Bongak

Identitas Gender Anak di Tengah Arus LGBT

Pada mulanya di tahun 1990, singkatan LGBT dipakai guna menunjuk kelompok homoseksual dan transgender saja. Namun kini, singkatan tersebut juga digunakan untuk merangkum lebih banyak identitas gender berikut orentasi seksual lainnya, seperti lesbian, gay, biseksual, dan transgender. Identitas gender adalah perasaan internal yang berasal dari dalam diri yang mendefinisikan seseorang memilki gender perempuan atau laki-laki. Sementara orientasi seksual dimengerti sebagai ketertarikan secara seksual atau emosional antar individu yang berjenis kelamin atau beridentitas gender tertentu. Bagi LGBT, seseorang dapat memiliki orientasi seksual dan identitas gender sekaligus. Contohnya seseorang yang mengidentifikasi gendernya sebagai laki-laki belum tentu hanya tertarik secara seksual pada perempuan yang lawan jenisnya saja.

Pertemuan aktivis LGBT se-ASEAN yang diniatkan digelar pada bulan Juli 2023 di Jakarta, menuai kecaman masyarakat luas, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI). Atas kecaman tersebut, pertemuan pun batal digelar. Kendati batal, Sogie Caucus, organisasi yang mengadvokasi hak-hak kaum minoritas seksual di Asia Tenggara, tetap akan mengadakan pertemuan tersebut di negara lain. Organisasi tersebut meminta pemangku kepentingan ASEAN membuka dialog dengan kelompok-kelompok marginal. Mereka tidak ingin diskriminasi berdasarkan identitas gender dan orientasi seksual terus berkelanjutan. Karena itu, Sogie Caucus terus berupaya menyuarakan perlindungan hak asasi manusia sebagai imbas ancaman atas keberadaan mereka.

Penguatan Identitas Gender pada Anak

Ketika seorang anak dilahirkan, secara terberi ia sudah memiliki identitas kelamin biologis masing-masing. Ada yang terlahir sebagai laki-laki, dan ada pula yang terlahir sebagai perempuan. Semakin beranjaknya usia, anak akan dikonstruksi indentitas gendernya oleh lingkungan masyarakat. Pada proses ini anak mulai ‘diberi’ kelamin sosial. Dengan kata lain, identitas gender tercipta dan terbentuk akibat pengaruh oleh lingkungan sosial-budaya yang ada. Guna mengawal identitas gender anak secara normatif, maka perlu peranan orang tua, sebagai keluarga lingkungan awal yang menguatkan identitas gender pada anak. Rasa percaya diri pada anak atas kelamin biologis sekaligus identitas gender normatif pada anak, jelas perlu ditumbuhkan.

Penguatan ini dapat dilakukan oleh para orang tua sejak anak berusia 2-3 tahun. Mulai saat itu, anak sudah dapat menyatakan identitas gendernya sebagai laki-laki atau perempuan melalui perolehan fisik mereka sejak lahir. Pada masa pula, orang tua mestinya mulai mengenalkan identitas gender sesuai dengan jenis kelaminnya. Misalnya, anak laki-laki diarahkan untuk bermain sepak bola, sementara anak perempuan bermain boneka. Sekalipun terdengar pilihan klise dan tak berdasar (lihat Connel, 2009), hal ini dapat menjadi sarana efektif penguatan identitas gender normatif pada anak.

Penguatan identitas gender normatif oleh orang tua kepada anak, tentunya akan menjadi kedekatan relasional sekaligus benteng yang kuat bagi anak atas arus wacana dan praksis LGBT.

Inayah Hikmahwati

Alumni Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (2017)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *