Bongak

Cerita Deli Maatschappij dan Kehadiran Tembakau Deli Tempo Dulu

Di balik kisah yang tak tergantikan, terurai jejak sejarah perkebunan Deli dengan begitu indah. Cerita ini bermula dari saat-saat menegangkan ketika Jacobus Nienhuys, seorang pionir berani, memasuki wilayah yang belum tersentuh di Sumatra Timur. Sebuah kisah yang tertulis dengan indah dimulai ketika seorang sultan bijaksana dengan hati terbuka menyambut kedatangan para pionir Belanda yang penuh semangat untuk membangun perkebunan tembakau yang menjanjikan. Sebagai bentuk kemurahan hati, tanah konsesi yang tersembunyi di hulu Sungai Deli diberikan kepada mereka, membentang luas sejauh mata memandang hingga mencapai 4000 bau.

Pada tanggal 6 Juli 1863, kapal bernama Josephine berlabuh di muara yang gemerlap, Kuala Sungai Deli. Di atas kapal gagah itu, sosok yang menarik perhatian adalah Jacobus Nienhuys, tokoh yang penuh dedikasi. Ia datang bersama wakil dari perusahaan dagang terkemuka, J.F. van Leeuwen & Co, yang berbasis di Surabaya. Di tengah keramaian, tampak juga sosok pangeran bernama Syaid Abdullah Ibnu Umar Bilsagih, yang membawa cerita ajaib tentang potensi menanam tembakau berkualitas tinggi di Deli. Dengan semangat berkobar, Jacobus Nienhuys dan wakil perusahaan J.F. van Leeuwen & Co bersama-sama memutuskan untuk bertemu pangeran di tanah misterius Sumatra Timur.

Dengan tekad yang membara, Jacobus Nienhuys segera mengambil tindakan nyata. Ia tidak hanya bermimpi tentang kesuksesan, tetapi juga berusaha mewujudkannya. Dengan izin dari atasannya, ia maju dan memindahkan kegiatan penanaman tembakau dari Jawa ke tanah yang menjanjikan di Sumatra. Dalam surat yang terperinci dan cermat, ia merencanakan untuk memperoleh hak eksklusif dalam pembelian tembakau Deli dari penduduk setempat. Selain itu, ia berkeinginan untuk menanam tanah seluas 75 hektar sebagai lahan percobaan dan mendapatkan otoritas untuk membeli lahan tambahan seluas 300 hektar. Jacobus Nienhuys juga diberi wewenang untuk mempekerjakan buruh Cina dalam penanaman tembakau dengan upah yang rendah, asalkan mereka mematuhi petunjuk pengawas dengan seksama dan bekerja dengan penuh dedikasi sesuai peraturan yang berlaku.

Pada tahun 1868, kesuksesan Jacobus Nienhuys melampaui harapan dengan keuntungan lebih dari 100%. Bahkan, pada tahun 1869, keuntungannya hampir mencapai 200%. Prestasi yang luar biasa ini membuat Bank Nederlandsche Handel Maatschappij di Belanda percaya pada potensi perkebunan tembakau Deli. Saat diketahui bahwa daun tembakau Deli memiliki kualitas tinggi, keyakinan pun semakin kuat. Dengan demikian, penambahan modal berhasil diperoleh, lahan yang luas telah dimiliki, dan sebanyak 800 buruh Cina dengan upah rendah telah dipekerjakan dan didatangkan dari Semenanjung Malaya. Semua langkah ini membawa perkebunan tembakau Deli menuju arah yang lebih menjanjikan dan sukses.

P.W. Janssen, sebagai pendukung utama, telah memberikan tambahan modal yang signifikan. Sementara itu, peran penting J.T. Cremer, yang memiliki pengaruh di Nederlandsche Handel Maatschappij, sangat berarti dalam membangkitkan minat bank tersebut. Bahkan, hampir 50% dari seluruh saham berhasil dikuasainya. Dukungan finansial dan pengaruh Cremer memberikan dukungan yang kuat bagi perkebunan tembakau Deli dalam meraih kesuksesan dan pertumbuhan yang pesat.

Pada tanggal 28 Oktober 1869, Jacobus Nienhuys, P.W. Janssen, dan C.G. Clemen bersama-sama membentuk perseroan terbatas yang dikenal dengan nama Deli Maatschappij. Dalam perusahaan ini, P.W. Janssen menjabat sebagai direktur. Deli Maatschappij menjadi perusahaan pertama di wilayah Deli atau di Hindia Belanda yang dikembangkan oleh para pedagang dan pemilik perkebunan. Didirikan secara resmi pada tanggal 1 November 1869, perusahaan ini mencatatkan akta yang ditandatangani pada tanggal 12 Januari 1870. Pendirian Deli Maatschappij menjadi tonggak penting dalam sejarah perkebunan tembakau Deli dan memberikan landasan bagi perkembangan perusahaan ini di masa yang akan datang.

