“Cina semata-mata sepadan dengan kekayaan”
(James T. Siegel, Pikiran-pikiran Awal tentang Kekerasan 13 dan 14 Mei 1998 di Jakarta)
Sepenggal kalimat di atas begitu impresif bagi saya, pembaca artikel James T. Siegel (1998), Pikiran-pikiran Awal tentang Kekerasan 13 dan 14 Mei 1998 di Jakarta. Artikel ini berbicara tentang gejolak politik dan kekerasan Mei 1998 di Jakarta, khususnya. Sebutan Cina kala itu adalah kata hinaan yang dipaksakan pemakaiannya oleh pemerintah . Berbeda dengan Tionghoa, suatu sebutan yang dirasa lebih hormat tapi jarang didengar. Cina saat itu tidak diidentifikasi berdasarkan hal-hal yang bernada etnis, kesukuan (indigeneous), praktik berbahasa, dll, melainkan lebih kepada status ekonomi atau kekayaan. Simplifikasi yang berlebihan kiranya, tapi terasa logis. Logis, karena masa Orde Baru (dinilai) memperlihatkan pengistimewaan hak-hak ekonomi oleh Soeharto terhadap orang Cina atau peranakan Cina. Oleh karena itu, dapat dimaklumi bila orang-orang Indonesia (atau dalam artikel Siegel disebut sebagai pribumi dan spesifiknya sebagai massa) membangun narasi kolektif tentang Cina yang kaya. Cina yang diasosiasikan dengan kekayaan.
Bukankah kekayaan adalah bagian dari kelas sosial? Dan kelas sosial (nama lainnya adalah golongan sosial) merupakan salah satu faktor pembentuk etnisitas? Iya. Tapi kelas sosial bukanlah faktor yang utama dan menentukan. Pada 1998 dan dalam konteks Indonesia yang plural, kelas sosial di sini agak berbeda, yakni tentang masalah hubungan etnis dan kelas sosial yang menyangkut Cina yang menjadi sublim. Sebagaimana dalam artikel Siegel, seorang Cina saat 1998, mulanya dikenali dari hal yang fisikal-biologis: berkulit putih, bermata sipit, dan bila bicara konsonan (r) maka akan terdengar (l)—sebagaimana cerita perkosaan, baik yang disebut Siegel dalam artikelnya maupun dalam cerpen Clara karya Seno Gumira Ajidarma. Tapi, pengenalan awal yang fisikal-biologis tersebut seakan tidak berarti apa-apa, dan lantas diabaikan saat seorang pribumi dapat lebih dulu memastikan bahwa rumah-rumah mewah atau toko-toko besar adalah (milik) Cina. Atau dengan kata lain, seorang Cina memperoleh identitas etnisnya, pertama kali melalui rumah mewah dan toko besar. Alias, kekayaan dulu yang lihat baru kemudian hal-hal fisikal-biologis.
Simplifikasi dan asosiasi yang kaya adalah Cina, dalam pemaknaan etnisitas Cina, lantas menjadi tak jelas. Ia tak punya demarkasi. Terasa tak masuk akal. Konstruksi etnisitas Cina masa 1998 lebih bernuansa ekonomi-politik. Lebih lanjut, Cina di Indonesia masa 1998, dipandang sebagai sekelompok etnis kelas dominan di ranah ekonomi yang berkonotasi negatif sebagai penjajah, perampas kekayaan pribumi. Cina memperkaya diri dengan cara memiskinkan pribumi. Bila, kelas sosial dalam Marxis diukur dan ditentukan berdasar posisi ekonomis dan menyangkut wacana kapitalistik serta kekuasaan, maka kelas sosial dalam etnisitas di sana tidak diukur hanya daripada itu, melainkan lebih menyangkut kebencian yang dipupuk oleh Soeharto dan Orde Baru.