Mendengar kata ospek (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus), memori saya langsung rewind ke-14 tahun yang lalu saat masih mahasiswa baru di kampus hijau, Universitas Andalas. Masih teringat dengan jelas, saat itu saya diospek tiga kali: ospek asrama, ospek fakultas, dan ospek jurusan. Datang dari luar kota dan tidak menguasai bahasa Minang membuat rangkaian kegiatan ospek saat itu  menjadi menjadi kian dramatis dan menegangkan. Kini sudah 14 tahun berlalu, saya melihat ada beberapa hal yang harus dibicarakan dan didiskusikan mengenai ospek secara objektif. Beberapa fenomena yang saya temukan di lapangan bahwa saat ini muncul semacam riak-riak suara yang menentang atau bahkan dengan bahasa yang lugas menolak untuk ikut dalam acara ospek jurusan

Ospek Mengalami Pergeseran Makna

Secara bahasa, ospek adalah singkatan dari Orientasi Pengenalan Studi dan Kampus. Istilah ini sebenarnya tidak merata dipakai oleh mahasiswa, karena ada nama lain dari aktifitas tersebut yang sudah dipakai secara turun menurun dan melekat pada jurusan atau departemen tersebut seperti istilah pengkaderan, inisiasi, dan lain-lain. Secara awam, pengertian ini akan menghantarkan kita pada pemaknaan bahwa ospek adalah kegiatan yang bersifat sangat ilmiah. Bahkan Universitas Andalas merumuskan konsep dari ospek dengan istilah BAKTI (Bimbingan Aktivitas Kemahasiswaan dalam Tradisi Ilmiah Universitas Andalas) yang dilaksanakan setiap ajaran baru sebelum proses kuliah berlangsung.

Di tataran universitas, proses ospek cenderung berjalan lancar sesuai jalur, yaitu terkait dengan pengenalan studi dan kampus. Di tataran jurusan, ospek cenderung berbeda jalur kegiatan namun ‘dibungkus’ dengan istilah yang mengarah pada pengenalan studi dan kampus. Di sinilah kata ospek mengalami pergeseran makna. Hal ini bisa langsung diuji, silakan tanyakan dengan teman di sekeliling tentang kesan pertama kali ketika mendengar kata ospek. Pada akhirnya, kata ospek kurang bersahabat di telinga masyarakat karena sudah sering dihubungkan dengan kekerasan verbal ataupun non-verbal dari para mahasiswa senior.

Peserta Ospek adalah Generasi Z

Generasi Z adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kelompok generasi yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Meskipun tidak ada karakteristik yang dapat sepenuhnya menggambarkan semua individu dalam generasi ini, saya melihat ada beberapa kecendrungan yang terpola di kalangan generasi Z.

Pertama, generasi Z memiliki sense of social connection di mana Generasi Z cenderung sangat terhubung secara sosial melalui platform media sosial dan komunikasi digital. Hal ini menyebabkan persebaran informasi berjalan sangat cepat.

Kedua, pemikiran kritis. Generasi Z dididik dalam budaya yang menekankan pemikiran kritis dan analitis. Mereka cenderung menantang otoritas, mencari informasi secara mandiri, dan generasi ini juga bersemangat dalam mempelajari isu-isu sosial, lingkungan, dan politik.

Ketiga, inklusivitas dan diversitas. Generasi Z cenderung lebih terbuka terhadap perbedaan, menghargai inklusivitas, dan memperjuangkan keadilan sosial. Mereka memiliki pemahaman yang lebih luas tentang isu-isu sosial seperti kesetaraan gender, ras, dan hak asasi manusia.

Keempat, Generasi Z sangat mementingkan keseimbangan hidup dan kesehatan mental. Mereka lebih menyadari pentingnya menjaga kesehatan fisik dan emosional serta mencari cara-cara untuk mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan.

Atribut dan SOP Ospek Yang Tidak Relevan

Beberapa hari yang lalu saya berjalan di selasar Perpustakaan Pusat Universitas Andalas, dan perhatian saya langsung tertuju pada sekumpulan mahasiswa. Tidak ada yang salah dengan mahasiswa tersebut namun perhatian saya tertuju pada warna tali sepatu yang mereka kenakan, sangat mencolok, berwarna hijau stabilo. Setelah saya cari tau, ternyata itu adalah Standar Operasional Prosedur (SOP) yang sudah ditetapkan oleh senior-senior di kampus.

Ada juga kasus di mana mahasiswi tidak boleh menggunakan bedak, lipstik, dan make up lainnya selama berada di kampus. Ada juga mahasiswa yang harus selalu menggunakan celana kain selama berada di kampus. Ada juga kasus di mana mahasiswa dilarang membawa motor masuk ke dalam lingkungan fakultas maupun jurusan, sehingga motor mahasiswa mesti diparkir di tempat-tempat umum di luar lingkungan fakultasnya, seperti di perpustakaan dan pusat kegiatan mahasiswa.

Beberapa fenomena di atas adalah sebagian fenomena yang dikritik langsung oleh generasi Z. Mereka tidak melihat adanya relevansi yang jelas antara atribut atau SOP yang sudah ditetapkan bahkan diwariskan dari generasi sebelum mereka dengan esensi pengenalan studi dan kampus. Mereka berpendapat bahwa sebagian atribut dan SOP yang ditetapkan hanyalah sebuah usaha untuk merendahkan dan mempermalukan diri mereka. Mahasiswa generasi Z juga lebih cenderung menerjemahkan alasan-alasan yang dikemukakan senior dibalik atribut dan SOP sebagai hal-hal yang bersifat cocokologi karena bukan merupakan the best and the only way to get the value. Pertanyaan yang seringkali ditanyakan kepada saya, jika memang atribut dan SOP tersebut adalah satu-satunya cara agar nilai-nilai ideal dari masing-masing jurusan bisa diraih, mengapa senior-senior tersebut tidak melakukan hal yang sama sampai sekarang?

Kampus Menjadi Tidak Menyenangkan

Kampus adalah pusat inovasi. Kampus adalah lingkungan yang menyediakan kesempatan untuk pertumbuhan akademik, penelitian, dan pengembangan teknologi. Dengan fenomena ospek yang disebutkan di atas, ada semacam kekhawatiran saya bahwa kampus tidak lagi menjadi tempat yang menyenangkan. Bagaimana mungkin mahasiswa bisa menjadikan kampus sebagai tempat dan pusat inovasi sedangkan mereka berada dalam kondisi yang resistan terhadap atribut dan SOP.

Hal ini diperkeruh pula oleh senior-senior yang menyangkutpautkan antara persoalan pengkaderan dengan asistensi laboratorium, di mana mahasiswa akan merasa terancam gagal dalam perkuliahan mereka hanya karena mereka bermasalah di pengkaderan. Hal ini juga yang mengakibatkan profesionalitas asisten laboratorium dipertaruhkan.

Melihat keseluruhan permasalahan di atas, rasanya penting untuk merumuskan ulang  atau menerjemahkan kembali bagaimana sebenarnya ospek atau pengkaderan dilakukan di tataran jurusan agar nilai-nilai yang dianut bisa terinternalisasi dengan baik dengan cara-cara yang lebih relevan.

Jonson Handrian Ginting

Dosen Departemen Antropologi, FISIP, Universitas Andalas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *