BongakSele - Sele

D’Koret: Teater Komedi Perancis di Tanah Pasundan

Pelit, kikir, kejam, bengis, dan keji. Itulah kata-kata yang pantas menggambarkan tokoh Tuan Bakir Tankrama atau Abah. “Tuan Abah selalu benar di mana pun dan kapan pun”. Ini adalah penggalan dialog yang dilontarkan oleh Abah sebagai pembelaan diri. Abah adalah salah satu tokoh dalam pementasan teater D’Koret garapan Studiklub Teater Bandung (STB) yang digelar di Padepokan Seni Mayang Sunda Bandung, Jawa Barat, Jumat (31/10) malam. Abah dipandang kikir oleh banyak orang, terutama oleh anak-anaknya sendiri. Kikir, ya, sifat dasar manusia. Sifat inilah yang digunakan sebagai ide dasar dalam penggarapan cerita dari teater D’Koret ini. IGN Arya Sanjaya, selaku sutradara mengakui hal ini.

Pementasan D’Koret seperti menghidupkan kembali kenangan pada angkatan Balai Pustaka. Masa itu, Nur St. Iskandar mengadaptasi drama komedi dari Perancis, D’Avare, yang ditulis oleh Moliere pada tahun 1669. Selain mengadaptasi ke dalam bahasa dan konteks lokal, Iskandar juga berperan sebagai si Bakhil. Bakhil, atau kikir, atau koret dalam bahasa Sunda.

Kekirian Abah (diperankan oleh Indrasitas) pada akhirnya memunculkan banyak masalah. Kedua anaknya, Sarwani (diperankan Ahmad Setyawan), sangat kesulitan saat hendak menikahi Cempaka Sari (diperankan Tiara Anjani), karena pastilah tidak dibolehkan. Kekasih Sarwani adalah orang yang miskin, dan Abah yang kikir tentu saja tidak akan memperbolehkan. Hal ini menjadi masalah bagi Sarwani dan Cempaka Sari. Begitu pula bagi Jaka Kelana (diperankan Kemal Ferdiansyah), yang juga hendak menikahi Angsana Wangi (diperankan Hanna Rosiana). Masalah lain juga muncul saat Abah ingin menikahi seorang perempuan yang ia kenal melalui Mak Melur (diperankan Sugiyati S.A.) yang mencomblanginya. Namun, sayangnya, perempuan yang ingin dinikahi Abah ternyata kekasih dari anaknya, Angsana Wangi. Banyak hal kemudian dilakukan Abah untuk meluluskan niatnya.

Begitu peliknya masalah yang dihadapi Abah, sehingga ia memutuskan memanggil Mantri Polisi (diperankan Yanto Athenos) untuk menyelesaikan masalah yang dianggap merugikan dirinya ini. Satu kasus tak kunjung selesai, muncul kembali kasus lain, yaitu hilangnya harta Abah. Abah naik darah dan asal menuduh. Orang yang paling gencar dituduh adalah Sarwani. Waktu demi waktu pertunjukan berjalan. Cerita ini pun diakhiri dengan bertemunya Raden Satya Negara (diperankan Tjetje Raksa Muhamad) yang sebenarnya adalah Raja Banten, yang ternyata ayah dari Sarwani dan Angsana Wangi. Pertemuan ini menjadi kejutan bagi penonton.

Salah satu adegan dalam pementasan “D’Koret” oleh Studiklub Teater Bandung (STB) (3/10) (Foto: Sawung/sawung.blogspot.com)

Komedi Perancis ala Pasundan

Sebelas tokoh memainkan perannya masing-masing. Sebagian besar tokoh terlihat sudah lihai dalam memainkan perannya, walaupun ada beberapa tokoh yang masih terbata-bata dan lupa dialog, seperti yang terjadi pada tokoh Sarwani. Kehadiran kucing tidak diundang ke atas panggung secara berulang, tidak lantas membuat pertunjukan berantakan. Tokoh Abah dengan santai dan lihai dapat berimprovisasi atas kondisi tersebut.

