Bongak

Kesetaraan Gender melalui Pengarusutamaan Gender (PUG)

Sekat pemisah antara perempuan dan laki-laki kiranya menjadi permasalahan utama. Hal ini memberikan perbedaan signifikan terkait dengan hak dan kewajiban perempuan yang ada di masyarakat suatu daerah. Tentunya, hal tersebut melahirkan hal negatif yang tidak diinginkan sebagai seorang makhluk yang disebut dengan manusia. Melalui fenomena tersebut, Indonesia dapat dikatakan sigap untuk memberikan porsi seimbang melalui program Pengarusutamaan Gender (PUG) kepada laki-laki dan perempuan. Terkesan agak politis, tetapi hal tersebut harus disambut dengan tangan terbuka karena memberikan ruang dan penyadaran baru bagi masyarakat Indonesia.

PUG merupakan strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan perspektif gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan. PUG diamanatkan melalui Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 yang mengharuskan semua instansi pemerintah baik di tingkat nasional maupun daerah untuk mengatasi 29 ketidaksetaraan gender dan menghapuskan diskriminasi gender. Sebelumnya, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan hukum yang mendukung PUG. Misalnya, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), serta peraturan-peraturan terkait pekerjaan, perlindungan korban kekerasan, dan kesehatan reproduksi.

Program ini dibangun untuk mengintegrasikan perspektif gender menjadi satu dimensi integral dari bagian perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan. Program ini dapat dikatakan memberikan hal positif kepada masyarakat Indonesia karena diharapkan melalui program ini dapat menghasilkan pengalokasian sumber daya pembangunan menjadi lebih efektif, dapat dipertanggungjawabkan, dan adil dalam memberikan manfaat pembangunan bagi seluruh penduduk Indonesia, baik perempuan maupun laki-laki. Diksi seluruh tersebut dapat dimaknai bahwa perempuan dan laki-laki patut mendapatkan kesempatan, baik hak maupun kewajiban yang sama.

Pelaksanaan PUG dalam seluruh proses kebijakan yang nantinya diharapkan akan menjadi acuan perencanaan dan penganggaran untuk menjamin program dan kegiatan dibuat oleh seluruh lembaga pemerintah, baik pusat maupun daerah, agar menjadi sebuah wadah yang responsif gender. Dengan kata lain, pemerintah menciptakan sebuah strategi pembangunan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui berbagai pengintegrasian pengalaman, kebutuhan, aspirasi perempuan dan laki-laki dalam berbagai kebijakan dan program, mulai dari seluruh tahapan, yaitu perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pemantauan.

Jika membahas terkait perencanaan dan penganggaran yang responsif gender, tindakan tersebut merupakan perencanaan yang disusun dengan mempertimbangkan empat aspek, yaitu akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat yang dilakukan secara setara antara perempuan dan laki-laki. Dengan kata lain, perencanaan dan penganggaran tersebut mempertimbangkan aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan seluruh pihak, baik perempuan maupun laki-laki dalam seluruh rangkaian kegiatan. Pemerintah mengungkapkan bahwa perencanaan dan penganggaran yang responsif gender bukanlah penyekat atau mengotakkan perempuan dan laki-laki, tetapi sebuah kerangka kerja atau analisis untuk mewujudkan keadilan dalam penerimaan manfaat pembangunan.

Salah satu contoh yang dapat dilihat adalah penggunaan istilah Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak yang digunakan dalam lingkup formal. Hal ini menunjukkan bahwa PUG berusaha dilakukan melalui tindakan kecil yang ada di lingkungan formal. Penggunaan diksi Ibu-Ibu sebagai representasi perempuan haruslah diakui sebagai kesadaran pemerintah untuk mampu memberikan kesempatan yang sama untuk seluruhnya.

Pengaplikasian PUG di Indonesia tidak hanya kata sapaan Ibu-Ibu yang dihadirkan terlebih dahulu, tetapi juga adanya pemberian porsi yang seimbang untuk lapangan pekerjaan yang berbau dengan kedinasan, seperti Aparatur Sipil Negara (ASN), misalnya. Proses penyeleksian ASN mampu dikatakan sangat mengaplikasikan PUG karena di dalamnya tidak ada jenis kelamin yang diminta sebagai syarat administrasi. Semoga hal tersebut terterap ke semua lapisan.

Pengaplikasian PUG merupakan upaya untuk mencapai kesetaraan hak dan kesempatan antara perempuan dan laki-laki dalam semua aspek kehidupan, termasuk politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Contoh yang paling relevan adalah perempuan Indonesia mampu untuk masuk ke dunia politik dan pemerintahan, dalam partisipasi lembaga legislatif dan eksekutif. Selain itu, adanya berbagai program pemerintah untuk membantu perempuan dalam mengembangkan usaha kecil dan menengah. Lalu, adanya hal lain yang bertujuan mengatasi kesenjangan upah dan kesempatan kerja antara perempuan dan laki-laki.

Kita pun dapat melihat dampak dari PUG dalam bidang pendidikan dan kesadaran masyarakat yang tentunya membantu mengubah perlahan pola pikir dan norma sosial yang dapat dikatakan diskriminatif. Perempuan mampu untuk mendapatkan kesempatan yang besar dalam berkontribusi dalam segala aspek. Nyatanya, walaupun Indonesia masih berbau kultur partiarkal, PUG sangat didukung oleh pihak-pihak yang sadar atas kesetaraan gender. Hal ini pun memancing organisasi masyarakat sipil dan gerakan sosial yang berperan dalam mengadvokasi PUG di Indonesia melalui advokasi, pelatihan, dan kesadaran mengenai isu-isu gender yang penting bagi perempuan dan masyarakat secara menyeluruh dan komprehensif.

PUG dapat dikatakan sebagai pembuktian bahwa pemerintah mendukung kesetaraan gender baik perempuan maupun laki-laki untuk tumbuh dan mendapatkan berbagai manfaat. PUG hadir sudah lama di Indonesia dan semestinya menjadi pijakan untuk menyamakan kesempatan untuk tumbuh bersama demi tujuan bersama. PUG menjadi dasar untuk menghilangkan diskriminasi dan tantangan yang ada di masyarakat, seperti kekerasan terhadap perempuan, kesenjangan upah dan kesempatan kerja, akses terbatas terhadap pendidikan dan kesehatan, serta yang paling utama adalah terkait dengan norma sosial masyarakat Indonesia yang masih bersifat patriarkal. Sedikit demi sedikit, semua lapisan masyarakat harus memberikan penyadaran melalui hal kecil bahwa kesetaraan sudah ada di Indonesia, salah satunya diupayakan melalui PUG. Oleh karena itu, semestinya, tidak ada kata untuk mengotak-ngotakkan perempuan dan laki-laki.

Roma Kyo Kae Saniro

Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *