Beberapa waktu lalu, kata cawe-cawe berseliweran di berbagai berita. Hal ini dipantik oleh Presiden Jokowi yang menyatakan akan cawe-cawe di pemilu 2024 mendatang. Pernyataan ini kemudian dimuat di media massa nasional pada 29 Mei 2023, dan sejak saat itu kata cawe-cawe mengundang tanya masyarakat dan kemudian ramai dibicarakan. Lantas apa makna kata cawe-cawe?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cawe-cawe berasal dari bahasa Jawa yang dapat dimaknai ‘ikut membantu mengerjakan (membereskan, merampungkan); ikut menangani’. Contoh kalimat yang disertakan oleh KBBI adalah untuk mengatasi kepincangan generasi muda, kita yang tua-tua hendaknya turut cawe-cawe mengatasinya. Makna cawe-cawe ini pun dikuatkan oleh pendapat seorang Guru Besar Ilmu Linguistik Universitas Gajah Mada, I Dewa Putu Wijana, yang mengungkapkan bahwa cawe-cawe memang berasal dari bahasa Jawa, yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia dan dapat dimaknai ‘ikut serta dalam menangani sesuatu’.
Wijana pun memberikan contoh lain penggunaan kata cawe-cawe yang lebih mudah dipahami, aku arep cawe-cawe ngewangi ibu neng dapur (aku mau ikut bantu ibu di dapur) dan aku cawe-cawe melu macul (aku ikut mencangkul). Dalam konteks kedua contoh kalimat barusan, kata cawe-cawe dapat dimaknai sebagai ‘membantu’. Dari sini, dapat diketahui bahwa kata cawe-cawe sangatlah cair dan dapat digunakan di berbagai konteks percakapan atau bahasa (tidak hanya terbatas pada percakapan politik saja).
Wijana melanjutkan bahwa kata cawe-cawe pada awalnya beresonansi netral. Netralitas cawe-cawe kemudian berubah ke nuansa negatif, terutama saat digunakan oleh lawan politik Jokowi. Hal ini mengacu pada tafsir kebanyakan orang atas cawe-cawe-nya Jokowi, yang berarti Jokowi ingin mengintervensi peta politik menjelang pemilu 2024.
Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh CNBC Indonesia, setidaknya ada 5 konteks yang dapat dijelaskan dalam penggunaan kata cawe-cawe oleh Jokowi. Pertama, Jokowi ingin memastikan bahwa pemilu serentak 2024 mendatang dapat berlangsung secara demokratis, jujur, dan adil. Kedua, Jokowi berharap bahwa pemilu tidak meninggalkan polarisasi atau konflik sosial di masyarakat. Ketiga, Jokowi berharap bahwa pemimpin nasional kedepan dapat mengawal dan melanjutkan kebijakan-kebijakan strategis yang telah disusun dan dirintis oleh pemerintahan era Jokowi, seperti pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara, hilirisasi, dan transisi energi bersih. Keempat, Jokowi mengharapkan seluruh peserta pemilu dapat berkompetisi secara adil karena ia mengungkapkan pula bahwa sebagai kepala negara ia akan menjaga netralitas TNI, Polri, dan ASN. Kelima, Jokowi sebagai presiden pun berharap masyarakat sebagai pemilih dapat memperoleh informasi terkait dengan peserta pemilu dan hal lainnya, baik proses dan hasil pemilu, melalui berita yang berkualitas. Hal ini diperlukan demi mencegah munculnya berita bohong atau hoaks sebagai akibat dari perkembangan teknologi artificial intelligence (AI) atau kampanye hitam yang bersebaran di media sosial.
Sementara itu pendapat tambahan disampaikan oleh Firman Noor, peneliti senior Pusat Riset Politik di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang menilai bahwa diksi cawe-cawe yang dilontarkan Jokowi justru berpotensi membuat situasi politik di tanah air menjadi keruh dan panas. Selain itu, Jokowi dirasa menaruh curiga secara berlebihan kepada lawan politiknya.
Bagi masyarakat umum, kata cawe-cawe terasa sangat asing di telinga. Namun, ketika Jokowi menggunakan kata tersebut dalam konteks situasi politik Indonesia jelang pemilu 2024, cawe-cawe pun perlahan diakrabi masyarakat. Pergeseran makna kata cawe-cawe, dari yang semula netral menjadi bernuansa negatif, dapat dikatakan sebagai fenomena bahwa makna suatu kata atau bahasa tidaklah statis, melainkan begitu cair sehingga setiap individu, terutama orang yang memegang kekuasaan dan memiliki kedudukan tertentu dapat mengonstruksi makna lain dari makna leksikalnya (makna kamus).
Pergeseran makna suatu kata atau bahasa tidak secara inheren bersifat baik atau buruk. Ini adalah proses alami dalam perkembangan bahasa dan budaya yang mencerminkan perubahan dalam masyarakat. Pergeseran makna dapat menghasilkan variasi, inovasi, dan adaptasi penggunaan bahasa, yang dapat memperkaya ekspresi dalam komunikasi. Dalam konteks politik, penggunaan kata atau frasa dengan pergeseran makna yang disengaja dapat digunakan untuk mempengaruhi opini publik atau menciptakan framing yang akan menguntungkan pihak tertentu. Oleh karena itu, penggunaan bahasa dalam komunikasi sangat diperlukan untuk menjaga kejelasan dan akurasi makna yang ingin disampaikan kepada pendengar.
Untuk menghindari adanya perubahan atau pergeseran makna, seorang penutur semestinya harus memahami berbagai hal, seperti konteks yang jelas dalam pemberian informasi sehingga tidak terjadi kesalahpahaman; definisi kata yang tegas agar pendengar memahami secara jelas makna yang ingin disampaikan; tanya dan klarifikasi terkait kepada pendengar untuk memperjelas makna; sadar budaya dan konteks yang dituturkan; memberikan contoh dan analogi sehingga mengurangi risiko kesalahpahaman; serta menjaga kesantunan untuk menghormati perbedaan pemahaman antarindividu.