Tembakau Deli

Di tanah Deli, keajaiban alam yang memukau membentuk lanskap subur yang menyimpan rahasia kehidupan. Dengan gunung berapi yang pernah meletus dan memberi hujan lumpur yang menyuburkan tanah, Deli menjadi tempat yang tak mengenal musim kering atau musim hujan yang tak pernah berakhir. Musim hujan datang anggun di bulan Agustus dan berpamitan di bulan Januari, tetapi tetes-tetes hujan tetap turun untuk menyirami bumi ini, memberi kehidupan pada tanaman dan memenuhi ladang-ladang dengan harapan baru.

Dalam kondisi alam yang menjanjikan itu, para pengusaha perkebunan menemukan peluang emas di Deli. Dalam mencari ladang yang ideal, mereka selalu memperhatikan mutu tanah. Melalui belajar dan pengamatan yang bijaksana selama bertahun-tahun, mereka berhasil mengidentifikasi tanah paling subur untuk menanam tembakau berkualitas tinggi. Dengan upaya tak kenal lelah, mereka menciptakan tembakau yang dihargai di seluruh dunia, membawa kebanggaan dan keuntungan berlimpah.

Pada tahun 1863, perjalanan baru dalam budidaya tembakau di Deli dimulai oleh seorang saudagar Arab bernama Syaid Abdullah Ibn Umar Bilsagih. Namun, dengan keterbatasan modal, ia membutuhkan bantuan dari saudagar Belanda untuk membeli tanah dan memulai penanaman tembakau di Deli. Ia yakin bahwa dengan investasi yang berani di Deli, akan ada keuntungan yang besar dan usahanya akan berkembang pesat. Dengan tujuan ini, Syaid pergi ke Jawa untuk bertemu dengan pedagang tembakau Belanda. Dengan semangat, ia mempromosikan hasil unggulan Deli, terutama lada dan tembakau berkualitas terbaik. Ia menjelaskan bahwa Deli mampu menghasilkan ekspor sebanyak 30.000 pikul lada dan tembakau setiap tahunnya, dan Sultan Deli telah menyediakan tanah subur yang siap digarap bagi para penanam.

Kabar ini akhirnya mencapai Jacobus Nienhuys, seorang pria Belanda yang berada di Deli setelah pertemuan dengan Sayid Abdullah di Jawa. Nienhuys, yang diutus oleh Firma van Leeuwen en Maintz & Co sebagai agen pembeli tembakau, tertarik untuk melihat potensi Deli. Dengan menggunakan kapal sewaan, ia tiba di Kuala Deli pada bulan Juli 1863. Nienhuys langsung mengunjungi Sultan Deli untuk menyampaikan niatnya membuka perkebunan tembakau di tanah Deli.

Dengan keahliannya dalam menanam tembakau, Nienhuys mulai melakukan eksperimen di Kampung Martubung. Ia terpesona oleh kesesuaian kondisi tanah dan iklim di Deli untuk budidaya tembakau. Keputusannya untuk menanam tembakau sendiri setelah mendapatkan persetujuan Sultan Deli menjadi langkah mantap. Sultan juga memberikan izin kepada penduduk setempat untuk tetap menanam padi setelah panen tembakau, memperkuat ikatan antara pertanian dan masyarakat setempat.

Para kuli memilah daun tembakau di gudang tembakau di Deli Medan, yang diawasi oleh mandor Belanda, 1897 (Foto: nationalgeographic.grid.id)

Pemberian konsesi tanah menjadi kesempatan bagi elit pribumi, namun ada sisi kelam di baliknya. Pembukaan perkebunan melibatkan para pengusaha dan Sultan Deli, tanpa melibatkan suara rakyat jelata, terutama para pemimpin kampung yang memiliki kedudukan penting. Konsesi ini mengabaikan hak-hak masyarakat sebagai pemilik tanah ulayat, terutama tanah yang bukan milik Sultan. Sultan menganggap seluruh tanah adalah kepunyaannya dan ia memiliki kuasa penuh untuk memberikannya kepada siapa pun yang dianggap pantas, dengan syarat sebagian hasilnya harus diberikan kepadanya. Keputusan ini meninggalkan pertanyaan besar tentang keadilan dan kekuasaan di balik tirai perkebunan yang berkembang.

Dalam waktu sepuluh tahun, Keresidenan Sumatra Timur mencapai ketenaran dunia sebagai produsen tembakau terbaik. Ekspor tembakau ini menyumbang sepertiga dari total ekspor di Hindia Belanda. Perkebunan yang luas membentang sejauh 100 kilometer dari pusatnya dekat Medan, membentuk garis tak terputus ke arah timur laut, berbatasan dengan Aceh. Perkebunan ini juga meluas sejauh 100 kilometer ke arah selatan, menuju bukit-bukit di belakang kota Pematang Siantar. Bahkan, perkebunan mencapai lebih dari 200 kilometer ke arah tenggara, mencakup dataran tinggi di sekitar Prapat, di daerah Asahan. Pemandangan yang menakjubkan ini menggambarkan kebesaran dan kemakmuran perkebunan di Sumatra Timur pada masa itu.

Ahmad Muhajir

Dosen Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *