Sebelum adanya perkebunan yang mengubah sejarah, Sumatra Timur adalah daerah dataran rendah yang dilindungi oleh hutan belantara. Wilayah yang sekarang dikenal sebagai Sumatra Timur meliputi garis pantai di bagian timur pulau Sumatra, membentang dari Kabupaten Aceh Timur, Langkat, Deli Serdang, Asahan, hingga Labuhan Batu, membentuk pemandangan sepanjang 280 kilometer dari barat laut hingga tenggara. Bagian utara wilayah ini memiliki lebar sekitar 30 kilometer, sedangkan bagian selatan meluas sekitar 100 kilometer dengan keindahan yang menakjubkan.
Pada masa lalu, Deli adalah wilayah yang memiliki luas tanah yang terbengkalai tanpa adanya peran manusia. Penduduknya hidup secara sederhana di kampung-kampung yang tidak mencolok. Rumah-rumah mereka terbuat dari kayu dengan atap dari rumbia dan nipah. Pakaian mereka yang kotor dan lusuh mencerminkan kehidupan terbatas yang mereka jalani. Meskipun begitu, Deli memiliki tanah subur yang menjadi sumber utama penghidupan bagi penduduknya yang mengandalkan sektor pertanian.
Pada abad ke-18, Sumatra Timur menjadi tempat tinggal bagi berbagai kelompok etnis dengan latar belakang budaya yang beragam. Suku Melayu, Batak, Jawa, Aceh, Minangkabau, orang Tionghoa, orang Eropa, dan banyak lainnya mendiami wilayah Sumatra Timur. Suku Melayu dan Batak dapat dianggap sebagai penduduk asli Sumatra Timur, sedangkan kelompok lainnya merupakan pendatang yang menetap di sana.
Orang Melayu Pesisir yang tinggal di dataran rendah dan sepanjang pantai Sumatra Timur, memiliki akar suku bangsa Melayu. Mereka yang dikenal sebagai “orang Melayu Pesisir Sumatra Timur” adalah keturunan campuran antara penduduk asli Melayu dan suku bangsa Melayu yang bermigrasi dari Johor, Melaka, Riau, serta suku Aceh.
Etnis yang tinggal di Sumatra Timur berasal dari berbagai daerah, termasuk Melayu Langkat, Deli, Serdang, Asahan, dan Labuhan Batu. Mereka merupakan keluarga pesisir yang membangun peradaban mereka di sepanjang garis pantai yang indah. Di pedalaman, suku Batak Karo dan Simalungun menempati perbukitan tinggi di bagian barat Sumatra Timur.
Keberagaman budaya dan politik tercermin dalam kehidupan mereka. Sistem politik masyarakat Batak Simalungun terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil seperti Siantar, Tanah Jawa, Panei, Dolok, Raja Panai, dan Silimaluta, yang menunjukkan keanggunan dan kepribadian mereka. Sistem kekerabatan mereka mengikuti pola kelompok Batak lainnya, dengan marga sebagai pusat perhatian dan identitas yang kuat.
Dalam administrasi kolonial, Sumatra Timur adalah wilayah residensi yang terdiri dari empat afdeling yang dipimpin oleh asisten residen. Keempat afdeling tersebut adalah Langkat, Deli dan Serdang, Asahan, serta Simalungun dan Karo. Setiap afdeling dikelola oleh seorang asisten residen yang bertanggung jawab kepada residen. Pada awalnya, ibu kota residensi Sumatra Timur berada di Bengkalis, tetapi kemudian dipindahkan ke Medan pada tahun 1887 sebagai tanggapan terhadap perkembangan pesat perkebunan di wilayah tersebut.
Wilayah afdeling dibagi menjadi onder-afdeeling yang dipimpin oleh kontrolir. Onder-afdeeling kemudian dibagi lagi menjadi distrik yang diperintah oleh ajudan distrik atau demang. Pejabat pribumi diangkat sebagai kepala negeri di tingkat onder-distrik atau negeri. Struktur administrasi kolonial ini mencerminkan hierarki dengan pejabat pribumi dan pejabat Eropa yang bertanggung jawab atas pemerintahan di berbagai tingkatan wilayah.