Dari segi tata rias dan busana, terlihat sangat menguatkan karakter tokoh. Budaya kolonial dengan budaya lokal setempat berpadu menjadi satu riasan dan busana yang dikenakan pemain, dan membawa atmosfir pementasan seakan benar-benar hidup di zaman tersebut.

Pementasan kali ini membawa penonton kembali pada zaman dahulu, sekitar tahun 1930-an. Penyanyi dan pemusik memainkan musik stamboel, mengiringi alunan lagu Yado-Yadi dan Keroncong Betawi. Musik pembuka seakan menjadi mesin waktu yang menghantarkan penonton kembali ke zaman dahulu. Meski begitu, keapikan musik di sini ternyata tidak begitu sempurna. Pada saat pergantian adegan, beberapa kali musik datang terlambat. Keterlambatan ini ditangkap saat tokoh sudah berdialog, sementara musik masih berbunyi.

Berakhirnya alunan lagu yang sedap sebagai tanda menyalanya lampu-lampu panggung. Tiga buah kursi dan meja, beberapa pajangan yang tertempel, beberapa guci dan pot dengan tanaman terlihat di atas panggung. Dengan komposisi properti tersebut, panggung berubah menjadi sebuah ruang tamu ala Pasundan.

Padepokan Seni Mayang Sunda seakan gudang tawa pada malam tersebut. Pementasan D’Koret merupakan teater komedi yang diisi oleh berbagai dialog lucu dari para pemeran, sehingga gelak tawa di antara penonton pun pecah. Namun, sayangnya bagi penonton yang tidak memahami bahasa Sunda, tentu tidak akan paham atau ia akan tertawa belakangan. Wajar, ini adalah teater komedi Perancis di tanah Pasundan. Walaupun menimbulkan gelak tawa, tetap saja sindiran terselip, tentang bagaimana kekuasaan absolut yang menimbulkan berbagai masalah. Hal ini dapat dilihat dari sifat tokoh Abah yang pelit, kikir, kejam, berkuasa, bengis, dan keji. Tokoh Abah begitu berkuasa dengan sifat jelek di dalam dirinya, seakan ia tidak peduli dengan orang lain. Ia hanya memikirkan dirinya sendiri karena takut kekuasaan dan kekayaan yang dimilikinya diambil orang lain. Sikap dan sifat Abah yang demikian menimbulkan masalah, seperti saat anaknya, Jaka Kelana, dengan berani memberontak, menentang pernikahan ayahnya dengan kekasihnya sendiri, Angsana Wangi.

Perancis di tanah Pasundan, ya, itulah yang dirasakan oleh para penonton. Teater komedi Perancis D’Avare hadir dengan gaya Pasundan. Walaupun mengambil wilayah Banten dan sekitarnya pada kurun waktu tahun 1930-an sebagai latar belakang peristiwa, suasana Pasundan tetap sangat terasa. Dari judul, D’Avare digubah menjadi D’Koret. Koret merupakan bahasa Sunda, yang arti dalam bahasa Indonesia adalah kikir. Bumbu yang tertera pada judul pementasan ini menjadikan penonton terhanyut dalam suasana Pasundan. Suasana Pasundan juga dapat dirasakan penonton melalui dialog berbahasa Sunda yang kental dari tokoh dalam pertunjukan. Selain judul dan dialog, suasana Pasundan lainnya dapat dinikmati dari tata rias dan busana para tokoh, tata panggung, hingga musik latar.

IGN Arya Sanjaya, selaku sutradara, kiranya telah berhasil membawa penonton menemukan kenangan komedi lawas. Komedi yang dulu awalnya tercipta di Perancis, kini hadir di tanah Pasundan dan dengan gaya Pasundan. Selain itu, D’Koret yang dikemas gaya realis ini, setidaknya juga telah memberikan sumbangan bagi perkembangan teater adaptasi di Indonesia.

Roma Kyo Kae Saniro

Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *