilahirkan di Iskandariyyah Mesir tahun 1897 ini tidak pernah berhenti dalam menyuarakan kritik-krtitik sosial yang bersifat politis, ekonomis, kultural, dan bahkan teologis-metafisis dalam realitas dunia Mesir ataupun dalam belahan dunia pada umumnya, khususnya masalah-masalah kemanusiaan yang terkait dengan peradaban modern kontemporer [4]. Selama hidupnya, Taufiq banyak menghasilkan buku dan tulisan lepas di berbagai media. Pelopor drama Arab modern ini menghasikan sekitar 60 naskah drama dan 20 novel. Taufiq juga sempat membukukan dua kumpulan cerpennya yang sangat terkenal di dunia Arab: ‘Ahd Syaithan (1938), Arinillah (1953) dan Lailah az-Zifaf  (1966) [5].

Taufīq al-Hakīm (Foto: arabstages.org)

Salah satu dari karya-karya Taufīq al-Hakīm adalah drama as-Syaiṭān fī Khatr (1951) yang terdapat dalam antologi Sir al-Muntahirah (Jilid IV, tahun 1969). Drama ini berkisah tentang seorang Failasuf yang tiba-tiba kedatangan Setan di malam hari. Setan datang untuk meminta bantuan Failasuf agar mau memikirkan sebuah gagasan yang mampu mencegah bahaya yang sedang dihadapinya. Menurut Setan, bahaya yang akan datang kali ini amatlah mengerikan sebab akan membinasakan seluruh manusia. Padahal hidup Setan sangatlah bergantung pada manusia. Binasanya manusia sama halnya kiamat yang akan mengakhiri segalanya, termasuk hidup Setan. Itu berarti Setan akan segera menemui nasibnya seperti yang sudah termaktub dalam berbagai nash keagamaan dan yang tidak dapat dielakkan.

Bahaya yang dimaksud Setan adalah perang! Perang telah berubah menjadi sesuatu yang begitu menyenangkan bagi manusia. Bom-bom atom dan peluru kendali merupakan barang amat disukai manusia. Kata ‘damai’ seakan-akan telah terhapus dari kamus, sehingga mustahil rasanya untuk mencapai kata tersebut.

Akan tetapi sebelum mengiakan permintaan Setan, Failasuf menghendaki kesepakatan terlebih dahulu. Kesepakatan tentang uang jasa atas buah pikirnya nanti. Alasannya tak lain, karena Failasuf telah berkeluarga dan memiliki seorang Istri. Ia harus memenuhi kebutuhan rumah tangganya.

Setan terperangah, keberatan atas permintaan Failasuf. Menurut Setan, ide-ide yang bisa mencegah perang dari Failasuf nantinya tidak hanya bermanfaat bagi pribadi Setan, melainkan juga demi kepentingan umat manusia di muka bumi, makhluk hidup yang sama jenisnya dengan Failasuf.

Dalam perkembangan cerita, terjadilah tarik-ulur pendapat antara Failasuf dan Setan. Perdebatan berlangsung sengit dan alot.  Namun belum sempat mencapai titik terang, Istri Failasuf mendatangi ruang kerja Failasuf. Alih-alih meredakan ketegangan yang dialami Failasuf, Istri Failasuf justru menghadirkan perang lain yang lebih mengerikan, yakni perang dalam rumah tangga antara Failasuf dengan dirinya. Istri Failasuf mengangap bahwa suaminya sama sekali tak becus memimpin dan mencukupi kebutuhan rumah tangga.  Karena anggapan ini, supermasi kuasa rumah tangga Failasuf kini hendak direbut oleh Istrinya. Inilah perang yang tidak pernah dibayangkan oleh Setan sebelumnya. Setan lantas memberi pengakuan bahwa perang di dunia luas yang diwarnai bom atom masih kalah hebat dibanding perang dalam rumah tangga yang diwarnai oleh Istri Failasuf.

Membaca as-Syaiṭān fī Khatr seperti sebuah ajakan untuk merenungi berbagai referensi. Dari referensi klasik yang terkait konteks budaya Arab yang patriarkat, yang lebih menjunjung tinggi laki-laki dan maskulinitasnya, serta yang merepresi keberadaan dan posisi perempuan. Maupun referensi agamis yang tak kalah klasiknya, yang merujuk pada kisah Adam dan Hawa dalam berbagai versi agama-agama samawi tapi memiliki ‘kesepakatan’ tentang Hawa sebagai bilang keladi atas turunnya Adam dan anak keturunannya ke bumi. Adam harus menjalani ‘hukuman’ hidup di bumi dan menginggalkan segala kenikmatan surga, sebab Hawa telah membujuk Adam untuk memakan buah terlarang akibat pengaruh Setan. Karena sering berada dalam lintasan referensi tadi, tak jarang Taufīq al-Hakīm sering dituduh sebagai pengarang laki-laki yang turut melanggengkan gagasan tentang subordniasi perempuan. Terlebih bila si ‘penuduh’ hanya membaca as-Syaiṭān fī Khatr saja, tanpa membaca karya-karya lain Taufīq al-Hakīm maupun jejak dan lingkungan hidupnya.


Bagian kedua tulisan ini dapat dibaca di Setan dalam Bahaya: Perang dan Perdamaian? (Bagian 2)

Okta Firmansyah

Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *