Fakultas Sastra, Universitas Andalas, Padang, Sumatra Barat (sekarang Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas), telah ada sejak 1982. Selama 40 tahun lebih, lembaga pendidikan ini telah melahirkan begitu banyak ilmuwan sastra, tetapi sayang tidak untuk sastrawan.
Selain Universitas Andalas, di Sumatra Barat, sastra juga diajarkan secara formal di Universitas Negeri Padang, Universitas PGRI Sumatra Barat, Universitas Ekasakti, dan Universitas Bung Hatta. Di tengah semaraknya Fakultas Sastra di Sumatra Barat, alih-alih melahirkan sastrawan, Fakultas Sastra justru memandulkan kelahiran sastrawan dan produksi karya sastra. Kiranya, demikian.
Di satu sisi, kita bisa menyinyalir sebab hal ini bahwa pendidikan sastra yang diselenggarakan di Sumatra Barat (dan mungkin di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, pada umumnya), pada prinsipnya didesain sebagai arena pengkajian sastra, bahasa, dan budaya, guna mencetak kritikus/akademisi/ilmuwan sastra. Mereka yang belajar di Fakultas Sastra diharapkan memiliki kemampuan ‘menerangkan’ nilai dan asas kebermanfaatan sastra pada masyarakat. Mereka dididik bukan untuk menciptakan karya sastra. Dengan kata lain, paradigma dan metodologi keilmuan di Fakultas Sastra yang ada sekarang tidak berorientasi pada penciptaan alias melahirkan sastrawan.
Tahun 2019, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas, sempat menggulirkan kebijakan yang menetapkan Tugas Akhir Mahasiswa (TAS) atau skripsi tidak semata kajian sastra, tapi juga bisa berupa penciptaan karya sastra (puisi, cerpen, novel, naskah drama) dan film. Namun kebijakan ini kemudian menemui hambatan, ia dianulir ditingkat Universitas. Alasannya, bahwa kerja penciptaan karya sastra masih dipandang bukan sebagai kerja ilmiah (dengan segala kategori bias eksakta yang melekat padanya).
Di tengah kebuntuan formal Fakultas Sastra dalam melahirkan Sastrawan, beberapa sastrawan kemudian lebih ‘memilih’ lahir secara organik dari masyarakatnya.
Sekalipun terdapat sastrawan yang lahir dari masyarakatnya, jumlahnya pun terbilang tidak seberapa. Hal ini bisa jadi karena, di sisi lain, di lingkungan organiknya, khususnya di Sumatera Barat, Fakultas Sastra juga belum mampu mendorong tumbuhnya ruang-ruang (acara/komunitas) kepenulisan/kesusasteraan. Padahal ruang-ruang alternatif ini sungguh diharapkan dapat membangun kesadaran dan habitus penulis-penulis muda agar mau menulis sastra.
Dari segi historis, Sumatra Barat sebenarnya masyhur dengan sastrawannya. Akan ada daftar panjang nama-nama yang memasyhurkan Sumatra Barat sebagai salah satu lokus penciptaan karya sastra yang berpengaruh di Indonesia, antara lain Abdul Muis, Marah Roesli, Hamka, Ali Akbar Navis, Taufik Ismail, Wisran Hadi, atau jika menyebut generasi sekarang seperti Gus Tf Sakai, Raudal Tanjung Banua, Indrian Koto, Esha Tegar Putra, dan seterusnya. Hal ini tentu berharga sebagai modal simbolik dalam mendorong upaya nyata Fakultas Sastra bersama masyarakat serta pemangku kebijakan di Sumatra Barat untuk melahirkan sastrawan yang produktif dengan karya yang berkualitas ke depannya.
Demi merangsang upaya itulah, Fakultas Sastra kiranya mesti mulai serius mendiskusikan dan menegahkan perannya guna menaikkan kembali girah penciptaan karya sastra di berbagai lingkungan di Sumatra Barat. Apa pun bentuk upaya itu.