Sebelum pedagang Barat tiba, penduduk setempat, terutama suku Batak Karo dan Melayu, telah dengan bijaksana mengelola tanah vulkanik yang kaya di wilayah mereka. Mereka menanam padi, cabai, dan tembakau secara bergantian dengan hati-hati, menghargai kesuburan alam. Sebagai petani sederhana, mereka menggunakan sistem berladang yang berkelanjutan. Mereka membuka lahan dengan tekun dan membakar hutan saat musim kemarau, dengan penuh perhatian merawat tanaman umbi-umbian, sayuran, tebu, dan pisang yang menjadi sumber kehidupan mereka.
Kehidupan ekonomi di Sumatra Timur sebelum kedatangan bangsa asing didasarkan pada perdagangan tradisional. Masyarakat terlibat dalam kegiatan ekspor-impor untuk memenuhi kebutuhan mereka. Perdagangan di wilayah Sumatra Timur, terutama di Deli, dilakukan secara terbuka. Penduduk tidak hanya menanam untuk kebutuhan pribadi, tetapi juga untuk tujuan perdagangan, baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Pada tahun 1862, penduduk Sumatra Timur terlibat dalam kegiatan ekspor seperti lada, beras, emas, ikan kering, gambir, minyak, keris, gading, sumbu badak, tembakau, kapur barus, hasil hutan, dan bijih timah. Mereka juga mengimpor barang seperti tekstil kasar dan halus, candu, mesiu senapan, dan barang pecah belah. Kegiatan ekspor-impor ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka, memperkuat ikatan budaya dan ekonomi di wilayah ini.
Bangsa Inggris menjadi bangsa Eropa pertama yang tertarik dengan wilayah pantai Timur Sumatra sebelum Belanda. Produksi lada dari Sumatra Timur menjadi sumber barang impor yang berharga bagi mereka. Wilayah pantai Timur Sumatra juga menjadi pasar strategis bagi barang-barang ekspor dari Penang. Kesungguhan Inggris dalam menjelajahi wilayah ini terlihat melalui perjalanan John Anderson pada tahun 1822-1823 untuk menyelidiki dan mengumpulkan informasi tentang wilayah tersebut. Laporan perjalanannya dicatat dalam buku berjudul Mission To The East Coast of Sumatra yang memberikan wawasan mendalam tentang potensi dan kekayaan wilayah tersebut.
Dalam laporan tersebut, John Anderson mencatat bahwa masyarakat Sumatra Timur telah mulai mengembangkan budidaya tembakau meskipun dalam skala kecil. Mereka tidak hanya berusaha mencari keuntungan, tetapi juga memenuhi kebutuhan sehari-hari. Suku Melayu dan Batak menanam tembakau dengan cara sederhana, menyebar bibit di kebun kecil dan memindahkannya setelah beberapa waktu ke kebun yang lebih luas. Mereka menanam tembakau dengan jarak yang teratur dan memetik daun tembakau yang hampir matang secara bertahap. Proses ini dilakukan untuk mendapatkan hasil tembakau yang siap dijual.
Dengan dukungan modal dari Nederlandsche Handel Maatschappij, usaha Jacobus Nienhuys berkembang pesat. Deli Maatschappij menguasai sekitar 75 perkebunan tembakau di Sumatra Timur dengan pengusaha dari berbagai negara. Perkebunan ini menjadi semakin internasional dengan partisipasi pengusaha asing yang berkontribusi dalam perkembangan industri perkebunan tembakau di Deli.
Dengan transformasi ini, Sumatra Timur mengalami perubahan besar dalam sejarahnya. Perkebunan tembakau membawa dampak sosial, budaya, dan ekonomi yang signifikan bagi masyarakat setempat dan memperkenalkan era baru dalam perkembangan daerah tersebut.
Bagian pertama tulisan ini dapat dibaca diĀ Sumatra Timur Masa Silam (Bagian I)