Danau Maninjau merupakan danau terbesar kedua di Sumatra Barat yang terletak di Kabupaten Agam. Sama halnya dengan danau besar lainnya di Indonesia, danau tersebut terbentuk akibat proses alam. Letusan Gunung Sitinjau yang membentuk danau tersebut menjadi asal-usul penamaannya. Kata Maninjau berasal dari bahasa Minang yang berarti pemandangan atau peninjauan. Nama danau tersebut berbanding lurus dengan penyajian pemandangannya yang sangat indah. Keindahan Danau Maninjau bahkan terdengar hingga tingkat Internasional. Pada masa emasnya, era 90-an, Danau Maninjau merupakan destinasi wisata favorit wisatawan mancanegara. Banyak wisatawan mancanegara menetap hingga berbulan-bulan untuk menikmati pemandangan dari Danau Maninjau. Namun, keadaan tersebut telah jauh berbeda kini. Kini, Sumatra Barat telah kehilangan salah satu destinasi wisata andalannya.
Kondisi Danau Maninjau saat ini tidak seindah dulu karena kondisinya yang tercemar. Sebutan Talago Biru pun kini rasanya tidak pantas untuk disematkan lagi. Banyaknya Keramba Jaring Apung (KJA) telah mengganggu pemandangan yang dulunya indah. Selain itu, dampak dari KJA yang berupa sedimen sisa pakan dan kotoran ikan kini membuat danau mengeluarkan bau tidak sedap. Kondisi ini tentunya membuat wisatawan tidak betah berlama-lama di sana, dan bahkan tidak ingin berkunjung kembali. Pada tahun 2019, pemerintah menetapkan status Danau Maninjau sebagai danau hipertrofik atau tercemar berat dan menjadikannya danau prioritas nasional yang harus segera direvitalisasi.
Pemerintah Kabupaten Agam bekerja sama dengan dinas terkait untuk melakukan revitalisasi tersebut. Fokus pemerintah adalah mengembalikan kondisi Danau Maninjau dan membangkitkan kembali sektor pariwisata di sana. Usaha revitalisasi tersebut tentunya harus didukung oleh berbagai pihak, terutama masyarakat. Sementara, tujuan untuk membangkitkan kembali pariwisata di Danau Maninjau tentu dibutuhkan upaya-upaya yang baik, terutama dalam sarana prasarana dan bidang promosi.
Salah satu strategi yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan itu adalah dengan menggunakan pendekatan Sastra Pariwisata, yakni bidang ilmu yang mengkaji sastra dan pariwisata sekaligus. Kedekatan Danau Maninjau dengan dunia sastra tidak dapat diragukan lagi. Buya Hamka salah satu sastrawan besar Indonesia lahir di rumah yang menghadap ke danau tersebut. Buya Hamka bahkan sering mendapatkan inspirasi untuk menulis dari memandangi danau tersebut. Danau Maninjau dan sastra sebenarnya telah terkait sejak dahulu. Cerita rakyat sebagai salah satu sastra lisan Minangkabau berkembang pula di masyarakat sekitar Danau Maninjau. Oleh karena itu, strategi penjenamaan (branding) cerita rakyat terhadap Danau Maninjau dapat dikembangkan pula sebagai upaya membangkitkan kembali gariah pariwisata di sana.
Cerita rakyat yang terkait dengan Danau Maninjau adalah Bujang Sembilan. Sebuah kisah yang menceritakan tentang 10 bersaudara, 9 laki-laki dan 1 Perempuan. Nama perempuan satu-satunya di cerita Bujang Sembilan adalah Sani. Diceritakan, Sani jatuh hati pada seorang pemuda bernama Giran. Namun, hubungan mereka ditentang oleh Bujang Sembilan. Hingga suatu ketika mereka menemukan Giran dan Sani sedang berdua dan diprasangkai sedang melakukan tindakan terlarang. Karenanya, Giran dan Sani mendapatkan hukuman adat dan harus terjun ke kawah Gunung Sitinjau. Giran dan Sani yang merasa difitnah, kemudian bersumpah jika mereka tidak melakukan tindakan terlarang, maka gunung akan meletus dan melenyapkan seluruh masyarakat termasuk bujang Sembilan. Maka, ketika mereka melompat, terjadilah letusan gunung yang kemudian membentuk Danau Maninjau. Di dalam Danau, terdapat 9 ekor ikan besar yang dipercaya masyarakat setempat sebagai jelmaan Bujang Sembilan.
Cerita rakyat tentang asal-usul Danau Maninjau tersebut sangat dekat dengan masyarakat, sehingga nama-nama Bujang Sembilan diabadikan sebagai nama-nama Nagari (kelurahan) yang ada di sekitar Danau Maninjau. Bukti fisik dari cerita tersebut juga terpampang nyata dalam bentuk danau yang berpeluang untuk menjadi daya tarik destinasi wisata. Pada titik ini, cerita rakyat dapat dijadikan narasi dalam membuat konten promosi wisata Danau Maninjau. Selain itu, cerita ini juga dapat menjadi narasi pemandu wisata dalam menjelaskan danau tersebut.
Daya tarik Danau Maninjau dengan cerita rakyatnya tentu menjadi keunikan tersendiri, tentunya tanpa bisa lepas dari keindahan alamnya. Daya tarik ini dapat dimanfaatkan oleh pemangku kebijakan pariwisata untuk membangkitkan kembali kepariwisataan Danau Maninjau. Bangkitnya pariwisata di Danau Maninjau diharapkan dapat meningkatkan ekonomi masyakarat sekitar, yang tentunya akan berdampak pula pada peningkatan pendapatan daerah.