Bongak

‘Swipe Right Dating’: Tren Kencan di Era Digital

Dunia digital hari ini membuat kita sibuk dengan gawai pribadi. Digitalisasi hari ini juga tidak hanya membawa masyarakat untuk mudah berinteraksi melalui media digital, tetapi telah menjadi subtitusi dari pertemuan tatap muka, baik dalam berinteraksi maupun dorongan untuk memiliki pasangan.

Masyarakat di dunia digital telah mengalami transformasi terkait dengan kebiasaan dan gaya hidup, salah satunya adalah tren kencan daring (online). Keberadaan kencan daring telah masuk sejak tahun 2012 melalui aplikasi pertama yang digunakan, yaitu Tinder. Jauh sebelum itu, perjuangan dalam mencari pasangan di ruang publik sudah ada sejak tahun 1690 yang dipublikasikan di media cetak dengan mencantumkan beberapa kriteria sesuai dengan permintaan pencari jodoh. Pada tahun 2019, nilai industri aplikasi kencan di Amerika Serikat telah mencapai 1 miliar dan akan selalu bertambah hingga beberapa tahun mendatang. Lebih dari 30 juta orang menggunakan aplikasi kencan di dunia.

Sebagai pihak ketiga, aplikasi kencan berfungsi sebagai match maker (mak comblang), yakni guna mencocokkan dua orang yang dilihat dari preferensi pribadi yang ditampilkan dalam bentuk teks dan visual melalui jejaring geososial dan spasial. Pengalaman kencan daring akan mudah diproyeksikan ke pertemuan fisik karena berbasis algoritma yang didasari atas kedekatan lokasi.

Narasi seleksi pasangan seperti ini juga diwarisi oleh masyarakat yang hidup di era klasik, di mana keturunan bangsawan mempersunting istri dengan melihat nasab keturunan, apakah keturunan raja atau tidak. Bagi yang tidak memiliki garis keturunan tersebut, mereka akan dijadikan sebagai selir kerajaan. Sementara kencan konvensional pada awal zaman modern juga bisa terjadi jika individu telah memilki ketertarikan melalui narasi makro yang disetujui oleh lembaga keluarga seperti keturunan, ekonomi, pendidikan, dan status sosial.

Menariknya, kencan daring telah menggeser preferensi individu dalam mencari pasangan. Menurut Brown (2020), 12% orang dewasa Amerika melaporkan bahwa mereka telah menikah dengan seseorang yang ditemui secara daring. Perangkat digital pribadi yang dimiliki oleh individu telah memberi kemudahan untuk mendapatkan pasangan hanya dengan sekali usap (swipe) di aplikasi. Algoritma aplikasi tersebut akan melakukan automasi mengenai kecocokan kedua pihak melalui visualisasi yang ditampilkan, baik melalui foto maupun deskripsi pribadi yang diberikan. Walaupun aplikasi ini digunakan dengan berbagai alasan lain, mencari cinta telah dilaporkan menjadi motif utama yang digunakan. Terlihat dari pengguna Tinder, misalnya, banyak sekali penyalahgunaan aplikasi terjadi seperti penggunaan untuk melakukan mengomersialkan aktivitas seksual. Kondisi ini juga memicu lahirnya beberapa aplikasi lain yang unik, seperti Bumble, yang dinilai sebagai aplikasi feminis karena dianggap mendobrak dominasi dan kekuasaan laki-laki.

Bumble, aplikasi kencan selain Tinder (Foto: theverge.com)

Berbeda dengan kencan konvensional yang memunculkan ketertarikan awal dari interaksi dan aktivitas sosial, dalam lingkungan kencan daring, ketertarikan awal dapat diindikasikan oleh pengguna secara positif dalam mengevaluasi profil orang lain. Ketika dua daters online merasa ‘cocok’ (keduanya mengevaluasi secara positif profil kencan orang lain), komunikasi pun bisa dilanjutkan dengan saling chatting. Dari sana, preferensi awal dan daya tarik antar daters dimungkinkan untuk berkembang atau bahkan berkurang.

Selain karena menyediakan kemudahan akses dan beragam pilihan kriteria yang ditampilkan, keputusan untuk menggunakan aplikasi kencan daring dapat dimaknai sebagai pilihan alternatif bagi masyarakat dalam mencari pasangan saat mereka tidak lagi memiliki ‘pilihan’ yang disediakan oleh lingkungan sosial ataupun karena peer group yang terbatas. Dipilihnya aplikasi kencan juga dinilai sebagai sarana yang menjanjikan bagi individu yang merasa memiliki tekanan sosial dari lingkungan, baik karena sering menarik diri dari lingkungan, maupun karena tidak berdaya dalam melakukan interaksi sosial secara konvensional.

Kemudahan media digital melalui aplikasi kencan daring, walaupun memiliki banyak kemudahan dan kepraktisan, tren ini tetaplah memiliki sisi paradoksikal. Pertama, individu dapat mengalami kondisi kebingungan karena terlalu banyak pilihan sehingga ia tidak memiliki standardisasi dalam menjaring pasangan yang diinginkan. Pada akhirnya, tujuan untuk mendapatkan pasangan lantas menjadi nihil karena selalu muncul ketidakpuasan saat mendefinisikan pasangan yang diinginkan. Kedua, preferensi pencarian pasangan yang diinginkan juga mengalami standar ganda. Kecocokan yang didapatkan melalui aplikasi kencan faktanya tidak mengalami kecocokan pada saat dilakukan pertemuan tatap muka. Hal ini terjadi karena kebenaran yang menjadi asimetris di saat tampilan menjadi sangat berbeda antara di media sosial dengan di kenyataan; interaksi yang tidak sempurna; serta tidak terpenuhinya hasrat kolektif dalam kultur digital, seperti ‘tidak se-frekuensi’, ‘berbeda love languange‘, ‘perbedaan zodiak dan astrologi‘, dan lain sebagainya.

Ketiga, rendahnya kepercayaan (trust) yang dimiliki oleh pengguna aplikasi kencan sehingga ia dapat dengan mudah mencurigai pasangannya. Walaupun saat ini banyak aplikasi kencan yang telah menyediakan fitur connect to Instagram atau media sosial lainnya, pengguna tetap merasa ragu bahkan khawatir untuk melanjutkan interaksi selanjutnya, seperti ke pertemuan fisik, apalagi sampai memutuskan untuk menikah! Pengguna aplikasi kencan juga banyak mendapat stigma sebagai ‘pemain’ atau sebagai yang ‘tidak laku’, sehingga muncul ketakutan saat bertemu pengguna lain pada aplikasi kencan yang sama, rupanya adalah orang yang mereka kenal secara nyata. 

Indah Sari Rahmaini

Dosen Sosiologi, FISIP, Universitas Andalas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *