Kemajuan era digital mampu memicu penyebaran berita bohong (fake news) dan hoaks yang menyesatkan. Keadaan tersebut telah menjadi tantangan serius bagi masyarakat kiwari. Kharisma Dhimas Syuhada (2017) mengatakan bahwa berita bohong adalah berita buatan atau berita palsu yang sama sekali tidak berlandaskan fakta, kenyataan atau kebenaran. Sedangkan hoaks merupakan informasi palsu atau berita yang bisa berisi fakta namun telah dipelintir atau direkayasa. Salah satu faktor yang mempercepat dan memperluas jangkauan penyebaran berita bohong dan hoaks adalah kebebasan bersuara di media sosial. Dengan kata lain, media sosial adalah tempat utama bagi penyebaran berita bohong dan hoaks. Media sosial menjadi sarana yang memungkinkan para penggunanya untuk merepresentasikan diri, berinteraksi, bekerja sama, dan berbagi secara virtual di internet. Dengan beberapa klik saja, konten yang tidak terverifikasi serta informasi yang salah dapat dengan mudah menyebar ke berbagai pengguna lain di seluruh dunia.
Berita bohong dan hoaks sering kali dibuat dengan sangat cermat sehingga sulit dibedakan dari berita dan informasi yang benar. Pengguna media sosial sering kali tidak memiliki sumber daya atau pengetahuan yang cukup untuk memverifikasi kebenaran informasi yang mereka dapatkan, dan celah inilah yang lantas mempermudah penyebaran berita bohong. Sering kali pula berita bohong dan hoaks diproduksi dengan niat mempengaruhi opini publik, memicu konflik, atau mendapatkan keuntungan ekonomi. Selain itu, ada pula peran lain dari gelembung filter (filter bubble) turut memperparah penyebaran berita palsu. Gelembung filter adalah istilah yang menjelaskan bagaimana algoritma media sosial menentukan konten yang sesuai dengan preferensi dan pandangan pengguna media sosial. Suatu tipe berita tertentu dapat muncul secara terus-menerus pada laman media sosial seorang, sehingga membatasi peluang untuk menambah wawasan dan pengetahuan baru yang tidak setipe. Hal ini tentu berdampak pada kemampuan pengguna media sosial dalam menyaring berita bohong dan hoaks. Akibatnya, pengguna cenderung terpapar informasi yang hanya memperkuat pandangan yang sudah ada, dan ini bisa memperkuat konfirmasi bias.
Salah satu berita bohong yang mendapat perhatian pengguna media sosial, misalnya, adalah berita percobaan penculikan siswi SD di Kota Padang, Sumatra Barat. Berita ini sempat viral dan membuat panik masyarakat, khususnya para orang tua. Setelah penyelidikan lebih dalam dilakukan oleh polisi, terungkap bahwa berita tersebut dikarang oleh seorang siswi itu sendiri karena terlambat datang ke sekolah dan takut mendapat hukuman.
Usaha dalam mengatasi penyebaran berita bohong dan hoaks yang menyesatkan memerlukan upaya mitigasi yang aktif. Pertama, peran pengguna media sosial dan internet umumnya, sangat penting. Penting untuk meningkatkan literasi media dan literasi digital, sehingga pengguna memiliki keterampilan untuk memverifikasi informasi sebelum mempercayainya atau membagikannya. Pendidikan yang lebih baik tentang cara mengidentifikasi berita bohong, memeriksa sumber informasi, dan melihat konteks adalah langkah awal yang penting. Kedua, tanggung jawab perusahaan media sosial dan platform daring juga tidak bisa diabaikan. Perusahaan media sosial perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk memerangi penyebaran berita bohong dan hoaks dengan memperkuat kebijakan dan algoritma mereka. Mereka dapat mengimplementasikan mekanisme yang lebih ketat untuk memverifikasi keaslian konten, memberikan peringatan tentang konten yang diragukan, atau mengurangi penyebaran konten yang telah teridentifikasi sebagai berita bohong dan hoaks.
Kolaborasi antara platform media sosial, organisasi berita, dan peneliti juga penting. Dengan bekerja sama, mereka dapat mengembangkan alat dan sumber daya yang lebih efektif untuk mendeteksi dan mengungkap berita bohong. Proyek kolaboratif seperti verifikasi fakta dan upaya mempromosikan literasi media digital dapat membantu meningkatkan pemahaman dan kesadaran publik tentang masalah ini. Selain mitigasi langsung, penting juga untuk memperkuat kekritisan pengguna terhadap informasi yang mereka konsumsi. Memperkuat budaya skeptisisme dan keterbukaan atas suatu berita atau informasi juga tak kalah penting untuk melihat berbagai sudut pandang dapat membantu mengurangi dampak gelembung filter. Dengan memeriksa sumber informasi yang berbeda dan menghargai pluralitas opini, kita dapat mencegah penyebaran berita bohong dan hoaks yang jelas akan mempersempit pemahaman seseorang. Upaya-upaya mitigasi yang melibatkan pengguna, perusahaan media sosial, dan kolaborasi lintas sektor, diharapkan dapat mengurangi efek negatif dari penyebaran berita bohong dan hoaks, serta dapat mempromosikan media sosial yang lebih bertanggung jawab.